Dalam
satu kesempatan, ketika menjadi pembicara, saya dihubungi oleh mahasiswa
Sejarah Fakultas Budaya UNJA. Sang mahasiswa kemudian meminta saya mengisi
sebuah acara tentang sejarah dalam suasana terkini. Ya. Maklum. Menjelang hari
Pahlawan.
Saya
kemudian tercenung. Bagaimana mungkin saya bukan berasal dari sejarawan
kemudian bercerita sejarah. Terutama sejarah Jambi. Wah. Wah.. sepertinya salah
undang nih..
Tapi
saya kemudian berfikir. Apakah cerita saya selama ini menceritakan tentang
nenek orang Jambi (puyang Jambi) merupakan sejarah. Ah. Entahlah.
Sabtu
sore, setelah menghadiri berbagai pertemuan saya kemudian meluncur ke Mendalo.
Sekretariat “Rumah Baca” Himpunan Mahasiswa Humaniora Ilmu Sejarah (HUMANIS),
Fakultas Budaya, Unja. Sebuah tempat representative untuk berdiskusi sejarah.
Saya
kemudian dipanelkan dengan Guru Wiwin Eko Santoso. Guru Sejarah. Alumni UGM.
Tema
yang saya bawakan adalah “Puyang Orang Jambi”. Makalah yang sudah kukirimi ke
panitia via WA. Dengan alasan “menghemat kertas”, sang panitia kemudian
menyebarkannya ke WA seluruh peserta. Wuih. Keren. Anak muda milenial..
Cerita
tentang Puyang Orang Jambi adalah judul untuk menghindarkan saya dari ahli
sejarah. Seluruh bahan yang saya tuliskan berdasarkan tutur ditengah
masyarakat. Baik masyarakat di dataran tinggi seperti Kerinci, Batang Asai,
Batin Pengambang, Serampas dan Sungai Tenang. Masyarakat di dataran tengah
seperti sebagian Sarolangun, Bangko, Bungo, Tebo dan Batanghari. Dan masyarakat
di dataran rendah di Muara Jambi, Tanjabbar dan Tanjabtim.
Setiap
lanskap dan morfologi kemudian melahirkan peradaban. Entah peradaban dataran
tinggi maupun dataran rendah. Setiap peradaban kemudian mengalami fase baik
dari zaman Megalitikum yang ditandai dengan batu-batu yang disusun sebagai
pemujaan, zaman Budha, Hindu dan Islam.
Selain
itu pengaruh terhadap kebudayaan mempunyai jejak di Jambi. Entah dari
Minangkabau, Palembang, Turki, Persia, Arab, Bugi, Banjar yang kemudian
meninggalkan teknologi, peradaban, tutur, pengetahuan yang masih dirawat hingga
sekarang.
Sebagai
sebuah tutur yang disampaikan dalam prosesi adat seperti Kenduri Sko ataupun
tradisi adat lainnya, cerita tentang keberadaan masyarakat merupakan sumber
utama. Saya kemudian menempatkan sebagai informasi utama. Sebuah kritik
terhadap prinsip ilmu sejarah. “No document. No history”. Saya kemudian
menyimak dari diskusi yang kemudian dilontarkan didalam berbagai diskusi.
Dalam
perjalanan panjang menyusuri kampong ke kampong, menyusuri sang perawat cerita,
menyusuri lingkaran sungai, memahami lanskap hingga menggali cerita, saya
kemudian menyampaikan sebuah pelajaran penting. Bagaimana masyarakat Jambi
begitu merawat cerita yang kemudian diturunkan turun temurun. Sesuai dengna
Seloko Jambi “Bak li beganti li, lapuk pua
jelipung tumbuh. Bak lapuh di ujung tanjung ilang sekok timbul sekok. Tema ini kemudian
memantik diskusi. Berbagai pertanyaan, gugatan, bahkan sanggahan terhadap
kebenaran cerita yang saya sampaikan merupakan pertanyaan penting. ”Apakah ini
sejarah atau cuma mitos ?. Yang tentu saja menggugat terhadap kaidah-kaidah
akademis untuk dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam ilmu ”Logika”, pembahasan tentang ”ilmu”
dan ”pengetahuan” merupakan dimensi yang terpisah[1].
Pengetahuan (knowledge) sudah menangkap terhadap kenyataan tentang sesuatu.
Sedangkan ilmu (science) menghendaki penjelasan lebih lanjut dari sekedar apa
yang dituntut oleh pengetahuan (knowledge).
Sebagai sebuah pengetahuan ditengah masyarakat
seperti ”Teluk sakti. Rantau Betuah. Gunung Bedewo” adalah pengetahuan yang
menempatkan nama-nama yang ditunjukkan tidak boleh dibuka. Nah. Science
kemudian menjelaskan. Daerah yang kemudian dihormati masyarakat adalah tutupan
hutan yang kemudian harus dilindungi. Terletak di dataran tinggi, hulu sungai
(Kepala sauk), kemiringan 45 derajat.
Atau didaerah gambut, masyarakat kemudian
mengenal sebagai ”pantang larang” yang kemudian menggunakan berbagai istilah
seperti ”hutan hantu pirau”, lopak, danau, aur, yang kemudian ditandai dengan ”Akar
bekait, pakis dan jelutung”. Pengetahuan yang diturunkan dari nenek moyang itulah kemudian ilmu (science) yang kemudian
menerangkan sebagai gambut dalam. Begitulah seterusnya.
Menempatkan tutur ditengah masyarakat sebagai
sumber utama pengetahuan menimbulkan kritikan yang tajam. Apakah tutur yang
kadangkala dibumbuhi mitos, irrasional, magis dapat dipertanggungjawabkan ?
Dimensi inilah yang kemudian ditimpali oleh
Guru Wiwin yang menerangkan tentang kemajuan ilmu sejarah. Menggunakan idiom ”No
document. No history” sudah lama ditinggalkan. Sudah tidak relevan lagi dalam
kontek perkembangan sejarah. Bukankah Skripsi ”H. Misbah” adalah kumpulan
berbagai rangkaian wawancara mendalam terhadap mitos H. Misbah. Atau. Bukankah
berbagai cerita misteri G-30 S/PKI berangkat dari berbagai kesaksian dari
mereka yang terlibat dalam arus putaran politik menjelang politik saat itu ?
Dalam ranah ilmu hukum, gejala-gejala sosial
tidak dapat dikategorikan sebagai hukum. Hukum yang kemudian ditempatkan
sebagai produk, dibuat oleh penguasa negara, malah kemudian tidak dapat
menempatkan hukum adat sebagai Hukum tertulis.
Gugatan ini kemudian tidak relevan. Baik
pengakuan terhadap masyarakat Hukum Adat yang sudah banyak diadopsi berbagai
peraturan perundang-undangan, yurisprudensi bahkan dalam berbagai bahan untuk
memotret hukum adat.
Dari dimensi inilah kemudian saya menghadirkan
tutur ditengah masyarakat sebagai sumber utama didalam melihat, memotret maupun
memahami sejarah maupun sejarah nenek moyang orang Jambi.