Usai sudah perjalanan panjang bangsa Indonesia memilih demokrasi sebagai jalan menuju kesejahteraan. Usai sudah “kebebasan berpendapat”, kebebasan berkumpul” (Pasal 28 ayat (3) UUD 1945), kebebasan bergerak.
Namun untunglah, kebebasan yang termasuk kedalam kategori HAM disebutkan sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right). Sehingga wacana untuk “mempersoalkannya” tidak seberat daripada hak essential (non derogable right) seperti “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” (Pasal 28 I ayat (1) Konstitusi).
Sehingga penetapan untuk “melarang” hak-hak diatas yang berlandaskan Pasal (1) angka (2) dan Pasal 49 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2008 Karantina Kesehatan (Baca UU Karantina ). Kemudian dipertegas PP No. 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala besar dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) (baca Pembatasan Sosial Berskala besar/PSBB).
Sehingga berdasarkan perintah dari UU Karantina dan PP PSBB maka Jokowi kemudian menetapkan sebagai “jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan Kesehatan masyarakat (Pasal Kesatu Keppres No. 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) (Baca Kepres Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat/Keppres Penetapan Darurat).
Didalam Pasal 1 PP PSBB disebutkan “… Pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam sustu wilayah yang diduga terinfeksi Covid 19 untuk mencegah kemungkinan penyebaran covid 19”. Kegiatan yang dibatasi seperti “peliburan sekolah dan tempat kerja”, “pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum” (Pasal 14 ayat (1) PP PSBB).
Apabila kita hubungkan “hak-hak” yang kemudian dibatasi (derogable right) oleh UU Karantina, PP PSBB dan Keppres Penetapan Darurat maka tidak menjadi persoalan yang besar. Atau secara hukum dapat dibenarkan.
Namun apabila kita telaah lebih jauh, ada konsep pemikiran dari ranah Filsafat Hukum.
Dalam diskusi intensif berbagai forum dan berbagai “point-point” yang disampaikan, penulis lebih senang menyebutkan sebagai “pergeseran” konsep pemikiran.
Secara sekilas, apabila hak-hak yang diatur didalam konstitusi yang kemudian dikenal sebagai hak seperti “kebebasan berpendapat”, kebebasan berkumpul” (Pasal 28 ayat (3) UUD 1945), atau kebebasan bergerak adalah melambangkan konsepsi pemikiran dari pendekatan kepastian hukum (rechtsecherheit). Konsepsi dasar yang disampaikan oleh Gustav Radhburc.
Dalam perkembangannya, konsepsi pemikiran yang meletakkan kepastian hukum (rechtsecherheit) tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang “asas kepastian hukum” yang berangkat dari konsepsi “teori hukum murni (Hans Kelsen)” sebagai padanan “tandingan” dari hukum Moral/Hukum Alam. Ajaran ini juga dipengaruhi Montesquieu dan Immanuel Kant.
Hukum Murni yang berkelindan dengan asas positivisme dapat dilacak dari Pasal 1 KUHP yang tegas menyatakan “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Sehingga hakim harus mengadili UU atau hakim sama sekali tidak boleh menilai keadilan dari undang-undang” (Pasal 20 AB).
Makna ini kemudian sering juga disebutkan sebagai “asas legalitas”. Sehingga tidak salah kemudian hakim sebagai corong/mulut Undang-undang (la bouche de la loi). Asas yang disampaikan oleh Feuerbach.
Ajaran inilah yang oleh Gustav Radhburc disebutkan sebagai kepastian hukum (rechtsecherheit).
Disatu sisi peristiwa pandemik Corona yang kemudian dilihat pandangan negara melalui UU Karantina, PP PSBB dan Keppres Keppres Penetapan Darurat maka bandul kemudian bergeser.
Kegiatan seperti “peliburan sekolah dan tempat kerja”, “pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum” (Pasal 14 ayat (1) PP PSBB), bahkan lebih ditegaskan lagi melalui Maklumat Kapolri Nomor 2/III/2020 seperti “pertemeuan sosial, budaya, keagamaan/aliran kepercayaan, lokakarya, sarasehan (point 1), konser musik, pekan raya, festival, pasar malam, bazaar, pameran (point 2), kegiatan olahraga, kesenian, jasa hiburan (point 3), unjuk rasa, pawai, karnaval (point 4) adalah kegiatan yang dilarang.
Sehingga dengan Pasal 14 ayat (1) PP PSBB dan Maklumat Kapolri Nomor 2/III/2020 maka kemudian “merampas” hak-hak yang diatur didalam konstitusi.
Namun disisi lain, kegiatan yang dilarang sebagaimana diatur didalam Pasal 14 ayat (1) PP PSBB dan Maklumat Kapolri Nomor 2/III/2020 justru efektif untuk penanganan penyebaran virus corona.
Sehingga Myrna Savitri justru melihat dari perspektif lain. Pasal 14 ayat (1) PP PSBB dan Maklumat Kapolri Nomor 2/III/2020 adalah ajaran kemanfaatan hukum (zwachmatigheit).
Ajaran tentang kemanfaatan hukum (zwachmatigheit) juga disampaikan oleh Gustav Radhburc.
Dalam praktek peradilan, asas kemanfaatan hukum (zwachmatigheit) ditandai dengan putusan tersebut dapat dieksekusi secara nyata sehingga memberikan kemanfaatan bagi kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan kemanfaatan bagi masyarakat pada umumnya. Atau sering juga disebutkan sebagai hukum adalah untuk masyarakat. Dengan demikian maka tujuan hukum harus berguna untuk manusia.
Lambang pemikiran asas kemanfaatan hukum (zwachmatigheit) dapat dilihat berbagai yurisprudensi yang membenarkan “ultra petita”. Asas “ultra petita” yang menempatkan hakim tidak boleh mengabulkan melebihi apa yang diminta. Namun asas “ultra petita” kemudian dikesampingkan berbagai yurisprudensi seperti Yurisprudensi No. 140 K/Sip/1971, Yurisprudensi No. 556 K/Sip/1971, Yurisprudensi No. 1097 K/Pdt/2009 dan Yurisprudensi No. 425 K/Sip/1975.
Selain itu juga dapat dilihat didalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang (SE MA No. 3 Tahun 1963). SE MA No. 3 Tahun 1963 SE MA No. 3 Tahun 1963 kemudian mengabaikan Pasal 108 BW dan Pasal 110 BW yang berkaitan dengan “izin dari suami kepada isteri untuk melakukan perbuatan hukum”. Sehingga berdasarkan SE MA No. 3 Tahun 1963 maka sang istri tidak memerlukan “izin dari suami untuk melakukan perbuatan hukum.
Sehingga berdasarkan SE MA No. 3 Tahun 1963 kemudian dikuatkan didalam Pasal 31 UU Perkawinan.
MK sendiri sudah jauh menetapkan “keadilan substansif (substantive justice)” daripada “keadilan prosedural” (procedural justice)”. Lihatlah bagaimana MK kemudian mengaku hak memilih bagi eks PKI, mengabulkan putusan sela dalam kasus Bibit-Candra terhadap UU KPK. Putusan sela kurang dikenal di MK. Atau Putusan MK tentang pengabulan permohonan sengketa Pilkada yang tidak mempersoalkan penghitungan hasil penghitungan suara. