Didalam
Hukum Adat Jambi yang berdasarkan kepada “Induk 8. Anak 12” dikenal tindak
pidana adat mengenai Penganiayaan.
”Anak 12” Seloko menyebutkan ’Lebam Balu”
dan ”Luka Lukih”. Lembab Balu adalah perbuatan menyakiti yang menyebabkan
terjadinya tanda/bekas berupa ”lebam” tanda memerah. Sedangkan ”balu” perbuatan
menyakiti yang menyebabkan terjadinya ”balu” berupa tanda ”biru (balu).
Selain itu juga dikenal ”Luka Lukih”,
”Luka Rendah, Luka tinggi, luka parah” dan ”mati dibangun”
Hukum Pidana kemudian menyebutkan ”Tindak
pidana penganiayaan” seperti Penganiayaan biasa (Pasal 351 ayat 1 KUHP)”,
penganiayaan yang mengakibatkan Luka berat/zwaar lichamejik letsel (Pasal 351
ayat 2)”, penganiayaan mengakibatkan mati (Pasal 351 ayat 3), Penganiayaan
”berencana (Pasal 354 KUHP) dan
Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP)’.
Pasal 90 KUHP menyebutkan Luka berat
berarti ”jatuh sakit atau mendapatkan
luka yang tidak mendapatkan harapan untuk sembuh atau bahaya maut, tidak mampu
terus menerus menjalankan tugasnya, kehilangan salah satu panca Indra, cacat
berat (verminking), lumpuh, terganggu daya pikir selama 4 minggu dan gugurnya
kandungan.
Dengan demikian maka Penganiayaan
menyebabkan matinya orang lain, menderita dan merasakasan sakit (pijn).
Apabila kita sandingkan dengan ”tindak
pidana penganiayaan” dengan definisi penganiayaan” didalam Hukum Adat Jambi
maka tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur didalam Pasal 351 ayat (1)
KUHP yang menyebabkan tanda/bekas maka disebutkan dengan Lebam Balu. Sedangkan
Penganiayaan sebagaimana diatur didalam Pasal 351 ayat (2) KUHP yang kemudian
menyebabkan luka kemudian disandingkan dengan Luka – Lukih. Atau ”Luka rendah.
Luka Tinggi. Luka Parah”.
Luka – Lukih kemudian dilihat apakah ”Luka
rendah. Luka Tinggi. Luka Parah”. Luka rendah adalah luka yang terjadi di
perut. Luka Tinggi adalah luka yang terjadi di Muka. Sedangkan ”Luka parah”
adalah luka yang terdapat lengan hingga separuh badan”.
Sedangkan Penganiayaan yang menyebabkan
”matinya orang lain (Pasal 351 ayat 3 KUHP”” maka kemudian disandingkan dengan
Hukum Adat biasa diletakkan sebagai ”mati dibangun”. Dapat juga dikategorikan
sebagai pembunuhan.
Sanksi/pampas (denda adat) terhadap
penganiayaan berbeda-beda. Antara satu kesalahan dengan kesalahan lain.
Terhadap ”lembab Balu” dikenal dengan
istilah ”tepung tawar”. Mengobati hingga sampai sembuh. Sedangkan Luka lukih
wajib membayar pampas. Tergantung ”akibat’ luka dan letak lukanya.
Apabila ”Luka rendah” maka pampasnya
adalah ”seekor ayam, beras segantang, kelapo setali”. Di beberapa Marga
ditambah ”Kelapo Setali”. Atau ditambah ”asam garam. Atau ditambah ”selemak
semanis’. Ada juga menyebutkan dengan menambah ”kain sekayu’.
Sedangkan ”luka tinggi” maka pampasnya lebih
berat. Selain menimbulkan muka yang berbekas dan menimbulkan malu, maka ”luka
tinggi” kemudian dikenal pampas seperti ”kambing sekok, beras 20 gantang. Di
beberapa Marga ditambah ”Kelapo 20 tali”. Atau ditambah ”asam garam. Atau
ditambah ”selemak semanis’. Ada juga menyebutkan dengan menambah ”kain 20
kayu’.
