29 Juli 2017

opini musri nauli : Penganiayaan berdasarkan Hukum Adat Jambi


Didalam Hukum Adat Jambi yang berdasarkan kepada “Induk 8. Anak 12” dikenal tindak pidana adat mengenai Penganiayaan.

”Anak 12” Seloko menyebutkan ’Lebam Balu” dan ”Luka Lukih”. Lembab Balu adalah perbuatan menyakiti yang menyebabkan terjadinya tanda/bekas berupa ”lebam” tanda memerah. Sedangkan ”balu” perbuatan menyakiti yang menyebabkan terjadinya ”balu” berupa tanda ”biru (balu).

Selain itu juga dikenal ”Luka Lukih”, ”Luka Rendah, Luka tinggi, luka parah” dan ”mati dibangun”

Hukum Pidana kemudian menyebutkan ”Tindak pidana penganiayaan” seperti Penganiayaan biasa (Pasal 351 ayat 1 KUHP)”, penganiayaan yang mengakibatkan Luka berat/zwaar lichamejik letsel (Pasal 351 ayat 2)”, penganiayaan mengakibatkan mati (Pasal 351 ayat 3), Penganiayaan ”berencana (Pasal 354 KUHP)  dan Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP)’.

Pasal 90 KUHP menyebutkan Luka berat berarti ”jatuh sakit atau mendapatkan luka yang tidak mendapatkan harapan untuk sembuh atau bahaya maut, tidak mampu terus menerus menjalankan tugasnya, kehilangan salah satu panca Indra, cacat berat (verminking), lumpuh, terganggu daya pikir selama 4 minggu dan gugurnya kandungan.

Dengan demikian maka Penganiayaan menyebabkan matinya orang lain, menderita dan merasakasan sakit (pijn).

Apabila kita sandingkan dengan ”tindak pidana penganiayaan” dengan definisi penganiayaan” didalam Hukum Adat Jambi maka tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur didalam Pasal 351 ayat (1) KUHP yang menyebabkan tanda/bekas maka disebutkan dengan Lebam Balu. Sedangkan Penganiayaan sebagaimana diatur didalam Pasal 351 ayat (2) KUHP yang kemudian menyebabkan luka kemudian disandingkan dengan Luka – Lukih. Atau ”Luka rendah. Luka Tinggi. Luka Parah”.

Luka – Lukih kemudian dilihat apakah ”Luka rendah. Luka Tinggi. Luka Parah”. Luka rendah adalah luka yang terjadi di perut. Luka Tinggi adalah luka yang terjadi di Muka. Sedangkan ”Luka parah” adalah luka yang terdapat lengan hingga separuh badan”.

Sedangkan Penganiayaan yang menyebabkan ”matinya orang lain (Pasal 351 ayat 3 KUHP”” maka kemudian disandingkan dengan Hukum Adat biasa diletakkan sebagai ”mati dibangun”. Dapat juga dikategorikan sebagai pembunuhan.

Sanksi/pampas (denda adat) terhadap penganiayaan berbeda-beda. Antara satu kesalahan dengan kesalahan lain.

Terhadap ”lembab Balu” dikenal dengan istilah ”tepung tawar”. Mengobati hingga sampai sembuh. Sedangkan Luka lukih wajib membayar pampas. Tergantung ”akibat’ luka dan letak lukanya.

Apabila ”Luka rendah” maka pampasnya adalah ”seekor ayam, beras segantang, kelapo setali”. Di beberapa Marga ditambah ”Kelapo Setali”. Atau ditambah ”asam garam. Atau ditambah ”selemak semanis’. Ada juga menyebutkan dengan menambah ”kain sekayu’.

Sedangkan ”luka tinggi” maka pampasnya lebih berat. Selain menimbulkan muka yang berbekas dan menimbulkan malu, maka ”luka tinggi” kemudian dikenal pampas seperti ”kambing sekok, beras 20 gantang. Di beberapa Marga ditambah ”Kelapo 20 tali”. Atau ditambah ”asam garam. Atau ditambah ”selemak semanis’. Ada juga menyebutkan dengan menambah ”kain 20 kayu’.

