Tidak dapat dipungkiri, Bahasa adalah
satu solusi sebagai lalulintas pergaulan. Sebagai penyampai pesan. Sebagai
bentuk komunikasi yang efektif.
Berbeda dengan isyarat yang akan
justru menimbulkan “salah tafsir”, Bahasa dapat menjelaskan berbagai gagasan,
keinginan bahkan berbagai persoalan.
Namun akhir-akhir ini, justru
penggunaan istilah, cara penyampaian gagasan bahkan penggunaan diksi kata atau
kalimat justru menjadi “persoalan”. Bahkan meruncing menjadi konflik yang
berkepanjangan.
Sebagai “orang” yang diberi
kemewahan, saya termasuk beruntung. Bertemu dengan berbagai pihak dan orang
yang justru saling bertentangan. Bahkan satu sama lain justru “menegasikan’.
Sebagai advokat dan berlatar
belakang sarjana hukum, saya harus menguasai detail “nilai-nilai”, “asas-asas”,
“prinsip” atau “norma-norma”. Pelajaran dasar yang mesti terus dikuasai dan
dijaga sebagai bahan baku untuk melihat peraturan (dalam pendekatan kritis),
mencari peluang untuk materi di persidangan.
Sebagai “manusia”, saya harus
terus menjaga nalar “logika” sebagai alat untuk melihat persoalan. Baik dengan
menggunakan logika yang kemudian dihubungkan dengan premis mayor-premis
minor-konklusi”. Materi dasar yang diajarkan dalam setiap organisasi ataupun
materi dasar yang tetap terus dijaga.
Sebagai “orang yang dilahirkan”
dalam masa kelam orde baru, saya merasakan “ketidakadilan”. Baik melihat
persoalan ditengah masyarakat maupun diranah-ranah persidangan. Ruang
persidangan menjadi arena untuk menguji hipotesis-hipotesis “ketidakadilan”.
Menjadi “medan tarung” untuk mencari keadilan. Suasana yang terus menerus saya
jaga.
Sebagai “orang” yang tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan sosial berorganisasi, saya mengalami “benturan”
sosial. Baik melihat “perampasan tanah”, “rusaknya lingkungan” dari kerakusan industry
yang ditopang oleh negara. Maupun kemudian juga merasakan “orang yang
terpinggirkan”.
Berbagai dunia yang berbeda juga
menyebabkan saya kemudian memahami berbagai istilah. Diksi yang menjelaskan
berbagai persoalan.
Sebagai contoh. Dalam pandangan
pemerintah/kelas menengah, wilayah yang menjadi klaim dikenal berupa pemetaan.
Namun apabila kita kemudian
menyodorkan tentang peta, tentu saja itu tidak menjadi pengetahuan masyarakat.
Di Jambi mungkin dikenal “Tembo.
Padahal antara peta/pemetaan
apabila disandingkan dengan “tembo” sebenarnya adalah sama. Justru tentang
tembo, masyarakat mampu dan fasih menerangkan tentang wilayah dan tata ruang.
Atau istilah gambut. Sampai
berbuih-buih menerangkan gambut dan tentang pentingnya gambut untuk dilindungi,
masyarakat belum juga “ngeh”.
Namun apabila kita meminta
masyarakat menyebutkan tentang “air tergenang, tidak kering dimusim kemarau,
banyak ikan”, maka bermunculan istilah-istilah. Entah “payo dalam”, payo”, “rawa”,
“soak”, danau”, lopak”, “bento”, “lebung”, “tanah ireng”, rawang hidup”, tanah
begoyang” atau istilah lain untuk menceritakan tentang gambut.
Atau jangan ceritakan tentang “pentingnya
hutan”. Tapi coba cari bahan pengetahuan masyarakat tentang hutan. Keluarlah
istilah “hutan keramat”, “hutan puyang”, “rimbo sunyi”, yang menggambarkan
perlindungan hutan oleh masyarakat.
Dan pengetahuan itu masih hidup
dan dikenal masyarakat hingga sekarang.
Namun kesulitan menjelaskan satu
persoalan dari “berbagai komunitas” juga disebabkan, kita sendiri tidak
merunduk dan mendengarkan dari sudut pandang lain. Kita masih “terjebak” dengan
“cara pandang” kita sendiri dan menganggap paling mengetahui.
Namun terlepas dari semuanya. Saya
selalu bersyukur kepada sang alam penguasa semesta diberi kemewahan merasakan berbagai perbedaan dunia.
Dan “kemewahan” itu saya gunakan
untuk menjelaskan berbagai tema dari berbagai sudut pengetahuan yang berbeda.