Dengan
luas wilayah 5 ribu km2, Tanjung Jabung baru hanya terdiri 2 Marga. Marga
Tungkal Ilir dan Marga Tungkal Ulu.
Bandingkan
dengan Marga di Kabupaten Sarolangun sebanyak 12 Marga, Kabupaten Merangin
sebanyak 10 Marga, Kabupaten Batanghari 9 Marga, Bungo sebanyak 8 Marga. Bahkan
lebih sedikit dari Marga di Kabupaten Tebo sebanyak 6 Marga.
Tanjung
Jabung Barat mempunyai jumlah marga yang sama dengan Kabupaten Tanjung Jabung
Timur. Tanjung Jabung Timur hanya mempunyai Marga Berbak dan Marga
Dendang/Sabak.
Sehingga
tidak salah kemudian Marga Tungkal Ilir hanya berbatasan dengan Marga
Dendang/Sabak (Tanjabtim), Marga Marga Awin (kabupaten Muara Jambi) dan Marga
Tungkal Ulu. Sebelah utara langsung berbatasan dengan Propinsi Riau. Sedangkan timur
langsung berbatasan dengan laut Tiongkok Selatan dengan diujung Selat Berhala.
Tempat Raja Melayu Jambi “Datu Paduko Berhalo” bertahta.
Didalam
peta Belanda tahun 1910 hanya disebutkan nama tempat “Kuala Tungkal”, “Betara”,
Bram Hitam Kanan” dan Teluk Nilau.
Nama
Kuala Tungkal begitu penting dalam percaturan politik sebelum kedatangan
Belanda. Pada masa itu, Jambi
bersekutu dengan Johor, akan tetapi kemudian timbul sejumlah perselisihan ketika mereka berdua menyatakan berhak mengendalikan
Tungkal, yaitu sebuah kawasan di perbatasan Jambi dengan Indragiri yang
merupakan jalan masuk ke kawasan pedalaman tempat lada ditanam[1].
Letak
Geografi Jambi dengan DAS Batanghari dengan sungai-sungai besar lainnya
memberikan kemudahan untk kegiatan perdagangan[2].
Jalur perdagangan kemudian dilewati di Muara Sabak, Kuala Tungkal dan Muara
Kumpeh. Bahkan pada abad ke12 sampai ke 14, Jambi
merupakan salah satu dari tiga bandar penting di Pesisir Timur Sumatera, yaitu:
(1) Jambi, (2) Palembang di sebelah selatan, dan (3) Kota China di Kerajaan Haru/Deli tepatnya di
Labuhan Deli sebelah utara[3].
Sedangkan A. B. Lapian menyebutkan “The Favoured Commersial Coast termasuk
Palembang, Indragiri, Kuala Tungkal[4].
Komoditas ekspor ditukar oleh Sultan-Sultan Jambi dengan beras, garam, kai dan
perkakas dari Logam dan besi[5]
Catatan
dari Tome Pires dalam Suma Oriental “Di Sumatera terutama di sepanjang pesisir
Selat malaka dan Pesisir barat Sumatera telah banyak banyak kerajaan baik besar
maupun kecil. Kerajaan tersebut antara lain Aceh, Pedir, Pirada, Pase, Aru,
Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman,
Minangkabau, Tikur, Barus[6].
Peperangan
yang panjang Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor, perebutan jalur perdagangan
hingga revolusi menjadi catatan panjang dalam sejarah perlawanan di Jambi.
Terjadi
peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Palembang. Tahun 1596[7]
dan perang bersama Kerajaan Johor menghadapi Jambi tahun 1667
Namun
tahun 1673, justru Palembang mendukung Jambi menghadapi Kerajaan Johor[8]
Perselisihan
tidak hanya berdasarkan historis dan prestise karena Jambi pernah menjadi
Bandar (river port’s cavital) sebelum Palembang memegang peranan penting dalam
percaturan politik dan ekonomi terutama menguasai sumber lada.
Pada
awal abad 17, wilayah ini masih didalam kekuasaan Raja Johor. Dan dipimpin
Orang Kayo Depati dan Orang Kayo Syahbandar dan dilanjutkan Orang Kayo Ario
Santiko,
Namun
tahun 1841-1855 berhasil direbut Kerajaan Jambi oleh Sultan Abdul Rahman
Nazaruddin. Selanjutnya Sultan Jambi mengutus Mantri Berangas[9].
Kekuasaan ini berakhir tahun 1901.
“Puyang”
orang Tungkal mengaku “keturunan” Biduanda Johor dan Keturunan Suku Nan Tiga.
Dipimpin Datuk Mandaliko[10].
Cerita Datuk Mandaliko dikenal di Marga Pelepat.