”Luka parah” maka pampas adalah ”selengan
separuh bangun’. Selain dijatuhi sanksi adat seperti kerbo sekok, beras 100
gantang, 100 tali kelapa juga diwajibkan menyembuhkan. Apabila sang korban dapat
disembuhkan maka sanksi adat adalah ” kerbo
sekok, beras 100 gantang, 100 tali kelapa”. Namun denda adat belum dapat
dijatuhkan apabila sang korban belum dapat disembuhkan. Pelaku tetap diwajibkan
hingga korban sembuh.
Diluar dari ”lebam Balu”, ”Luka Lukih”,
”mati dibangun” dikenal juga ”bigos’. Perbuatan ini tidak dimasukkan sebagai
penganiayaan namun menimbulkan ”rasa kaget’ (Param).
Biasa dikenal seperti ”menjulak” muka
ataupun menggeser muka lawan. Walaupun tidak menimbulkan rasa sakit ataupun ”lembab
Balu”, sanksi adat atau pampas tetap dijatuhkan. Yang biasa dikenal dengan
Seloko ”Sirih sembah”. Pampasnya adalah ”Asam belimbing, beras secuil.
Semua bahan seperti ” Asam belimbing,
beras secuil” kemudian disemburkan kepada muka sang korban. Setelah itu
dilakukan tradisi seperti ”beras putih dan beras merah”. Ada juga menyebutkan
menyiapkan ”beras kunyit” sebagai tanda ikrar telah berdamai.
Sehingga setelah berdamai maka tidak ada
lagi persoalan di kemudian hari yang disebut ”putih hati berkabar. Putih
keadaan berkelihatan’.
Berbeda dengan Hukum Pidana, Hukum adat Jambi sebelum menentukan kesalahan
harus dicari sebab memulai penganiayaan. Di Marga Sumay dikenal ”Tumbuh diatas tumbuh”, “Yang berjalan dengan air”, atau “Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas
dengan bukunya”. Di Marga Sungai Tenang dikenal ”Mencari bungkul dari pangkal, Mencari usul dari asal.
“Tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan
dengan air “ atau Pulai
berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya. ”Mencari bungkul dari pangkal, Mencari usul dari asal”, apabila dilihat
dari makna harfiahnya berarti “setiap persoalan harus dilihat dari sebab
perbuatan itu terjadi”.
Sebagai contoh,
sebuah perkelahian yang terjadi, tentu saja harus didengarkan dari keterangan
dua pihak. Mengapa perkelahian itu terjadi. Sebelum dijatuhkan pidana adat
(delik adat) seperti “menguak daging. Merencong tulang”, harus
dipastikan mengapa peristiwa itu terjadi.
“Menguak
daging, Merencong tulang” adalah akibat terjadinya penganiayaan. Seperti “luka yang menyebabkan daging terlihat”.
Sedangkan “merencong tulang” adalah “penganiayaan yang menyebabkan rasa sakit di
tulang’.
Tumbuh diatas tumbuh, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan
dengan air “ atau Pulai
berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya, Mencari
bungkul dari pangkal, Mencari usul dari asal” sebenarnya
berangkat dari teori yang disampaikan oleh von Buri yang kemudian dikenal Teori
hubungan sebab akibat yang biasa dikenal dengan istilah teori kausalitas (Teori
conditio sine qua non).
Teori ini
pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman.
Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat
yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor
yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat).
Apabila ada tantangan dari korban maka
Seloko seperti “Memekik mengentam tanah mengulung lengan baju” maka korban tidak dapat menuntut terhadap ”pampas
(denda adat/sanksi adat)”. Selain tantangan sebagaimana didalam Seloko ” Memekik mengentam tanah mengulung lengan
baju”, maka tantangan harus diladeni sehingga derita kepada korban tidak
dapat dipersalahkan kepada yang memukul untuk meminta pampas (Denda/sanksi adat)”.
Dimuat di Harian Jambi Independent, 1 Agustus 2017