Entah
bagaimana perasaan saya ketika melihat posting media cetak yang memperlihatkan
hasil razia durian yang hendak dibakar. Darah saya mendidih. Pikiran
berkecamuk. Entah apa kalimat yang pantas untuk melihat gambarnya.
Durian
adalah symbol kemakmuran. Seloko Jambi dengan jelas mengabarkan “Padi menjadi.
Rumput Hijau. Kerbau gepok. Ke aek cemeti
keno. Ke darat durian gugu’”. Seloko ini mirip dengan istilah Jawa “Gemah ripah. Loh Jinawi. Negeri tentram
kerto raharjo”
Sebagai
simbol kemakmuran, Durian adalah tanda “sempurna”
ekosistem. Durian, pohon sialang dan
harimau adalah habibat sempurna dari ekosistem lingkungan. Tanda ekosistem
berfungsi menjalankan rangkaiannya. Ekosistem yang tidak bisa “dikelabui’.
Lihatlah.
Bagaimana penghormatan masyarakat dengan durian dan Madu. “Durian dak boleh ditutuh. Petai dak boleh ditebang”, ujar pemangku
adat di Jambi.
Sedangkan
madu ditandai dengan seloko “sialang
pendulangan”. Sialang adalah penamaan pohon yang terdapat lebah (sialang).
Sedangkan pendulangan adalah area sekitarnya yang tidak boleh dibuka. Lebah membutuhkan pohon yang kuat dan supplay
makanan yang layak untuk menghasilkan madu.
Sedangkan
Harimau selalu ditempatkan sebagai “Rajo”,
“Nenek”, “datuk”, “Puyang” yang menjaga hutan. “Inyik” istilah di Sumbbar. Penghormatan
terhadapnya kemudian dilekatkan sebagai bentuk menghormati alam.
Melihat
penghormatan Durian, sialang dan Harimau maka “tanda” ekosistem sempurna menempatkan durian, sialang dan harimau
begitu penting. Sehingga membakar durian,
menghancurkan sialang dan membunuh harimau adalah bentuk “kualat” terhadap alam.
“Alam akan memberikan tanda. Alam akan
memberikan isyarat. Alam akan murka”, kata temanku sambil geram melihat “keangkuhan manusia”.
Baca : Durian