Menurut
tutur di masyarakat[11],
Dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga Tungkal Ilir yaitu Kuala Tungkal,
Tungkal V, Parit Puding, Serindit, Teluk Nilau, Senyerang, Kayu Aro, Teluk
Ketapang dan Sungai Rambai.
Disebut
Sungai Rambai, karena adanya Batang Rambai di tepi Kuala Sungai. Rambai dikenal
sebagai “duku hutan”. Rasanya sedikit asam.
Batas
Desa Sungai Rambai “dimulai Ilir Parit Sungai Kemang berbatasan dengan Desa
Teluk Ketapang di seberang Sungai Tungkal Parit Sido Mulyo di Desa Teluk
Ketapang. Sedangkan di Hulu. Parit Suak Banban berbatas dengan Desa Tebing
Tinggi di seberang Sungai Tungkal berbatas Sungai Lumahan. berbatasan dengan
Desa Tebing Tinggi.
Sungai
Tungkal terbagi beberapa parit. Sebelah Timur terdiri parit Ban 5, parit ban 4,
parit ban 3, Kuala 2, parit pinang, ban talang, Sungai Rambai Besar, parit
Banol, parit Brumbun, Sungai Rambai Kecil, Sungai Langsat, parit Delima,
Srikaton dan Sungai Meranti. Sedangkan Sebelah barat terdiri dari Suak Batang,
Sido Mulyo, Suak Patin, Beringin, Suak Pare, Bansari, Serbaguna, Marga Rukun,
Parit Sepakat, Suak Rowo, Parit Gempal, Parit Baru Andin, Parit Baru Illahi.
Sungai
Rumbai kemudian dimekarkan menjadi 4 Desa. Desa Marga Rukun tahun 2007. Desa
Lumahan tahun 2008 dan Desa Sungsang tahun 2010.
Sedangkan
disebut Sungai Baung karena di Sungai memang terdapat banyaknya ikan Baung.
Ikan Baung merupakan ikan khas di daerah hilir terutama di kawasan gambut.
Sebagai
dusun tua, maka Teluk Nilau kemudian menjadi Kelurahan. Soak Samin kemudian
menjadi Desa yang terpisah dari Teluk Nilau.
Desa
Senyerang berasal dari lokasi yang letaknya di antara dua Sungai Nyerang Kecil
di perbatasan Sungai Landak dan disisi barat Sungai Nyerang Besar. Kedua Sungai
bertemu dan menjadi SUngai Kemang. Terletak dan berbatasan dengan Desa
Sungsang.
Didalam
buku “Pelajaran dari Konflik, Perundingan dan Kesepakatan antara Desa Senyerang
dengan PT. WKS[12]”,
disebutkan “Masyarakat berasal dari
wilayah Kuantan di Propinsi Riau. Pada abad 19, kemudian bermigrasi dari
kawasan hulu Kuantan sepanjang Sungai Indragiri. Kemudian menetap di Reteh,
dekat lokasi Desa Senyerang.
Pada
Tahun 1927, Belanda mengaku keberadaan masyarakat berdasarkan surat yang
memberi masyarakat hak untuk membuka hutan. Para “Tuo-tuo” kemudian berkumpul
dan membahas didalam menentukan tata batas dalam daerah-daerah adat. Sehingga
ditentukan “tanah rendah” dan menjadi Desa Senyerang dan “tanah tinggi” milik
Desa Tebing Tinggi.
Desa
Senyerang kemudian menjadi desa terbesar dan salah satu desa tertua di
Kecamatan Senyerang. Bahkan Dusun Senyerang kemudian menjadi 10 Dusun dan satu
Kelurahan. Senyerang kemudian menjadi kecamatan.
Desa-desanya
adalah Desa Marga Rukun, Desa Sungai Rambai, Teluk Ketapang, Desa Sungai Kayu
Aro, Desa Senyerang. Desa Lumahan, Desa Kempas Jaya, Desa Sungsang, Desa Sungai
Kepayang dan Desa Sungai Landak[13].
Usman
Pelly didalam Bukunya “Urbanisasi dan Adaptasi : Peranan Misi Budaya
Minangkabau dan Mandailing”, menyebutkan “Pada permulaan abad ke 20, seluruh
dataran rendah pantai timur Sumatera telah dijadikan perkebunan tembakau,
karet, kelapa sawit, kopi dan Coklat[14].
Budihardjo juga menyebutkan, karet ditanami diseluruh perkebunan rakyat. Namun
untuk Kuala Tungkal, Marga Serampas, Pembarap, Pangkalan Jambu, Sungai Tenang
dan Peratin Tuo tidak ditanami karet rakyat[15].
