“Bagaimana keadaan maknya ? Kok
sudah lama tidak kelihatan”, Kataku penasaran.
“Sudah 140 hari meninggal, bang”,
kata sang abang sembari mengungkapkan kesedihannya.
“Sembilan bulan dia stroke”, katanya
melanjutkan.
“Innalilahi. Sudah lama saya tidak
kesini”, kata saya sembari menyeruput kopi.
Sudah setahun saya tidak mampir ke
toko. Menjual lontong di Pasar TAC. Pasar tradisional yang sering saya mampiri
ketika mobilitas saya lebih banyak di area telanaipura. Salah satu kecamatan di
Jambi.
Makan lontong adalah sebuah ritual
hampir setiap bulan saya lakoni. Adukan kental sayur lontong membuat lidah
tidak bisa berbohong. Selain makan lontong di TAC, saya juga sering mampir
penjual lontong di Taman Simpang Pulai. Dan makan lontong depan SD 4 Jambi.
Berbagai kisah lontong memang
menjadi bagian ritual pagi hari. Entah sehabis mengantar anak sekolah, mampir
sejenak sembari menikmati cerita dari pinggiran. Entah bicara harga cabe, ataupun
harga kelapa. Padanan lontong yang tidak bisa dipisahkan satu dengna yang lain.
Perjalanan ke Padang, selalu mampir
di Solok. Dengan tulisan “Katupek Pitalah”, di persimpangan di Solok, salah
satu ritual menjelang ke padang atau ke Padang Panjang.
Kembali ke kisah penjual lontong di
Pasar TAC. Seingatku, aku sudah mampir kesana sejak putri tertuaku berumur 2
tahun. Masih kecil. Masih zaman reformasi.
“Lalu siapa yang memasak ? Apakah
abang sudah mengetahui bumbu dan racikannya ?, Kataku penasaran.
“Sudah lama. Sudah hapal bumbu dan
racikannya.
“Lalu dimana beli kelapanya ?”,
kataku melanjutkan cerita.
Dengan fasih putra tertua penjual
lontong bercerita tentang pembelian kelapa. Langganan ibunya sejak tahun
1970-an. “Dekat Mall kapuk. Toko Ahuy, bang”, sembari menyulut rokoknya.
“harga tidak pernah naik dari
pasaran. Dia memang pintar. Dari dulu cuma jual kelapa. Anak buahnya be 20
orang. Kemudian dia membeli tanah. Dia tanam kelapa. Sehingga tidak pernah
kehabisan kelapa”, ujarnya sembari menghentikan pembicaraan. Melayani pembeli
yang datang.
“Beda dengan orang kita, bang”,
lanjutnya setelah melayani pembeli. “Kalo tidak ada datang, kelapa toko
kemudian tutup”, sembari menuangkan air putih. Melihat gelas saya kosong.
“Harga tidak pernah mahal dari
pasar. Dia mempunyai kelapa sendiri.. Benar-benar tenang kita. Kapan saja kita
memerlukan. Dia selalu ada. Tinggal menguceknya”, terusnya.
Hubungan bisnis antara penjual
kelapa dengna penjual lontong sudah berlangsung hampir 50 tahun.
Akupun kemudian bergegas
meninggalkan tokonya. “yang tabah, bang. Jaga kualitas lontong. Khan langganan
sudah tahu, enaknya lontong disini”, kataku.
“Iya, bang. Makasih”.