“Nauli, tanggal 23, ada di Jambi ?”, ujar Ibu Prof. Elita Rahmi diujung
Telephone.
“Ada bu. Belum ada jadwal keluar kota”,
ujar saya sembari menutup buku.
“Ok. Nanti ada undangan. Ikut pertemuan
Seminar Nasional Hukum Lingkungan”, Lanjut bu elita.
“Siap, bu ?” kata saya.
Hari
ini kemudian saya menjadi “pembicara dalam pertemuan Nasional Hukum Lingkungan
ke – 5 di sebuah hotel di Jambi.
Rasanya
deg-degan juga menghadiri apalagi menjadi pembicara di forum Hukum Lingkungan
Hidup. Lembaga yang menjadi “pendekar
hukum lingkungan di Indonesia’.
Pertama.
Saya bukanlah dosen yang “bergelut”
di dunia hukum akademis. Kuliah aja pas-pasan. Pas tamat dan pas pula nilainya.
Jauh dari para pendekar hukum lingkungan yang menyandang titel minimal master
atau doctor. Dan setahu saya banyak yang terlibat didalamnya justru tamatan
luarnegeri dari kampus yang terkenal.
Kedua
pergumulan praktis didunia peradilan menyebabkan “kajian” teoritis dan akademis kurang menjadi perhatian saya. Selain
seringkali “gagap” menghadapi perubahan zaman, waktu yang sedikit membuat saya
kurang menggali dari pendekatan.
Ketiga.
Sudah lebih 20 tahun saya meninggalkan kampus sekolah. Sehingga praktis “dasar-dasar” hukum kurang menjadi “optic”
dari pengamatan saya memandang persoalan lingkungan hidup.
Dunia
praktek peradilan menyebabkan saya “berkejaran”
mengumpulkan fakta, menganalisis fakta dan mencari bukti-bukti untuk dihadirkan
di persidangan. Hampir praktis dunia inilah yang kemudian menjadi saya “merasa minder” bertemu dengan para “pendekar” hukum yang berkumpul di Jambi.
Dengan
mengucapkan “bismillah” ditambah “Sedikit”
bekal dari perjalanan selama ini menempuh perjalanan panjang di berbagai tempat
kemudian “Memberanikan” saya “berbagi pengalaman ataupun “cerita kampong” yang coba saya tuturkan didalam forum ini.
Dari
pertanyaan, pernyataan, dialog terbuka, tanya jawab kemudian menyentak saya.
Dunia hukum Lingkungan masih menjadi problema mendasar untuk menjawab tantangan
kerusakan lingkungan.
Dengan
memberanikan diri saya kemudian menganalisis. Persoalan yang paling mendasar
adalah “paradigm” dunia akademis yang masih bergulat dengan system hukum Eropa continental.
Dengan pendekatan Sistem hukum Eropa continental yang melihat persoalan lingkungan
hidup di Indonesia.
Dalam
lapangan hukum pidana, asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (Geen straf
zonder schuld/actus non facit reum nisi mens sir rea) masih menjadi “maqom” yang kuat sehingga gagap melihat
kerusakan lingkungan hidup yang massif. Asas ini kemudian gagal menangkap
esensi dari roh UU No. 32 Tahun 2009 (UU PPLH) yang berangkat dari roh “daya
dukung dan daya tampung” lingkungan hidup untuk mengontrol “kegiatan manusia”
dalam sektor alam.
Dalam
lapangan hukum perdata, siapa yang dirugikan, maka dia harus
membuktikan kerugiannya (asas
actori incumbit probation) maka akan
menimbulkan kesulitan terhadap korban.
Dalam
kasus kebakaran, maka tidak mungkin menghimpun surat kuasa dari korban sejumlah
masyarakat yang terdampak asap. Katakanlah 3,5 juta penduduk Jambi.
Kedua asas
ini “asas Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens
sir rea) dan asas “asas
actori incumbit probation) telah
dijawab melalui UU PPLH.
