Marga
Jujuhan dikenal sebagai Marga yang berbatasan langsung dengan Propinsi Sumatera
Barat. Didalam Tembo Propinsi Jambi, “berjenjang
dari Sialang Belantak Besi, lepas dari Durian Takuk Rajo. Melayang ke Tanjung
Semelidu menuju Berajo Nan Seberang”.
Nama-nama
tempat seperti “Sialang belantak besi”,
“Durian takuk Rajo”, “Tanjung Samalidu” dikenal didalam Marga VII Koto.
Jujuhan
adalah nama tempat di Sungai Sarot yang
merupakan akar yang berjalin-jalin. Sungai Sarot kemudian dikenal sebagai “anak
sungai yang menyongsong induk”. Makna “anak sungai menyongsong induk” adalah
pertemuan anak Sungai dengan alur hulu Sungai Batanghari dari Damasraya. Sehingga
“anak sungai menyongsong induk” kemudian diartikan sebagai pertemuan anak
sungai dengan “membelah” Sungai Batanghari dan kemudian “mengilir” ke Sungai
Batanghari (mengikuti alur sungai Batanghari).
Pertemuan
antara anak Sungai Sarot dengan Sungai Batanghari dari Hulu Damasraya kemudian
dikenal “Jumpa”. Namun dialek kemudian menjadi “Jumbak”. Tempat ini kemudian
dapat dilihat di Dusun Jumbak
Tempat
ini dikenal sebagai Putra Angek Garang sebagai Raja Pagaruyung.
Didalam
tutur di masyarakat[1],
dikenal “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah”. Tutur ini kemudian menjadi slogan dan
symbol Propinsi Jambi dan menjadi “Semangat pemersatu” aliran-aliran Sungai.
Sungai-sungai besar biasa disebut “batang”. Sehingga Sembilan “batang” yaitu
Batang Jujuhan, Batang Sumay, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Pelepat, Batang
Tabir, Batang Asai dan Batang Merangin. Pertemuan seluruh “batang” kemudian
“Mengilir” sungai Batanghari yang panjang kemudian “ke laut lepas” yang disebut
“laut lepas” yang kemudian dikenal Laut China Selatan di muka Pulau Berhala.
Sejarah
“Puyang” berasal dari tutur yang dikenal “Raja
gagak hitam. Raja Gagak kemudian mempunyai keturunan yang dikenal Tapak
Malenggang, Tapak Tembaga dan Tapak Kudung”.
Marga
Jujuhan berbatasan langsung dengan Propinsi Sumbar yang ditandai dengan tembo “Rantau Panjang, Jumbak, Tepian Danto, Aur
gading, Talang pembesun (di Rimbo Bujang). Juga berbatasan dengan Marga VII
Koto, Marga Tanah Sepenggal dan Batin II Pelayang. Batin II Pelayang sering
juga disebut Marga Batin II Babeko.
Marga
Jujuhan berpusat di Rantau Ikil.
Marga
Jujuhan terdiri Dusun Jumbak, Dusun Pulau Batu, Dusun Rantau Ikil. Setiap Dusun
dipimpin seorang Rio.
Kata
“Jumbak” berasal dari kata “jumpa”. Perjumpaan atau pertemuan antara Sungai Sarot
dengan Sungai Batanghari.
Jumbak
terdiri dari Dusun Rantau Panjang, Jumbak, Tepian Danto, Aur Gading, Talang
Tembesun.
Disebut
sebagai “Pulau Batu” disebabkan di pulau adanya batu. Daerah ini kemudian
dikenal sebagai tempat “Depati Sumarangen”.
Pulau
Batu terdiri dari kampong Lubuk Tenam, Bukit Sari, Sari Mulya.
Rantau
Ikil terdiri dari kampong Sirih Sekapur, Ujung Tanjung, Pulau Jelmu, Dusun Baru
Balai Panjang dan Tanjung Belit. Sirih
Sekapur semula bernama Sri Sungai Kaper.
Marga
Jujuhan dipimpin oleh Pesirah. Dan setiap Dusun kemudian dipimpin oleh Rio.
Dusun
Jumbak dikenal Rio Petinggi dan Rio Agung. Sedangkan Pulau Batu dipimpin oleh
Depati.
Tempat
untuk menyelesaikan persoalan yang disbut Balairung.
Struktur
adat ditandai dengan Banjar. Istilah
Banjar menunjuk kepada berbarisnya rumah-rumah yang terdiri dari 2 rumah atau 3
rumah.
Kemudian
diikuti kampong, Batin dan Negeri.
Di
berbagai tempat biasa disebut “kampong betuo, datuk bebatin dan Raja negeri”.
