Menyebutkan
nama Sungai Bahar, maka terbayang nama tempat di kabupaten Muara Jambi. Semula
termasuk kedalam Kecamatan Mestong. Mestong kemudian dikenal sebagai Marga Mestong.
Mestong kemudian dikenal dengan Nama
Periai “Mestong Serdadu”. Keturunan dari Kiyai Patih bin Panembahan Bawah Sawo.
Bergelar Ngebi SIngo Patih Tambi Yudo. Dengan jabatan Penghulu/Pemangku.
Tugasnya memelihara persenjataan.
Wilayah (Tembo) Mestong disebutkan
didalam Piagam Mestong yang menyebutkan “Adapun
perbatasan tanah pijoan Sungai Manggis itu yang disebelah hilir di tepi sungai
Batanghari Besar, sebelah kanan mudik Muara Pijoan (Rengas Panjang dahan) dari
Rengas Panjang menuju Lebung belut, dari situ menuju Sungai raman, menurut
seliuk-selangkok Sungai Raman, dari situ menuju Rawang Medan, dari situ menuju
Singkawang besar, dari situ menuju Lopak Sepong, dari situ menuju Terah Besar,
dari situ menuju Titian Sengkawang Lubuk Tuak Belimbing, padu raksa dengan
orang Pulau Betung, dari situ ke hulu menuju teras kayu kacang serta buluh Aur
dan Duren Kelapa terkandung-kandung didalam tanah Sungai Manggis, dari situ
menuju Galumbung, dari galumbung menuju Lebung Sekamis, dari situ menuju Solok
Imanan, dari situ menuju ke Payo Lebar, dari situ menuju Sialang Sipih Besar,
dari situ menuju Sikejam, dari situ menuju Puting Payo Sikejam, dari situ
menuju Pematang Tengah dalam Payo Sikejam hingga sampai ke Kayo Aro Manggis,
dari situ menuju Sibungur, dari situ menuju Payo Kelambai, dari situ menuju
Talang Durian Petarik, dari situ menuju puting Sumanau, dari situ menuju Muara
Sekah, dari situ menuju Bakah Terang, dari situ menuju Tanjung Beliku, Air
sebelok Mudik, dari situ menuju Pematang Mimbar Duo, dari situ menuju Lasung
Pelubangan, dari situ menuju Bungkal Padu empat, yang pertama padu raksa dengan
tanah Bajubang, pad raksa dengan tanah Rengas Condong, padu raksa dengan Tanah
Bulian.
Watas
itulah bekal padu empat. Yang pertama itulah kedarat Tanah Pijoan. Tanah
Bajubang, Tanah Rengas Condong, tanah Muara Bulian. Demikianlah adanya[1].
Bahar
adalah istilah untuk satuan terhadap barang. Dalam hal ini satuan terhadap Lada
(di Jambi sering disebut dengan Sahang). Satu bahar = 6 zaak. Atau 25-30 real
(1660. Laporan J. C. Van Leur). Dalam perkembangannya, harga satu bahar Lada
kemudian disetarakan dengan 12-30 real.
Dalam
perdagangan di Sumatera, Politik Lada dikenal memasuki paruh abad XVII. Lada umumnya tumbuh di
kawasan barat Sumatera, mulai dari utara Pasaman (kawasan sekitar Sungai Masang
dan Batang Pasaman) hingga daerah sekitar Bayang dan Inderapura di selatan.
Daerah yang paling cocok untuk penanaman lada ini adalah kawasan yang memiliki
tanah rata di tepi sungai, namun tidak persis di pinggir sungai itu (tidak
tergenang atau terendam bila banjir). Letak yang dekat dengan pinggir sungai
juga ditujukan untuk memudahkan pengangkutan bila lada telah dipanen.
Barbara
Watson Andaya didalam bukunya[2],
Hidup Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad XVII – XVIII, jejak lada dapat
ditandai di Kembang Seri (Batanghari). Dijelaskan “Kembang Seri tetap dapat menjalin hubungan dagang dan
mendirikan kontak untuk mengatur perdagangan. Sedangkan Kerajaan mengatur
tentang batas-batas, administrasi, menyelesaikan perselisihan dan denda
perselisihan.
Namun pemaksaan penanaman merica
tidak terhenti walaupun telah selesai perdamaian antara Kerajaan Minangkabau
dengan Kerajaan Jambi. Tahun 1741, Kepala Kembang Seri mengeluhkan terhadap
Pangeran Ratu yang tetap memaksa penduduk untuk kerja paksa menanam merica.
Sedangkan Pangeran termuda yaitu Pangeran Sutawijaya yang menguasai Tujuh Koto
dengan mencabuti pohon kapas dan memaksa penduduk untuk menanam merica.
Pertengkaran keluarga Kerajaan juga terjadi di Merangin dan Air Hitam. Kesemua
pangeran yang menguasai daerah hulu memaksa penduduk untuk membayar upeti dan
pajak dan memaksa menanam merica.
Sedangkan
didalam Manuskrip
Inderapura sebagaimana dilaporkan oleh Kroeskamp[3] didalam buku Gusti Anan “Kerajaan Indrapura”[4],
“Daerah
yang menjadi basis penanaman dan produksi lada adalah daerah-daerah di selatan
Inderapura hingga Silebar (sekarang di Provinsi Bengkulu)”.
Bahkan Air Bangis, Sasak, Tiku, Pariaman, Koto
Tangah, Padang, dan Inderapura juga menyumbang perdagangan ke Indrapura[5].
Selain itu Batangkapeh, Taluk, Taratak, Sirantiah, Ampiakparak, Kambang,
Lakitan, Pelangai, Sungaitunu, dan Pungasan, serta daerah-daerah di selatannya
seperti Air Haji selanjutnya dikumpulkan di Inderapura. Inderapura kemudian sebagai
Salah Satu Intraport Pantai Barat Sumatera.
P.
Swantoro, Perdagangan Lada abad XVII – Perebutan Emas Putih dan Hitam di
Nusantara, kemudian menjelaskan. Di Palembang dan Lampung, lada ditanam setelah 2
atau 3 x tanaman padi[6].
Lampung adalah produsen lada terbesar di nusantara.
Lada
kemudian "meledak". Dan menjadi kekayaan di kerajaan Palembang
Darussalam, Kerajaan Jambi, Kerajaan Indrapura.
Kekayaan yang kemudian mereka menjadi "primadona".
Sehingga
jejak penamaan “Bahar” tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang dari
perdagangan Lada di Jambi.
Sungai
Bahar juga merupakan tempat kelompok Batin 9. Kelompok Batin Sembilan yang
mendiami 9 daerah aliran sungai (Sungai Jebak,
Jangga, Bahar, Bulian / Semak), Sekisak, Sekamis, Burung Hantu / sungai
Pemayung, Pemusiran dan sungai Singoan). Wilayah penyebaran 9 daerah aliran
sungai ini termasuk wilayah dengan topografi dataran rendah[7].
Pada tahun 2010 lalu, Sungai Bahar
sudah dipecah menjadi 3 kecamatan. Kecamatan Sungai Bahar, Kecamatan
Bahar Utara dan Kecamatan Bahar Selatan Kabupaten Muara Jambi, Jambi.
Baca : Marga Mestong