Ya.
Apalah arti sertifikat. Selembar surat yang cuma menerangkan satu hal. Tidak
lebih. Bahkan kekuatan sertifikat malah kekuatannya dibawah ijazah, akta
perusahaan ataupun saham perusahaan.
Namun
disatu sisi, dengan adanya sertifikat, maka dipastikan, pemegang sertifikat
mempunyai kualifikasi tertentu. Sehingga siapapun dapat meyakini.
Tema
sertifikat menarik ketika seorang tukang bangunan depan rumah bercerita.
Seorang kuli angkut yang cuma mendorong alat angkut pasir. Biasa dikenal “gerobak
sorong”. Bahkan “tukang gerobak sorong” harus mempunyai SIM (saya ragu dengan istilah SIM. Mungkin
istilah untuk menggambarkan persyaratan).
Dengan
fasih dia menceritakan. Untuk mengurusi SIM, dia harus mempunyai kemampuan
seperti mampu mengaduk semen, mampu memasang plester keramik, dll. (Setelah
kupikir, kayaknya ini bukan SIM. Tapi sertifikat).
“Mengurusinya
di… Nah. Semakin yakin. Bukan di kantor kepolisian. Tapi di lembaga
sertifikasi.
Bayangkan.
Seorang tukang gerobak sorongpun harus mempunyai sertifikat.
Lalu
mengapa ada semacam penolakan keras tentang sertifikakasi ahli agama ? Mengapa
resisten sekali penolakkannya.
Saya
teringat kisah tentang pengangkatan Pastor di agama khatolik atau Pendeta
diagama Protestan. Banyak sekali rangkaiannya. Belum lagi waktu ditempuhnya.
Di
Protestan, seorang penginjil harus seorang sarjana teologi dan sudah menjalani
pelayanan minimal 2 tahun. Sedangkan seorang pendeta sudah harus menjalani
pelayanan selama 7 tahun.
Sedangkan
di Katolik, menjadi pastor lebih panjang lagi. Seorang pastor dapat diangkat
setelah 5 tahun menjadi imam. Belum lagi jenjang seminari yang harus diikuti
ketat bertahun-tahun.
Setiap
proses pendeta atau pastor tercatat rapi dalam dokumen yang dapat diakses
siapapun. Sehingga tidak mudah orang mengaku menjadi Pastor atau pendeta.
Sayapun
menjadi tertawa ngakak ketika ada orang yang mengaku “pernah menjadi pastor” namun keliru mencampuradukkan istilah
pendeta dan pastor. Belum lagi mencampuradukkan antara istilah PGI dan KWI.
Sehingga
tidak mungkin seorang yang baru hapal satu-dua ayat kemudian bisa berdiri di
podium.
Ironi
ini banyak menggejala sekarang ini. Tanpa “ba-bi-bu”,
dengan seenaknya menafsirkan ayat-ayat suci agama “sekendak perutnya”. Apalagi kemudian dia menafsirkan dari kitab
suci terjemahan. Bukan dari sumber langsung.
Atau
seorang “yang mengaku” tokoh agama
yang tidak tahu ilmu dasar. Dengan enteng menafsirkan kata “kafir’ dengan cueknya.
Atau
tanpa berdosa menyebutkan penyakit korona dikaitkan dengan agama ?
Lalu
mengapa ketika tema sertifikasi diwacanakan kemudian keras menolaknya ?
Bukankah dalam urusan agama diserahkan kepada ahlinya ?
Belajar
agama bahkan menjadi ahli agama memerlukan waktu bertahun-tahun. Lihatlah
tokoh-tokoh agama yang kemudian kitabnya menjadi rujukan. Selain memang mereka “haus
ilmu”, mereka “dijaga” kesuciannya. Selain mereka tuntas memahami kitab dengan
baik, mereka terus menjaga ilmunya dengan tawaddu.
Suara
mereka lirih hampir tidak terdengar. Setiap malam mereka bermunajab kepada sang
Pencipta. Agar ilmunya berguna bagi orang lain.
Sudah
saatnya kita memikirkan tentang sertifikasi terhadap ahli agama yang hendak
naik mimbar. Dengan cara sertifikasi, kita dapat mengetahui “dimana dia nyantri”,
“dengan siapa dia nyantri”, “berapa lama dia nyantri”, cara ini juga dapat
mengetahui dan memberikan informasi kepada publik. Sehingga agama tidak
dijadikan “dagelan’ yang menjadi tertawaan orang banyak.
Sertifikasi
juga menyaring “ulama abal-abal” atau
“ustad abal-abal” yang tanpa pernah
kita ketahui jejaknya kemudian “lantang
didepan podium”.
Sehingga
tanpa sertifikat, maka seseorang tidak dibenarkan untuk mengisi pengajian
ataupun ceramah umum. Sehingga ceramahnya tidak menjadi tertawaan orang banyak.
Lembaga
yang mengeluarkan sertifikasi bisa saja organisasi keagamaan atau sekolah agama
yang kredibel. Sehingga publik mendapatkan “jaminan mutu” dari tokoh agama.
Boleh
saja menolak.
Tapi
masa kita harus kalah dengan “tukang
gerobak sorong’ yang sudah punya sertifikat.
Malu,
ah.