23 Juli 2018

opini musri nauli : HUKUM LINGKUNGAN DALAM PRAKTEK PERADILAN


“Nauli, tanggal 23, ada di Jambi ?”, ujar Ibu Prof. Elita Rahmi diujung Telephone.

Ada bu. Belum ada jadwal keluar kota”, ujar saya sembari menutup buku.

Ok. Nanti ada undangan. Ikut pertemuan Seminar Nasional Hukum Lingkungan”, Lanjut bu elita.

Siap, bu ?” kata saya.
Hari ini kemudian saya menjadi “pembicara dalam pertemuan Nasional Hukum Lingkungan ke – 5 di sebuah hotel di Jambi.

Rasanya deg-degan juga menghadiri apalagi menjadi pembicara di forum Hukum Lingkungan Hidup. Lembaga yang menjadi “pendekar hukum lingkungan di Indonesia’.

Pertama. Saya bukanlah dosen yang “bergelut” di dunia hukum akademis. Kuliah aja pas-pasan. Pas tamat dan pas pula nilainya. Jauh dari para pendekar hukum lingkungan yang menyandang titel minimal master atau doctor. Dan setahu saya banyak yang terlibat didalamnya justru tamatan luarnegeri dari kampus yang terkenal.

Kedua pergumulan praktis didunia peradilan menyebabkan “kajian” teoritis dan akademis kurang menjadi perhatian saya. Selain seringkali “gagap” menghadapi perubahan zaman, waktu yang sedikit membuat saya kurang menggali dari pendekatan.

Ketiga. Sudah lebih 20 tahun saya meninggalkan kampus sekolah. Sehingga praktis “dasar-dasar” hukum kurang menjadi “optic” dari pengamatan saya memandang persoalan lingkungan hidup.

Dunia praktek peradilan menyebabkan saya “berkejaran” mengumpulkan fakta, menganalisis fakta dan mencari bukti-bukti untuk dihadirkan di persidangan. Hampir praktis dunia inilah yang kemudian menjadi saya “merasa minder” bertemu dengan para “pendekar” hukum yang berkumpul di Jambi.

Dengan mengucapkan “bismillah” ditambah “Sedikit” bekal dari perjalanan selama ini menempuh perjalanan panjang di berbagai tempat kemudian “Memberanikan” saya “berbagi pengalaman ataupun “cerita kampong” yang coba saya tuturkan didalam forum ini.

Dari pertanyaan, pernyataan, dialog terbuka, tanya jawab kemudian menyentak saya. Dunia hukum Lingkungan masih menjadi problema mendasar untuk menjawab tantangan kerusakan lingkungan.

Dengan memberanikan diri saya kemudian menganalisis. Persoalan yang paling mendasar adalah “paradigm” dunia akademis yang masih bergulat dengan system hukum Eropa continental. Dengan pendekatan Sistem hukum Eropa continental yang melihat persoalan lingkungan hidup di Indonesia.

Dalam lapangan hukum pidana, asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens sir rea) masih menjadi “maqom” yang kuat sehingga gagap melihat kerusakan lingkungan hidup yang massif. Asas ini kemudian gagal menangkap esensi dari roh UU No. 32 Tahun 2009 (UU PPLH) yang berangkat dari roh “daya dukung dan daya tampung” lingkungan hidup untuk mengontrol “kegiatan manusia” dalam sektor alam.

Dalam lapangan hukum perdata, siapa yang dirugikan, maka dia harus membuktikan kerugiannya (asas actori incumbit probation) maka akan menimbulkan kesulitan terhadap korban.

Dalam kasus kebakaran, maka tidak mungkin menghimpun surat kuasa dari korban sejumlah masyarakat yang terdampak asap. Katakanlah 3,5 juta penduduk Jambi.

Kedua asas ini “asas Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens sir rea) dan asas “asas actori incumbit probation) telah dijawab melalui UU PPLH.

Ruang seperti asas Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens sir rea) telah dijawab melalui asas tanggungjawab mutlak (strict liability). Bahkan dalam kasus kebakaran hutan malah lebih dikenal “Absolute liability” sebagaimana diatur didalam Pasal 48, Pasal 49 UU Kehutanan, PP No. 4 Tahun 2001, PP No. 45 Tahun 2004. Sehingga menggunakan asas Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens sir rea) dalam kasus kebakaran hutan merupakan “kegagapan” dan belum memahami sistem anglo saxon yang justru menyebutkan “pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault).

Begitu juga asas actori incumbit probation yang memberikan “jalan keluar” dengan mengusung “class action” sebagai legal standing di persidangan. Praktek ini sudah jamak dan menjadi pengetahuan sehari-hari di ranah penegakkan hukum di Indonesia (Perma No. 1 tahun 2002). Bahkan didalam UU PPLH sendiri sudah jauh mengenal konsep “legal standing” dan “hak gugat Pemerintah”.

Namun dalam praktek, paradigm ini belum mampu mempengaruhi hakim. Berbagai persidangan ternyata masih berangkat dari pemahaman “eropa continental”. Pertanyaa seperti “ada saksinya“. “Dimana peran dan tanggungjawab perusahaan” merupakan pemahaman yang berangkat dari hubungan kausalitet (hubungan sebab akibat) dari konsepsi “kesalahan “ dan “pertanggungjawaban’. Konsepsi ini tidak dibenarkan untuk melihat berbagai UU yang bergerak di sector SDA (UU kehutanan, UU pertambangan, UU Air, UU Perkebunan, UU Lingkungan Hidup).

Pengaruh “Eropa kontinental’ juga dapat dilihat polemic putusan Pengadilan Negeri Palembang terhadap kasus PMH. “Kalau kebakaran, bisa ditanam kembali” adalah konsepsi yang tidak memotret “optic” dari pertanggungjawaban perusahaan dalam kebakaran. Padahal berbagai putusan yang kemudian menajdi yuriprudensi seperti PT. Kalista Alam dalam kasus “Rawa Tripa’ merupakan maskot yang dapat menjadi rujukan dari berbagai kasus kebakaran.

Tema yang menarik perhatian adalah “belum mampu” pengetahuan masyarakat didalam menjadi mainstream Hukum Lingkungan. Hukum Lingkungan masih diajak berbicara apabila terjadinya “impact” dari kerusakan lingkungan. Padahal hukum adat justru mampu menjadi “benteng’ melindungi lingkungan hidup.

Pengaturan larangan (pantang larang) adalah bentuk pengaturan yang memandang hutan sebagai kawasan ekosistem yang tidak terpisahkan. Berbagai “pantang larang” adalah bentuk manusia dan alam tidak terpisahkan. Selain itu dengan menggunakan “pantang larang” merupakan bentuk “keberlanjutan” dari pengelolaan ekosistem lingkungan hidup.

Mainstream yang berhadapan dengan berbagai pemangku kepentingan (teknokrat, industry dan negara) yang memandang hutan sebagai asset ekonomi. Asset ekonomi yang bisa dihitung dengan “value ekonomi”. Fakta yang paling nyata adalah ketika negara masih memandang hutan sebagai “hasil hutan kayu” dan “non kayu’. Sebuah tema  yang justru bertentangan dengan alam pikiran masyarakat.

Tema yang saya tawarkan menjadi pekerjaan besar dalam kajian Hukum Lingkungan. Suara yang saya gemakan semoga dapat menggema dan menjadi mainstream dalam pembicaraan akademis di forum Hukum Lingkungan se – Indonesia.

Selamat Ber-Seminar.

Salam dari Jambi. Negeri betuah yang direstui para Dewata.