12 November 2018

opini musri nauli : Puyang Orang Jambi



Dalam satu kesempatan, ketika menjadi pembicara, saya dihubungi oleh mahasiswa Sejarah Fakultas Budaya UNJA. Sang mahasiswa kemudian meminta saya mengisi sebuah acara tentang sejarah dalam suasana terkini. Ya. Maklum. Menjelang hari Pahlawan.

Saya kemudian tercenung. Bagaimana mungkin saya bukan berasal dari sejarawan kemudian bercerita sejarah. Terutama sejarah Jambi. Wah. Wah.. sepertinya salah undang nih..

Tapi saya kemudian berfikir. Apakah cerita saya selama ini menceritakan tentang nenek orang Jambi (puyang Jambi) merupakan sejarah. Ah. Entahlah.

Sabtu sore, setelah menghadiri berbagai pertemuan saya kemudian meluncur ke Mendalo. Sekretariat “Rumah Baca” Himpunan Mahasiswa Humaniora Ilmu Sejarah (HUMANIS), Fakultas Budaya, Unja. Sebuah tempat representative untuk berdiskusi sejarah.

Saya kemudian dipanelkan dengan Guru Wiwin Eko Santoso. Guru Sejarah. Alumni UGM.

Tema yang saya bawakan adalah “Puyang Orang Jambi”. Makalah yang sudah kukirimi ke panitia via WA. Dengan alasan “menghemat kertas”, sang panitia kemudian menyebarkannya ke WA seluruh peserta. Wuih. Keren. Anak muda milenial..

Cerita tentang Puyang Orang Jambi adalah judul untuk menghindarkan saya dari ahli sejarah. Seluruh bahan yang saya tuliskan berdasarkan tutur ditengah masyarakat. Baik masyarakat di dataran tinggi seperti Kerinci, Batang Asai, Batin Pengambang, Serampas dan Sungai Tenang. Masyarakat di dataran tengah seperti sebagian Sarolangun, Bangko, Bungo, Tebo dan Batanghari. Dan masyarakat di dataran rendah di Muara Jambi, Tanjabbar dan Tanjabtim.

Setiap lanskap dan morfologi kemudian melahirkan peradaban. Entah peradaban dataran tinggi maupun dataran rendah. Setiap peradaban kemudian mengalami fase baik dari zaman Megalitikum yang ditandai dengan batu-batu yang disusun sebagai pemujaan, zaman Budha, Hindu dan Islam.

Selain itu pengaruh terhadap kebudayaan mempunyai jejak di Jambi. Entah dari Minangkabau, Palembang, Turki, Persia, Arab, Bugi, Banjar yang kemudian meninggalkan teknologi, peradaban, tutur, pengetahuan yang masih dirawat hingga sekarang.  

Sebagai sebuah tutur yang disampaikan dalam prosesi adat seperti Kenduri Sko ataupun tradisi adat lainnya, cerita tentang keberadaan masyarakat merupakan sumber utama. Saya kemudian menempatkan sebagai informasi utama. Sebuah kritik terhadap prinsip ilmu sejarah. “No document. No history”. Saya kemudian menyimak dari diskusi yang kemudian dilontarkan didalam berbagai diskusi.

Dalam perjalanan panjang menyusuri kampong ke kampong, menyusuri sang perawat cerita, menyusuri lingkaran sungai, memahami lanskap hingga menggali cerita, saya kemudian menyampaikan sebuah pelajaran penting. Bagaimana masyarakat Jambi begitu merawat cerita yang kemudian diturunkan turun temurun. Sesuai dengna Seloko Jambi “Bak li beganti li, lapuk pua jelipung tumbuh. Bak lapuh di ujung tanjung ilang sekok timbul sekok. Tema ini kemudian memantik diskusi. Berbagai pertanyaan, gugatan, bahkan sanggahan terhadap kebenaran cerita yang saya sampaikan merupakan pertanyaan penting. ”Apakah ini sejarah atau cuma mitos ?. Yang tentu saja menggugat terhadap kaidah-kaidah akademis untuk dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam ilmu ”Logika”, pembahasan tentang ”ilmu” dan ”pengetahuan” merupakan dimensi yang terpisah[1]. Pengetahuan (knowledge) sudah menangkap terhadap kenyataan tentang sesuatu. Sedangkan ilmu (science) menghendaki penjelasan lebih lanjut dari sekedar apa yang dituntut oleh pengetahuan (knowledge).

Sebagai sebuah pengetahuan ditengah masyarakat seperti ”Teluk sakti. Rantau Betuah. Gunung Bedewo” adalah pengetahuan yang menempatkan nama-nama yang ditunjukkan tidak boleh dibuka. Nah. Science kemudian menjelaskan. Daerah yang kemudian dihormati masyarakat adalah tutupan hutan yang kemudian harus dilindungi. Terletak di dataran tinggi, hulu sungai (Kepala sauk), kemiringan 45 derajat.

Atau didaerah gambut, masyarakat kemudian mengenal sebagai ”pantang larang” yang kemudian menggunakan berbagai istilah seperti ”hutan hantu pirau”, lopak, danau, aur, yang kemudian ditandai dengan ”Akar bekait, pakis dan jelutung”. Pengetahuan yang diturunkan dari nenek moyang  itulah kemudian ilmu (science) yang kemudian menerangkan sebagai gambut dalam. Begitulah seterusnya.

Menempatkan tutur ditengah masyarakat sebagai sumber utama pengetahuan menimbulkan kritikan yang tajam. Apakah tutur yang kadangkala dibumbuhi mitos, irrasional, magis dapat dipertanggungjawabkan ?

Dimensi inilah yang kemudian ditimpali oleh Guru Wiwin yang menerangkan tentang kemajuan ilmu sejarah. Menggunakan idiom ”No document. No history” sudah lama ditinggalkan. Sudah tidak relevan lagi dalam kontek perkembangan sejarah. Bukankah Skripsi ”H. Misbah” adalah kumpulan berbagai rangkaian wawancara mendalam terhadap mitos H. Misbah. Atau. Bukankah berbagai cerita misteri G-30 S/PKI berangkat dari berbagai kesaksian dari mereka yang terlibat dalam arus putaran politik menjelang politik saat itu ?

Dalam ranah ilmu hukum, gejala-gejala sosial tidak dapat dikategorikan sebagai hukum. Hukum yang kemudian ditempatkan sebagai produk, dibuat oleh penguasa negara, malah kemudian tidak dapat menempatkan hukum adat sebagai Hukum tertulis.

Gugatan ini kemudian tidak relevan. Baik pengakuan terhadap masyarakat Hukum Adat yang sudah banyak diadopsi berbagai peraturan perundang-undangan, yurisprudensi bahkan dalam berbagai bahan untuk memotret hukum adat.

Dari dimensi inilah kemudian saya menghadirkan tutur ditengah masyarakat sebagai sumber utama didalam melihat, memotret maupun memahami sejarah maupun sejarah nenek moyang orang Jambi. 





            [1] Mundiri, Logika, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, Hal. 5