”Luka parah” maka pampas adalah ”selengan separuh bangun’. Selain dijatuhi sanksi adat seperti kerbo sekok, beras 100 gantang, 100 tali kelapa juga diwajibkan menyembuhkan. Apabila sang korban dapat disembuhkan maka sanksi adat  adalah ” kerbo sekok, beras 100 gantang, 100 tali kelapa”. Namun denda adat belum dapat dijatuhkan apabila sang korban belum dapat disembuhkan. Pelaku tetap diwajibkan hingga korban sembuh.

Diluar dari ”lebam Balu”, ”Luka Lukih”, ”mati dibangun” dikenal juga ”bigos’. Perbuatan ini tidak dimasukkan sebagai penganiayaan namun menimbulkan ”rasa kaget’ (Param).

Biasa dikenal seperti ”menjulak” muka ataupun menggeser muka lawan. Walaupun tidak menimbulkan rasa sakit ataupun ”lembab Balu”, sanksi adat atau pampas tetap dijatuhkan. Yang biasa dikenal dengan Seloko ”Sirih sembah”. Pampasnya adalah ”Asam belimbing, beras secuil.

Semua bahan seperti ” Asam belimbing, beras secuil” kemudian disemburkan kepada muka sang korban. Setelah itu dilakukan tradisi seperti ”beras putih dan beras merah”. Ada juga menyebutkan menyiapkan ”beras kunyit” sebagai tanda ikrar telah berdamai.

Sehingga setelah berdamai maka tidak ada lagi persoalan di kemudian hari yang disebut ”putih hati berkabar. Putih keadaan berkelihatan’.

Berbeda dengan Hukum Pidana, Hukum adat Jambi sebelum menentukan kesalahan harus dicari sebab memulai penganiayaan. Di Marga Sumay dikenal ”Tumbuh diatas tumbuh”,  Yang berjalan dengan air”, atau “Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya”. Di Marga Sungai Tenang dikenal ”Mencari bungkul dari pangkal, Mencari usul dari asal.

“Tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya. Mencari bungkul dari pangkal, Mencari usul dari asal”, apabila dilihat dari makna harfiahnya berarti “setiap persoalan harus dilihat dari sebab perbuatan itu terjadi”.

Sebagai contoh, sebuah perkelahian yang terjadi, tentu saja harus didengarkan dari keterangan dua pihak. Mengapa perkelahian itu terjadi. Sebelum dijatuhkan pidana adat (delik adat) seperti “menguak daging. Merencong tulang”, harus dipastikan mengapa peristiwa itu terjadi.

“Menguak daging, Merencong tulang” adalah akibat terjadinya penganiayaan. Seperti “luka yang menyebabkan daging terlihat”. Sedangkan “merencong tulang” adalah “penganiayaan yang menyebabkan rasa sakit di tulang’.

Tumbuh diatas tumbuh, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya, Mencari bungkul dari pangkal, Mencari usul dari asal” sebenarnya berangkat dari teori yang disampaikan oleh von Buri yang kemudian dikenal Teori hubungan sebab akibat yang biasa dikenal dengan istilah teori kausalitas (Teori conditio sine qua non).

Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat).

Apabila ada tantangan dari korban maka Seloko seperti “Memekik mengentam tanah mengulung lengan baju” maka korban tidak dapat menuntut terhadap ”pampas (denda adat/sanksi adat)”. Selain tantangan sebagaimana didalam Seloko ” Memekik mengentam tanah mengulung lengan baju”, maka tantangan harus diladeni sehingga derita kepada korban tidak dapat dipersalahkan kepada yang memukul untuk meminta pampas (Denda/sanksi adat)”.  

Dimuat di Harian Jambi Independent, 1 Agustus 2017