Ruang
seperti asas Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens
sir rea) telah dijawab melalui asas tanggungjawab mutlak (strict liability).
Bahkan dalam kasus kebakaran hutan malah lebih dikenal “Absolute liability”
sebagaimana diatur didalam Pasal 48, Pasal 49 UU Kehutanan, PP No. 4 Tahun
2001, PP No. 45 Tahun 2004. Sehingga menggunakan asas Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens sir rea)
dalam kasus kebakaran hutan merupakan “kegagapan”
dan belum memahami sistem anglo saxon yang justru menyebutkan “pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability
without fault).
Begitu
juga asas
actori incumbit probation yang
memberikan “jalan keluar” dengan mengusung “class action” sebagai
legal standing di persidangan. Praktek ini sudah jamak dan menjadi pengetahuan
sehari-hari di ranah penegakkan hukum di Indonesia (Perma No. 1 tahun 2002).
Bahkan didalam UU PPLH sendiri sudah jauh mengenal konsep “legal standing”
dan “hak gugat Pemerintah”.
Namun
dalam praktek, paradigm ini belum mampu mempengaruhi hakim. Berbagai
persidangan ternyata masih berangkat dari pemahaman “eropa continental”.
Pertanyaa seperti “ada saksinya“. “Dimana peran dan tanggungjawab
perusahaan” merupakan pemahaman yang berangkat dari hubungan kausalitet
(hubungan sebab akibat) dari konsepsi “kesalahan “ dan “pertanggungjawaban’.
Konsepsi ini tidak dibenarkan untuk melihat berbagai UU yang bergerak di sector
SDA (UU kehutanan, UU pertambangan, UU Air, UU Perkebunan, UU Lingkungan
Hidup).
Pengaruh “Eropa
kontinental’ juga dapat dilihat polemic putusan Pengadilan Negeri Palembang
terhadap kasus PMH. “Kalau kebakaran, bisa ditanam kembali” adalah
konsepsi yang tidak memotret “optic” dari pertanggungjawaban perusahaan
dalam kebakaran. Padahal berbagai putusan yang kemudian menajdi yuriprudensi
seperti PT. Kalista Alam dalam kasus “Rawa Tripa’ merupakan maskot yang dapat
menjadi rujukan dari berbagai kasus kebakaran.
Tema yang
menarik perhatian adalah “belum mampu” pengetahuan masyarakat didalam menjadi
mainstream Hukum Lingkungan. Hukum Lingkungan masih diajak berbicara apabila
terjadinya “impact” dari kerusakan lingkungan. Padahal hukum adat justru mampu
menjadi “benteng’ melindungi lingkungan hidup.
Pengaturan
larangan (pantang larang) adalah bentuk pengaturan yang memandang hutan
sebagai kawasan ekosistem yang tidak terpisahkan. Berbagai “pantang larang”
adalah bentuk manusia dan alam tidak terpisahkan. Selain itu dengan menggunakan
“pantang larang” merupakan bentuk “keberlanjutan” dari pengelolaan ekosistem
lingkungan hidup.
Mainstream
yang berhadapan dengan berbagai pemangku kepentingan (teknokrat, industry dan
negara) yang memandang hutan sebagai asset ekonomi. Asset ekonomi yang bisa
dihitung dengan “value ekonomi”. Fakta yang paling nyata adalah ketika
negara masih memandang hutan sebagai “hasil hutan kayu” dan “non kayu’.
Sebuah tema yang justru bertentangan
dengan alam pikiran masyarakat.
Tema yang
saya tawarkan menjadi pekerjaan besar dalam kajian Hukum Lingkungan. Suara yang
saya gemakan semoga dapat menggema dan menjadi mainstream dalam pembicaraan
akademis di forum Hukum Lingkungan se – Indonesia.
Selamat Ber-Seminar.
Salam
dari Jambi. Negeri betuah yang direstui para Dewata.