Maknanya adalah setiap putusan baik putusan tuo kampong, datuk batin dan Raja
negeri” harus diikuti oleh masyarakat berdasarkan tingkatannya.
Hak
Raja menerapkan sanksi terhadap kesalahan seperti Jari patah, tulang
sekehendak, daging sesayat, darah setitik dan ayam sehebo.
Jari
patah adalah penganiayaan yang menyebabkan persendian terkilir. Tulang
sekehendak adalah patah tulang.
Sedangkan
daging sesayat adalah penganiayaan menyebabkan luka parah. Dan darah setitik
adalah penganiayaan yang menyebabkan luka yang menyembur.
Selain
itu juga dikenal kesalahan “memanjat langsat larangan”. Langsat adalah istilah
lain dari tanaman duku. Tanaman duku dan durian sama sekali tidak boleh
dipanjat. Namun duku boleh “dijuluk”, diambil dengan menggunakan kayu yang
panjang.
Selain
itu terhadap kesalahan kesusilaan yang membuat gempar dikampung seperti Memetik
bunga setangkai, Mandi di pancuran gading, Menikam bumi dan Mencacak telur.
Memetik
bunga setangkai adalah mengganggu adik perempuan istri atau keluarga istri.
Mandi di pancuran gading adalah mengganggu istri orang lain lain. Menikam bumi
adalah melakukan perbuatan zinah terhadap Ibu kandung dan mencacak telur adalah
berbuat kesusilaan terhadap anak perempuan kandung.
Kesemuanya
harus diselesaikan di tingkat Negeri atau di tingkat Raja. Tidak dapat
diselesaikan di tingkat nenek mamak atau di tingkat Datuk.
Setiap
sanksi adat dikenal “sekok ayam. beras
segantang. Asam segaram dan kain sekayu”, kambing sekok, beras 10 gantang, asam
segaram. kain 4 kayu dan “Jawi sekok, beras 100 gantang,
asam segaram. kain 6 kayu.
Namun
terhadap kesalahan seperti Memetika bunga
setangkai, mandi di pancuran gading, menikam bumi dan mencacak telur selain
dijatuhi sanksi seperti “Jawi sekok,
beras 100 gantang, asam segaram. kain 6
kayu” juga dijatuhi hukuman lukah.
Lukah
adalah alat menangkap ikan berupa bamboo atau rotan yang di mukanya terdapat
lobang sehingga ikan masuk kedalam perangkap lukah.
Kedua
pelanggar kemudian dimasukkan kedalam lukah dan kemudian dibuang kedalam
sungai.
Jawi
adalah penamaan untuk sapi. Terhadap sanksi Jawi cuma dikenal di Marga Jujuhan.
Di marga lain, hanya mengenal “kerbau sekok” sebagai bentuk sanksi tertinggi.
Dalam
prosesi adat, dikenal “sirih sekapur” dan Pisau yang gagangnya harus menghadap nenek Mamak. Penempatan
gagang pisau dihadapan nenek mamak sebagai tanda bakti dan bersedia
melaksanakan putusan nenek mamak.
Selain
itu juga dikenal prosesi yang biasa disebut “tepung tawar”.
Sirih
sekapur dan tepung tawar adalah proses sebagai tanda bakti dari masyarakat
terhadap penghormatan masyarakat terhadap hukum adat.
Salah
penempatan gagang pisau mempunyai konsekwensi. Gagang pisau di hadapan sang
pengadu ataupun sang pengantar,
“membuktikan” sang pengantar tidak bersedia untuk melaksanakan putusan
nenek mamak.
Setiap
perselisihan adat kemudian mempertemukan kedua belah yang dipimpin oleh nenek
mamak.
Prosesi
ini masih berlaku dan dihormati masyarakat didalam Marga Jujuhan.
Marga
Jujuhan kemudian menjadi Kecamatan Jujuhan dan kemudian berkembang menjadi
Kecamatan Jujuhan dan kecamatan Jujuhan Ilir.
Kecamatan
Jujuhan terdiri dari Desa Baru Balai Panjang, Desa Jumbak, Desa Jelmu, Rantau
Ikil, Desa Rantau Panjang, Desa Sirih Sekapur, Desa Siri Sekapur Perkembangan,
Desa Talang Pemesun (Pamesun), Desa
Tanjung Belit dan Desa Ujung Tanjung
Kecamatan
Jujuhan Ilir terdiri dari Desa Aur Gading, Desa Bukit Sari, Desa Kuamang, Desa
Lubuk Tenam, Desa Pulau Batu, Desa Sari Mulya dan Desa Tepian Danto.
Baca : Istilah marga di Jambi