11 November 2018

opini musri nauli : Kisah Penjual Lontong


“Bagaimana keadaan maknya ? Kok sudah lama tidak kelihatan”, Kataku penasaran.

“Sudah 140 hari meninggal, bang”, kata sang abang sembari mengungkapkan kesedihannya.

“Sembilan bulan dia stroke”, katanya melanjutkan.
“Innalilahi. Sudah lama saya tidak kesini”, kata saya sembari menyeruput kopi.

Sudah setahun saya tidak mampir ke toko. Menjual lontong di Pasar TAC. Pasar tradisional yang sering saya mampiri ketika mobilitas saya lebih banyak di area telanaipura. Salah satu kecamatan di Jambi.

Makan lontong adalah sebuah ritual hampir setiap bulan saya lakoni. Adukan kental sayur lontong membuat lidah tidak bisa berbohong. Selain makan lontong di TAC, saya juga sering mampir penjual lontong di Taman Simpang Pulai. Dan makan lontong depan SD 4 Jambi.

Berbagai kisah lontong memang menjadi bagian ritual pagi hari. Entah sehabis mengantar anak sekolah, mampir sejenak sembari menikmati cerita dari pinggiran. Entah bicara harga cabe, ataupun harga kelapa. Padanan lontong yang tidak bisa dipisahkan satu dengna yang lain.

Perjalanan ke Padang, selalu mampir di Solok. Dengan tulisan “Katupek Pitalah”, di persimpangan di Solok, salah satu ritual menjelang ke padang atau ke Padang Panjang.

Kembali ke kisah penjual lontong di Pasar TAC. Seingatku, aku sudah mampir kesana sejak putri tertuaku berumur 2 tahun. Masih kecil. Masih zaman reformasi.

“Lalu siapa yang memasak ? Apakah abang sudah mengetahui bumbu dan racikannya ?, Kataku penasaran.

“Sudah lama. Sudah hapal bumbu dan racikannya.

“Lalu dimana beli kelapanya ?”, kataku melanjutkan cerita.

Dengan fasih putra tertua penjual lontong bercerita tentang pembelian kelapa. Langganan ibunya sejak tahun 1970-an. “Dekat Mall kapuk. Toko Ahuy, bang”, sembari menyulut rokoknya.

“harga tidak pernah naik dari pasaran. Dia memang pintar. Dari dulu cuma jual kelapa. Anak buahnya be 20 orang. Kemudian dia membeli tanah. Dia tanam kelapa. Sehingga tidak pernah kehabisan kelapa”, ujarnya sembari menghentikan pembicaraan. Melayani pembeli yang datang.

“Beda dengan orang kita, bang”, lanjutnya setelah melayani pembeli. “Kalo tidak ada datang, kelapa toko kemudian tutup”, sembari menuangkan air putih. Melihat gelas saya kosong.

“Harga tidak pernah mahal dari pasar. Dia mempunyai kelapa sendiri.. Benar-benar tenang kita. Kapan saja kita memerlukan. Dia selalu ada. Tinggal menguceknya”, terusnya.

Hubungan bisnis antara penjual kelapa dengna penjual lontong sudah berlangsung hampir 50 tahun.

Akupun kemudian bergegas meninggalkan tokonya. “yang tabah, bang. Jaga kualitas lontong. Khan langganan sudah tahu, enaknya lontong disini”, kataku.

“Iya, bang. Makasih”.