Sebagai
bagian dari “lintasan” Pantai Timur Sumatera, maka kedatangan suku bangsa
seperti Banjar, Bugis, Minangkabau dan Jawa tidak dapat dihindarkan[16].
Demikian juga Suku Bajo.[17]
Bahkan Tideman menyebutkan “Pada masa
Hindia Belanda etnis Bugis dan Banjar membuka kebun kelapa di pesisir Pantai
Timur Sumatera[18].
Bahkan
masa Kesultanan Jambi pada awal XVI, etnis Jawa telah berada di Jambi dan
memiliki pengaruh besa pada kehidupan di Istana Jambi[19].
Sedangkan etnis Minangkabau dan Kerinci
datang ke daerah Jambi untuk menambang emas di sepanjang Limun dan Batang Asai
di daerah hulu Jambi[20]
Ketika seorang
pejabat pemerintah Inggeris, yang bernama John Anderson berkunjung ke Sumatera
Timur pada tahun 1823, dia menjelaskan bahwa pemukiman orang Melayu merupakan
jalur yang sempit terbentang di sepanjang pantai. Penghuni-penghuni di Sumatera
Timur tersebut, diperkirakan sebagai keturunan para migran dari berbagai daerah
kebudayaan, seperti: Semenanjung Melaka, Jambi, Palembang, Jawa, Minangkabau,
dan Bugis, yang telah menetap dan bercampur baur di daerah setempat[21]
Kedatangannya
diperkirakan pada abad 15 dimana daerah Tungkal berada di bawah kekuasaan
Sultan Johor[22].
Kedatangan
masyarakat di Pesisir Pantai Timur kemudian membawa teknologi cara membuka
areal “rawa” atau “payau’. Mereka mengenal cara dengan sistem “parit[23]’.
Dengan
berkelompok maka kemudian dibuat parit sebagai “jalur” lintasan perahu untuk
membawa hasil pertanian.
Setelah
“berkelompok”, maka setiap orang didalam kelompok kebun dibuat “parit-parit”
untuk menandai setiap pemilik tanah. Cara pembatasan ini hanya dikenal di
Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan tanjung Jabung Timur. Cerita ini hanya
ditemukan di Marga Tungkal ilir, Marga Sabak/Dendang. Walaupun di daerah Kumpeh
Ilir terdapat gambut, namun cara ini tidak dikenal oleh masyarakat Melayu
Jambi. Dengan demikian, maka “sistem teknologi” dan sistem tanah dengan
menggunakan parit dibawa dari suku Banjar terutama dari Kalimantan.
Membuka
parit bertujuan untuk menjaga rawa tidak tergenang, namun tidak kering di musim
kemarau. Di setiap parit kemudian dibuat pintu air untuk mengatur tingginya
permukaan air. Cara ini efektif dan dapat dikelola kawasan rawa oleh
masyarakat. Pintu air kemudian dijadikan
jalur-jalur membawa hasil pertanian.
Setiap
jarak 200 – 300 meter dibangun semacam bendungan yang disebut “tabat. Tabat
dbuat secara sederhana dengan mengambil sebagian tanah mineral dan papan
kemudian dijadikan tanggul untuk menutup alur sehingga air dari hulu mengalir
dapat ditahan untuk waktu tertentu. Cara
ini dikenal dalam masyarakat Banjar[24].
Petani di Kalampangan (Kalimantan Tengah)
juga membuat parit dan pintu air untuk mempertahankan ketebalan lapisan lahan
gambut di lahan usahataninya. Parit dibuat berupa saluran (dalam 50 cm dan
lebar 40 cm) di sekeliling lahan dengan ukuran panjang 175 m dan lebar 100 m,
yang mana dibagian tengah lahan dibuat saluran cacing (dalam 20 cm dan lebar 20
cm yang membelah lahan usahatani menjadi empat bagian. Salah satu parit dibuat
memanjang yang bermuara pada parit besar di depan rumah. Parit keliling ini
tidak pernah ditutup agar pada hujan lebat lahan tidak tergenang. Penutupan
hanya dilakukan pada saluran cacing supaya lahan tetap lembab[25]
Sistem
ini juga didasarkan kepada kebutuhan pangan dan komoditas untuk ekspor[26].
Cara ini juga dapat dilihat Desa Hulu Kalimantan Barat[27].
Perlakuan
rawa gambut oleh masyarakat terbukti handal menghadapi kekeringan yang panjang
dan musim hujan. Dengan pola pengaturan dari proses yang panjang, di Marga
Berbak dan Marga Dendang/Sabak lahan rawa gambut mampu sebagai “lumbung” padi
untuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Baca : istilah marga di Jambi
[1]
Barbara
Watson Andaya, To Live as Brothers. Southeast Sumatra in the Seventeenth and
Eight-eenth Centuries. University of Press, Honolulu, 1993
[2] Sejarah
Nasional Indonsia III – Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di
Indonesia, Balai Pustaka, 2008, Jakarta, Hal. 40.
