08 November 2017

opini musri nauli : Hukum Tanah Melayu Jambi



Di Masyarakat Melayu Jambi dikenal “tanah” dan “tanaman tumbuh”. Pemisahan “tanah” dan “tanaman tumbuh” sesuai dengan makna pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960 (UU Agraria) “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Saleh Adiwinata kemudian menyebutkan “pemisahan horizontal dalam seluruh bidang hukum mengenai tanah.


Untuk mendapatkan tanah melalui proses yang panjang. Di Margo Sumay dikenal dengan istilah “Maro Ladang atau Maro Banjar’. Di Desa Pemayung dikenal “Behumo Rimbo” dan Behumo Ronah”. Behumo ronah yaitu “tempat yang Ditanami di daerah ronah Sungai Bulan dan Sungai Sumay.

Di Marga Batin Pengambang (Sarolangun) dikenal prosesi seperti “betaun besamo”, “rapat kenduri”, “setawar dingin”, tuki (Pohon kayu silang). Atau pohon dikupang-kupang sebagai tanda telah membuka rimbo dan mengepang.

Prosesi “betahun besamo”, di Desa Gedang (Marga Sungai Tenang) disebut “turun pangkal tahun”. Di Margo Sumay dikenal “Behumo di pangkal tahun"
Di Dusun Simarantihan - Talang Mamak dikenal mengenal tradisi “huma”. Prosesi dimulai dengan “mancah rimbo”. Mancah rimbo bertujuan memohon izin kepada penguasa rimbo agar dalam proses tidak menimbulkan masalah seperti kayu rebah mengenai masyarakat, api yang tidak merembet dan tidak ada gangguan dari penghuni rimbo.

Bahkan dalam tradisi “merun”, dikenal mantra. Dengan pembacaan mantra, maka api tidak menjalar dan dapat dikendalikan hingga masa menugal.

Prosesnya dimulai dari “mancah”, bakar, nugal, nuai. Waktu untuk mancah diperlukan 2 hari. Untuk bakar dilakukan sebulan. Sedangkan untuk “nuai” dilakukan pada malam hari. Setiap proses ini ditentukan oleh Dukun padi. Setiap proses dilakukan dengan cara bergotong royong yang dikenal dengan istilah “Beselang’.

Di Marga Senggrahan (Bangko) dikenal “Tanah yang biso dipaumoh. Di Marga Sungai Tenang dikenal berbagai prosesi. Di Dusun Tanjung Mudo, Dusun Tanjung Benuang  dan Dusun Tanjung Alam dikenal prosesi seperti meminta izin kepada pemangku adat (alam sekato Rajo. Negeri sekato Batin), berkelompok, hanya boleh membuka 1 hektar dan harus ditanami paling lama 2 tahun. Dan Cacak Tanam, Jambu Kleko. (Tanah yang telah dibuka diberi tanda dengan menanam pohon seperti jeluang).

Dusun Tanjung Mudo dan Dusun Tanjung Alam mempunyai keunikan tersendiri didalam Marga Sungai Tenang. Biasa disebut “Tanah Irung. Tanah Gunting”. Atau  dengan istilah “mengirung dan mengunting tanah Koto Sepuluh”.

Dusun Tanjung Mudo merupakan tanah pemberian dari Koto 10 namun penduduknya berasal dari Pungguk 6 yaitu berasal dari Dusun Baru dan Dusun Kototeguh. Mereka kemudian “beladang jauh” di wilayah Koto 10. Di masyarakat dikenal dengan istilah “Tanah Koto 10, belalang Pungguk 6”. Ada juga menyebutkan “Belalang Pungguk 6. Padang Koto 10.

Sedangkan Tanjung Alam merupakan tanah dari  Koto 10 namun penduduknya berasal dari Pungguk 9. Dikenal dengna istilah “tanah Koto 10, belalang pungguk 9”. Atau “Belalang Pungguk 9. Padang Koto 10.

Di Daerah hilir dikenal ““peumoan”. Wilayah untuk ditanami padi. Wilayah yang menjadi tempat menanami padi tidak boleh digunakan (dikonversi) ke tanaman lain. Sedangkan didalam mengatur tentang tanah untuk perkebunan dikenal dengan istilah “pancung alas, “bidang”, “mentaro’, “larangan krenggo”.

Tanah yang ditandai dengan seloko “cacak tanam. Jambo Kleko, di Desa Gedang disebut “Lambas”. Atau “Lambas berbanjar (Desa Semambu).  Di Desa Pemayungan disebut “Sempadan tanah. Atau di Dusun Muara Sekalo disebut “Sak sangkut. Memberikan tanda dengan “takuk pohon”. Atau mentaro (Sungai Bungur).

Terhadap tanah yang dikuasai/diduduki dalam wilayah penguasaan maka menimbulkan hak. Baik terhadap masyarakat di wilayah Masyarakat Hukum Adat (MHA) maupun terhadap orang luar (gemeenschapsvreemde). Van Vollenhoven menyebutkan “Beschikkingskring”. Van Hinloopen Labberton menyebutkan “beschikkingsking op den ground en het water”

Hak membuka tanah (ontginningsrecht) menimbulkan hak terhadap tanah. Namun tanah yang tidak dikelola dengan baik maka justru akan menimbulkan kehilangan terhadap tanah.

Di Marga Batin Pengambang dikenal Belukar Tuo. Walaupun sudah dikerjakan dengan cara membuat tanda kayu berkait, ditebas dan ditumbangkan, apabila tidak dikerjakan selama 3 tahun, maka haknya menjadi hilang. Tanah kembali ke Desa. Atau “mengepang”. Setelah memberikan tanda dengan kayu berkait, maka dilakukan tebas dan tebang pohon. Apabila tidak dikerjakan selama 3 bulan, maka haknya menjadi hilang. Tanah kembali ke Desa. Di Marga batin Pengambang dikenal Empang krenggo. Atau “larangan Krenggo.

Di Marga Sungai Tenang dikenal berbagai istilah. Di Tanjung Alam dan Tanjung Mudo dikenal Belukar lasa. Apabila  tidak ditanami selam 2 tahun maka tanah dikembalikan kepada penghulu. Atau “sesap rendah jerami tinggi. Atau “sesap rendah tunggul pemarasan (Marga Sumay)

Selain itu juga dikenal “Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa pergi . Apabila pemilik tanah  pergi meninggalkan Desa dan mencari kehidupan diluar Desa, maka tanah berasal dari Rimbo yang telah dibuka maka menjadi hak milik. Sedangkan sesap jerami kembali ke penghulu.

Di Marga Pelepat dikenal “mati tanah. buat tanaman”. Seloko ini mirip dengan seloko “sesap rendah. jerami tinggi’ di Marga Sungai Tenang. Atau “tunggul pemarasan” di Marga Sumay. Atau Sesap jerami, Tunggul Pemarasan. Tanah yang kemudian tidak digarap, maka akan hilang

Selain itu terhadap tanaman tumbuh menimbulkan hak terhadap “tanaman tumbuh”. Di Desa Terjun Gajah dikenal “parwah. Di Marga Kumpeh dikenal “Peumoan”. Terhadap pemilik tanaman berhak terhadap tanaman tumbuh. Menikmati “tanaman tumbuh” tidak mengakibatkan hak  milik menjadi bergeser.