26 Februari 2020

opini musri nauli : Botak






Sebagai praktisi hukum 23 tahun yang lalu, melihat tahanan yang kemudian “dibotak” selalu menarik perhatian. Selain menjadi cerita disela-sela pemeriksaan awal di Kepolisian, tema botak adalah salah satu “obat terapi” kepada sang tersangka. Selain juga “memberikan sugesti” agar “tabah” menjalani proses hukum yang sedang berjalan.

Tema “botak” kemudian menjadi viral. Melihat photo para tersangka dalam kasus meninggalnya murid sekolah dalam kegiatan “susur sungai” justru malah mengaburkan peristiwa hukum itu sendiri. Publik kemudian memberikan dukungan. Bahkan ada “kesan” tuduhan “botak” adalah “upaya pemaksaan” dari kepolisian.

Botak atau mencukur rambut habis sering kita lihat ditahanan kepolisian. Terutama 1-2 hari setelah ditahan. Lalu apakah ada “kewajiban” atau “perintah khusus” dari kepolisian untuk “membotak seluruh tahanan”.

Dalam perjalanan mendampingi tersangka dari tahap penyidikan, berbagai kasus-kasus berat sering penulis alami. Entah bandar narkoba, pembunuh, penipu ulung, perampok bahkan kejahatan-kejahatan berat.

Penulis pernah mendampingi pembunuh yang membunuh korbannya menggunakan “belati” sebanyak 38 x. Setelah “membunuh” dia kemudian santai merokok diatas mayat korban. Sembari meminta kepada yang hadir agar memanggil kepolisian menangkapnya.

Penulis juga pernah mendampingi bandar narkoba yang “barang buktinya” cukup membuat seluruh pemuda di Jambi bisa “fly” selama setahun.

Apakah para pelaku kemudian “botak”. Tidak. Sama sekali tidak. Mereka tetap menjalani proses hukum sebagaimana layaknya tanpa harus botak ketika awal penahanan.

Bahkan para tersangka yang pernah penulis damping lebih banyak tidak botak daripada botak. Sehingga tema botak bukanlah bahan yang menarik bagi penulis.

Lalu dimana cerita tentang “botak” ditemukan. Dalam beberapa kali ketemu dengan tersangka yang kemudian “botak” di kepolisian, kisah “botak” adalah “keinginan sendiri” dari para tersangka. Berbagai alasan yang sering mereka sampaikan.

Namun yang paling banyak alasannya adalah “membuang sial”. Karena ketika ditangkap, mereka sudah menyadari melakukan kejahatan.  Sehingga ketika mulai menjalani tahanan, mereka berharap “bisa menjalani dengan baik”. Sehingga dapat memulai hidup baru.

Alasan lain juga adalah “biar kepala tidak pusing” dengan rambut awut-awutan. Karena selain akan memakan waktu mengurusi rambut, sisir adalah salah satu barang yang tidak diperkenankan berada didalam ruangan tahanan.

Belum lagi “fresh” dengan “botak”. Dengan alasan “biar dingin kepala”.

Selain itu juga “ada semacam” solidaritas antara sesama tahanan. Sebagai bentuk “persamaan nasib”.

Sehingga dipastikan, “botak” adalah keinginan dari para tersangka sendiri. Tentu saja “tidak mungkin” ada “perintah khusus” atau “pemaksaan” dari pihak kepolisian. Sebuah asumsi yang dibangun untuk meruntuhkan moril pihak kepolisian yang mengusut tuntas kasus ini.

Lalu mengapa “botak” menjadi tema penting dalam kasus yang menimpa siswa sekolah dalam kegiatan susur sungai ?

Tanpa harus memasuki wilayah penyidikan, penulis khawatir justru “dukungan” kepada para tersangka akan memberikan apresiasi terhadap para tersangka. Sehingga terhadap kasus hukumnya kemudian “tenggelam” dalam riuh “botak”.

Selain itu, sebagai kasus yang menarik perhatian publik, tentu saja pihak kepolisian sangat berhati-hati “memperlakukan” kasus ini. Sehingga “upaya pemaksaan” agar botak yang dituduhkan sebagian kalangan justru menjadi aneh.

Jangankan kasus yang menarik perhatian nasional, kasus-kasus yang menarik perhatian didaerah saja, berbagai pihak banyak sekali memonitornya.

Sehingga keanehan ini justru menguatkan penulis. Ada “upaya penggiringan” dan memberikan dukungan kepada para pelaku.

Kita harus memberikan dukungan kepada pihak kepolisian agar mengusut tuntas kasus ini. Selain menyebabkan “tewasnya siswa” cukup menyedihkan, “kelalaian” Pembina tanpa melihat keadaan “sungai” yang meluap serta tidak beradanya Pembina sekolah ditempat kejadian adalah ‘fakta” yang harus kita jaga sebagai pembuktian dalam peristiwa ini. Sekaligus meminta pertanggungjawaban hukum sebagai bentuk pembenahan kedepan (pendidikan hukum ditengah masyarakat).

Advokat. Tinggal di Jambi