[3] Barbara Watson Andaya;
Leonard Y. Andaya (1984). A History of Malaysia. Palgrave Macmillan.
[4] A. B. Lapian, Jambi dalam Jaringan Pelayaran dan
Perdagangan Masa Awal, makalah disampaikan pada Seminar Sejarah Melayu Kuno,
Jambi 7-8 Desember 1992, Hal. 1
[5] Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatra dan
Negara Kolonial : Hubungan Jambi-Batavia 1830-1907 dan Bangkitnya Imperialisme
Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 41
[6] The Suma Oriental Of Tome Pires An Account of The
East, From The Red Sea and Japan Written in Malacca and India (151201515),
Hakluyt Society, 1944, hal. 135-146
[7] Sejarah Daerah
Sumatera Selatan, 1991, Hal. 110.
[8] Barbara Watson Andaya;
Leonard Y. Andaya (1984). A History of Malaysia. Palgrave Macmillan,
Hal. 81
[9] A. Mukti Nasruddin makalahnya “Jambi dalam Sejarah
Nusantara.
[10] Lindayanti & Zaiyardan didalam Makalah “Konflik
dan Integrasi dalam Masyarakat Plural Jambi 1970-2012
[11] Desa Sungai Rambai dan Desa Sungai Baung, 23 Agustus
2016
[12] Pelajaran dari Konflik, Perundingan dan Kesepakatan
antara Desa Senyerang dengan PT. WKS -
Lanskap Khas Sumatera dengan Beragam sistem Penggunaan Lahan, FPP-Scale Up –
Walhi Jambi, 2014, Hal. 1
[13] Desa Marga Rukun dengan 4 Dusun. Desa Sungai Rambai
dengan 2 Dusun. Desa Teluk Ketapang dengan 7 Dusun. Desa Sungai Kayu Aro 4
Dusun. Desa Senyerang Dengan 3 Dusun. Desa Lumahan dengan 2 Dusun. Desa Kempas
Jaya dengan 4 Dusun.
[14] Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi : Peranan Misi
Budaya Minangkabau dan Mandailing, LP3ES, Jakarta, 1994, Hal. 54
[15] Budihardjo, Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah
Jambi – Studi Pada Masa Kolonial, Philosophy Pres, 2001, Hal. 64
[16] Persatuan Penulis Johor, Tradisi Johor-Riau, Dewan
Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1987, Hal. 220.
[17] M. J. Melalatoa, Ensiklopedi Suku Bangsa di
Indonesia, Departemene Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Hal. 85
[18] Tideman, Djambi, Kolonial Instituut Amsterdam, 1938
[19] de Graff, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I,
PT. Pustaka Grafiti Pers, Jakarta.
[20] Barbara W Andaya, Cash Cropping and
Upstream-Downstream Tension : The Case of Jambi in the 17th and 18
th Century, University of Hawaii Press, Honolulu, 1993
[21] John Anderson, Mission to the east Coast of Sumatra in 1823,
Oxford University Press, Singapura, Hal.
[22] Herman Hidaya, Dari Entikong Sampai Nunukan –
Dinamika daerah Perbataan Kalimantan – Malaysia TImur, Sarawah dan Sabah,
Pustaka Sinar harapan, 2005, Hal 164
[23] Walaupun di daerah Gambut, Marga Kumpeh Ilir tidak
mengenal sistem parit. Mereka hanya menyebut Mentaro sebagai batas tanah.
[24] Yanti Rina dkk, Persepsi Petani Tentang Lahan Gambut
dan Pengelolaannya, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
[25] Noorginayuwati, A.Rafiq, Yanti R., M. Alwi, A.Jumberi, 2006. Penggalian
Kearifan Lokal Petani untuk Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan. Laporan
Hasil Penelitian Balittra 2006.
[26] Alihamsyah,T. dan E.Ekon Ananto. 1998. Sintesis Hasil Penelitian
Budidaya Tanaman dan Alsintan pada Lahan Pasang Surut. Dalam M. Sabran
dkk. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi
Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra. Banjarbaru.
[27] Notohadiprawiro, T. 1994. Pengembangan Lahan Pasang Surut Untuk Tujuan
Pertanian. Pertemuan Teknis Kegiatan Pengajian Tahapan Pengembangan Lahan Rawa
Pasang Surut, Badan Litbang PU, Bandung, 20 Oktober 1994.