10 Februari 2020

opini musri nauli : Bahasa




Tidak dapat dipungkiri, Bahasa adalah satu solusi sebagai lalulintas pergaulan. Sebagai penyampai pesan. Sebagai bentuk komunikasi yang efektif.

Berbeda dengan isyarat yang akan justru menimbulkan “salah tafsir”, Bahasa dapat menjelaskan berbagai gagasan, keinginan bahkan berbagai persoalan.

Namun akhir-akhir ini, justru penggunaan istilah, cara penyampaian gagasan bahkan penggunaan diksi kata atau kalimat justru menjadi “persoalan”. Bahkan meruncing menjadi konflik yang berkepanjangan.

Sebagai “orang” yang diberi kemewahan, saya termasuk beruntung. Bertemu dengan berbagai pihak dan orang yang justru saling bertentangan. Bahkan satu sama lain justru “menegasikan’.

Sebagai advokat dan berlatar belakang sarjana hukum, saya harus menguasai detail “nilai-nilai”, “asas-asas”, “prinsip” atau “norma-norma”. Pelajaran dasar yang mesti terus dikuasai dan dijaga sebagai bahan baku untuk melihat peraturan (dalam pendekatan kritis), mencari peluang untuk materi di persidangan.

Sebagai “manusia”, saya harus terus menjaga nalar “logika” sebagai alat untuk melihat persoalan. Baik dengan menggunakan logika yang kemudian dihubungkan dengan premis mayor-premis minor-konklusi”. Materi dasar yang diajarkan dalam setiap organisasi ataupun materi dasar yang tetap terus dijaga.

Sebagai “orang yang dilahirkan” dalam masa kelam orde baru, saya merasakan “ketidakadilan”. Baik melihat persoalan ditengah masyarakat maupun diranah-ranah persidangan. Ruang persidangan menjadi arena untuk menguji hipotesis-hipotesis “ketidakadilan”. Menjadi “medan tarung” untuk mencari keadilan. Suasana yang terus menerus saya jaga.

Sebagai “orang” yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sosial berorganisasi, saya mengalami “benturan” sosial. Baik melihat “perampasan tanah”, “rusaknya lingkungan” dari kerakusan industry yang ditopang oleh negara. Maupun kemudian juga merasakan “orang yang terpinggirkan”.

Berbagai dunia yang berbeda juga menyebabkan saya kemudian memahami berbagai istilah. Diksi yang menjelaskan berbagai persoalan.

Sebagai contoh. Dalam pandangan pemerintah/kelas menengah, wilayah yang menjadi klaim dikenal berupa pemetaan.

Namun apabila kita kemudian menyodorkan tentang peta, tentu saja itu tidak menjadi pengetahuan masyarakat.

Di Jambi mungkin dikenal “Tembo.

Padahal antara peta/pemetaan apabila disandingkan dengan “tembo” sebenarnya adalah sama. Justru tentang tembo, masyarakat mampu dan fasih menerangkan tentang wilayah dan tata ruang.

Atau istilah gambut. Sampai berbuih-buih menerangkan gambut dan tentang pentingnya gambut untuk dilindungi, masyarakat belum juga “ngeh”.

Namun apabila kita meminta masyarakat menyebutkan tentang “air tergenang, tidak kering dimusim kemarau, banyak ikan”, maka bermunculan istilah-istilah. Entah “payo dalam”, payo”, “rawa”, “soak”, danau”, lopak”, “bento”, “lebung”, “tanah ireng”, rawang hidup”, tanah begoyang” atau istilah lain untuk menceritakan tentang gambut.

Atau jangan ceritakan tentang “pentingnya hutan”. Tapi coba cari bahan pengetahuan masyarakat tentang hutan. Keluarlah istilah “hutan keramat”, “hutan puyang”, “rimbo sunyi”, yang menggambarkan perlindungan hutan oleh masyarakat.  

Dan pengetahuan itu masih hidup dan dikenal masyarakat hingga sekarang.

Namun kesulitan menjelaskan satu persoalan dari “berbagai komunitas” juga disebabkan, kita sendiri tidak merunduk dan mendengarkan dari sudut pandang lain. Kita masih “terjebak” dengan “cara pandang” kita sendiri dan menganggap paling mengetahui.

Namun terlepas dari semuanya. Saya selalu bersyukur kepada sang alam penguasa semesta diberi kemewahan merasakan berbagai perbedaan dunia.

Dan “kemewahan” itu saya gunakan untuk menjelaskan berbagai tema dari berbagai sudut pengetahuan yang berbeda.