Beberapa waktu yang lalu, KPK dan Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mengadakan
pertemuan dan kemudian sepakat untuk mengawasi dana bergulir di Desa.
Pengawasan dana bergulir di Desa cukup besar.
Menurut Menteri Desa dan PDTT, tahun 2016 meningkat Rp 60 trilyun dari Rp 20,8
trilyun tahun 2015. Dan akan terus ditingkatkan menjadi Rp 120 trilyun tahun
2017 hingga tahun 2019 sebesar Rp 111,8 trilyun.
Dengan dana bergulir ke Desa dan dibagikan untuk
74.910 desa
maka setiap desa mendapatkan dana desa sekitar Rp800 juta rupiah plus Alokasi
Dana Desanya antara Rp200 juta sampai Rp3 miliar.
Perkembangan
ini merupakan pidato yang disampaikan Jokowi didepan parlemen pertengahan tahun
2016 yang menyebutkan transfer untuk daerah sebesar Rp
782,2 triliun. Penyaluran dana ke Desa merupakan mandate dari UU No. 6 Tahun
2014 Tentang Desa.
Dengan dana bergulir sebesar itu ke Desa diharapkan
pembangunan dan berputarnya uang sampai ke desa dapat tercapai. Sehingga uang
yang berputar di Desa kemudian menyebabkan dapat menyerap tenaga kerja
sekaligus akan “menghentikan” minat masyarakat pindah ke Kota.
Namun terhadap dana yang besar ke Desa memerlukan
control dan mekanisme keuangna sehingga dapat memenuhi standar keuangan.
Sehingga didalam pertemuan antara
KPK-Kemendes PDTT disiapkan aplikasi sistem keuangan desa.
Sistem selain dapat melakukan pengaturan
terhadap penggunaan dana yang telah bergulir ke Desa juga dapat digunakan
sebagai bahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Namun sistem aplikasi yang berjaringan
internet kemudian menimbulkan permasalahan di lapangan.
Dengan jumlah Desa 74 ribu yang tersebar di
berbagai pelosok nusantara, maka aplikasi berjaringan internet mengakibatkan kemudian kesulitan
untuk diterapkan.
Padahal dari 74 ribu desa, baru 8 ribu desa
yang memiliki akses sinyal komunikasi. Desa ataupun kelurahan yang memiliki
akses komunikasi terdapat di sekitar ataupun dekat dengan Ibukota Kecamatan.
Jangankan akses sinyal komunikasi. Masih ada 12
ribu desa yang belum dialiri listrik. Sehingga hanya 8 ribu Desa ataupun paling banter 12 ribu Desa yang
dapat menggunakan aplikasi sistem keuangan Desa. Atau hanya sekitar 10 % dari
jumlah desa di nusantara.
Itu baru dari kesiapan sarana dan prasarana
untuk aplikasi penggunaan sistem keuangan desa.
Dari segi penggunaan aplikasi juga
menimbulkan permasalahan. Belum lagi sistem aplikasi yang memuat perkembangan
baru yang masih asing di Kepala Desa.
Tanpa mengenyampingkan terhadap kemampuan
Kepala Desa yang “melek” teknologi, penggunaan laptop masih menjadi kendala.
Belum lagi program-program computer seperti “word”, Excel” ataupun sistem
keuangna yang memerlukan keterampilan sendiri.
Dari berbagai pertemuan dengan Kepala Desa
yang jauh dari pusat kabupaten ataupun kecamatan, persoalan aplikasi sistem
keuangan Desa adalah pengetahuan yang baru.
Dari Percakapan sekilas, mereka sudah pasrah
dan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mempelajari berbagai perkembangan
seperti penggunaan laptop, menggunakan program word ataupun excel apalagi
penggunaan aplikasi sistem keuangan Desa.
Oleh karena itu mekanisme
pertanggungjawaban keuangan tidak dapat dipergunakan dengan baik akan
menyebabkan persoalan di muka hukum. Sehingga peran pendamping desa mutlak
diperlukan.
Padahal jumlah pendamping Desa 19.131
orang (6.529
Pendamping Lokal Desa (PLD), 10.990 orang Pendamping Desa (PDP dan PDTI) serta
1.612 orang Tenaga Ahli Kabupaten). Dengan ketersediaan cuma
seperempat dari jumlah Desa di Indonesia tentu saja akan menimbulkan persoalan
didalam menerapkan aplikasi sistem keuangna Desa.
Selain itu masih banyak paradigma yang masih
keliru melihat persoalan penggunaan aplikasi sistem keuangna Desa.
Paradigma yang masih kuat di pikiran Kepala
Desa yang menganggap selama uang tidak digunakan untuk kepentingna pribadi maka
tidak dapat dikategorikan melakukan korupsi.
Padahal paradigma ini mesti diluruskan.
Selain tidak menerima suap, tidak mengambil “sesuatu” dari dana yang bergulir,
laporan keuangna yang tidak memenuhi standar keuangan yang baik dapat
dikategorikan sebagai korupsi. Termasuk laporan keuangan yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan.
Pemahaman ini menjadi tanggungjawab Negara baik
Pemerintah melalui aparatur di tingkat Desa maupun Pemerintah daerah. Termasuk
pendamping Desa yang mesti meluruskan pemahaman yang keliru.
Sehingga tidak salah kemudian dibutuhkan
“ketekunan” luar biasa dari pendamping Desa untuk membantu Kepala Desa
menjalankan aplikasi sistem keuangan sehingga Kepala Desa dapat diselamatkan
dari tuduhan korupsi.
Tentu saja kita berharap agar Kepala Desa
dapat diselamatkan dari tuduhan korupsi. Baik karena tuduhan korupsi karena
menerima suap ataupun mengambil sesuatu dari dana yang bergulir.
Namun yang utama adalah menyelamatkan Kepala
Desa karena tuduhan korupsi karena ketidakmampuan ataupun ketidakmengertian
didalam mengelola keuangna Desa.
Data dari
berbagai sumber