Ketika
Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU 2019, Kota Banjar, Jawa Barat 27
Februari – 1 Maret 2019 dan kemudian mengeluarkan rekomendasi, tema status
non-muslim kemudian menarik perhatian public kontemporer di Indonesia.
Disatu
sisi, penggunaan dan penggantian kata menjadi “non-muslim” lebih menarik untuk
didiskusikan. Dengan berpedoman Al Qur’an terjemahan Depag, berhadapan dengan
hasil munas yang belum berkesudahan.
Sebagai
kaidah fiqh aqidah, ormas selevel NU sudah tuntas mengkaji istilah atau kata
dari “kafir” dan kemudian menggantikan menjadi non muslim.
Dibutuhkan
berbagai disiplin ilmu untuk memahami keputusan para alim ulama NU. Diantaranya
ilmu “nahwu”, “ushul Fiqh”, “asbabul nuzul”, fiqh”, “hadis”, “tafsir’. Belum
lagi berbagai disiplin ilmu pendukung seperti “lugha Arabiah”, “Tashrif
(sharaf)”, “balagha”, ilmu Qira’ah”, Ushuludin”, “Nasikh Mansukh”. Sayapun
teringat untuk memahami norma dari suatu peraturan perundang-undangan.
Dalam
lapangan ilmu hukum, memaknai pasal-pasal tidak cukup memahami dengan “kata-kata”
yang ditafsirkan gramatikal (letterlijk). Dibutuhkan berbagai disiplin ilmu
untuk memahaminya. Entah filsafat, sosiologi, ilmu hukum, tata
perundang-undangan, putusan hakim, cara pandang hakim (pertimbangan hukum),
pendapat sarjana (doktrin) maupun berbagai polemic ditengah masyarakat. Belum
lagi nilai-nilai, asas dan prinsip untuk memotret norma-norma peraturan
perundang-undangan.
Dalam
melakukan penafsiran hukum maka dikenal diantaranya “penafsiran gramatikal”, “penafsiran
historis/sejarah”, “penafsiran sistematis”, “penafsiran teleologis/sosiologis”,
“penafsiran autentik”, “penafsiran ekstensi”, “penafsiran ektensi”, “penafsiran
analogi”, “penafsiran restriktif, “penafsiran nasional”, “penafsiran a
contrario”.
Dalam
praktek di pengadilan, penafsiran justru memperkaya bacaan kita memandang norma.
Kata
“Setiap orang” atau “barang siapa” yang dituduh melakukan tindak pidana tidak
cukup hanya melihat manusia sebagai subyek hukum (naturaalijek person). Tapi
dibutuhkan teori kesalahan dan pertanggungjawaban.
Pasal
44 KUHP, Pasal 48 KUHP – Pasal 51 KUHP justru mengatur tentang alasan penghapus
dan pemaaf perbuatan pidana. Bahkan untuk menghubungkan antara kesalahan dengan
pertanggungjawaban juga dibutuhkan berbagai teori causalitet (hubungan sebab
dan akibat).
Sehingga
walaupun tindak pidana telah terjadi dan “setiap orang” atau “barang siapa”
telah terbukti, namun pembuktian pertanggungjawaban juga harus dibuktikan.
Apabila
sang pelaku didalam unsur “setiap orang” atau “barang siapa” kemudian telah
terbukti namun didalam melihat pertanggungjawaban tidak dapat dikenakan
sebagaimana diatur didalam pasal 44 KUHP, Pasal 48 – Pasal 51 KUHP, maka sang
pelaku dapat dibebaskan atau dilepaskan dari tindak pidana. Orang gila
misalnya. Atau anak masih berumur 12 tahun sama sekali tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Atau
dengan kata lain, walaupun norma didalam pasal-pasal KUHP sudah jelas
tercantum, namun terhadap pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Belum
lagi “penafsiran” kata “zinah” yang dipahami masyarakat dengan makna didalam
KUHP. KUHP masih mengandung arti “zinah” adalah “hubungan yang dilakukan salah
satu terikat perkawinan”. Bukan “hubungan suami istri”.
Kata
“zinah” yang dipahami oleh masyarakat yaitu “hubungan yang dilakukan bukan
suami istri” bertentangan dengan makna dengan arti “zinah” salah satu terikat
perkawinan.
Lha.
Bagaiman hubungan yang “tidak pantas” yang dilakukan keduanya tidak terikat
perkawinan ?
Dalam
berbagai yurisprudensi “disebutkan” hubungan suka sama suka yang tidak terikat
perkawinan maka tidak dapat dikategorikan “zinah” menurut KUHP. Sehingga
dipastikan tidak dapat dikenakan tindak pidana “zinah” menurut KUHP. Hubungan
ini biasa dikenal “samenliven”.
Belum
lagi berbagai pasal-pasal KUHP yang kemudian dicabut MK selain “bertentangan”
dengan semangat Indonesia merdeka, juga ditafsirkan sebagai “ketinggalan zaman”.
Penafsiran ini juga dikenal sebagai “penafsiran sosiologis”. Atau bisa juga “penafsiran
historis”.
Begitu
banyaknya ilmu bantu untuk menafsirkan peraturan perundang-undangan maka ilmu
hukum bukanlah berdiri tunggal. Berbagai disiplin ilmu juga turut membantu
untuk menafsirkannya.
Jadi.
Sehebat apapun anak SMA menghapal norma peraturan perundang-undangan, tetap
tidak bisa memahami makna peraturan perundang-undangan tanpa ilmu hukum dan
berbagai disiplin ilmu lain untuk menafsirkannya.