28 Februari 2020

opini musri nauli : Sertifikat





Ya. Apalah arti sertifikat. Selembar surat yang cuma menerangkan satu hal. Tidak lebih. Bahkan kekuatan sertifikat malah kekuatannya dibawah ijazah, akta perusahaan ataupun saham perusahaan.

Namun disatu sisi, dengan adanya sertifikat, maka dipastikan, pemegang sertifikat mempunyai kualifikasi tertentu. Sehingga siapapun dapat meyakini.

Tema sertifikat menarik ketika seorang tukang bangunan depan rumah bercerita. Seorang kuli angkut yang cuma mendorong alat angkut pasir. Biasa dikenal “gerobak sorong”. Bahkan “tukang gerobak sorong” harus mempunyai SIM (saya ragu dengan istilah SIM. Mungkin istilah untuk menggambarkan persyaratan).

Dengan fasih dia menceritakan. Untuk mengurusi SIM, dia harus mempunyai kemampuan seperti mampu mengaduk semen, mampu memasang plester keramik, dll. (Setelah kupikir, kayaknya ini bukan SIM. Tapi sertifikat).

“Mengurusinya di… Nah. Semakin yakin. Bukan di kantor kepolisian. Tapi di lembaga sertifikasi.

Bayangkan. Seorang tukang gerobak sorongpun harus mempunyai sertifikat.

Lalu mengapa ada semacam penolakan keras tentang sertifikakasi ahli agama ? Mengapa resisten sekali penolakkannya.

Saya teringat kisah tentang pengangkatan Pastor di agama khatolik atau Pendeta diagama Protestan. Banyak sekali rangkaiannya. Belum lagi waktu ditempuhnya.

Di Protestan, seorang penginjil harus seorang sarjana teologi dan sudah menjalani pelayanan minimal 2 tahun. Sedangkan seorang pendeta sudah harus menjalani pelayanan selama 7 tahun.

Sedangkan di Katolik, menjadi pastor lebih panjang lagi. Seorang pastor dapat diangkat setelah 5 tahun menjadi imam. Belum lagi jenjang seminari yang harus diikuti ketat bertahun-tahun.

Setiap proses pendeta atau pastor tercatat rapi dalam dokumen yang dapat diakses siapapun. Sehingga tidak mudah orang mengaku menjadi Pastor atau pendeta.

Sayapun menjadi tertawa ngakak ketika ada orang yang mengaku “pernah menjadi pastor” namun keliru mencampuradukkan istilah pendeta dan pastor. Belum lagi mencampuradukkan antara istilah PGI dan KWI.  

Sehingga tidak mungkin seorang yang baru hapal satu-dua ayat kemudian bisa berdiri di podium.

Ironi ini banyak menggejala sekarang ini. Tanpa “ba-bi-bu”, dengan seenaknya menafsirkan ayat-ayat suci agama “sekendak perutnya”. Apalagi kemudian dia menafsirkan dari kitab suci terjemahan. Bukan dari sumber langsung.

Atau seorang “yang mengaku” tokoh agama yang tidak tahu ilmu dasar. Dengan enteng menafsirkan kata “kafir’ dengan cueknya.

Atau tanpa berdosa menyebutkan penyakit korona dikaitkan dengan agama ?

Lalu mengapa ketika tema sertifikasi diwacanakan kemudian keras menolaknya ? Bukankah dalam urusan agama diserahkan kepada ahlinya ?

Belajar agama bahkan menjadi ahli agama memerlukan waktu bertahun-tahun. Lihatlah tokoh-tokoh agama yang kemudian kitabnya menjadi rujukan. Selain memang mereka “haus ilmu”, mereka “dijaga” kesuciannya. Selain mereka tuntas memahami kitab dengan baik, mereka terus menjaga ilmunya dengan tawaddu.

Suara mereka lirih hampir tidak terdengar. Setiap malam mereka bermunajab kepada sang Pencipta. Agar ilmunya berguna bagi orang lain.

Sudah saatnya kita memikirkan tentang sertifikasi terhadap ahli agama yang hendak naik mimbar. Dengan cara sertifikasi, kita dapat mengetahui “dimana dia nyantri”, “dengan siapa dia nyantri”, “berapa lama dia nyantri”, cara ini juga dapat mengetahui dan memberikan informasi kepada publik. Sehingga agama tidak dijadikan “dagelan’ yang menjadi tertawaan orang banyak.

Sertifikasi juga menyaring “ulama abal-abal” atau “ustad abal-abal” yang tanpa pernah kita ketahui jejaknya kemudian “lantang didepan podium”.

Sehingga tanpa sertifikat, maka seseorang tidak dibenarkan untuk mengisi pengajian ataupun ceramah umum. Sehingga ceramahnya tidak menjadi tertawaan orang banyak.

Lembaga yang mengeluarkan sertifikasi bisa saja organisasi keagamaan atau sekolah agama yang kredibel. Sehingga publik mendapatkan “jaminan mutu” dari tokoh agama.

Boleh saja menolak.

Tapi masa kita harus kalah dengan “tukang gerobak sorong’ yang sudah punya sertifikat.  

Malu, ah.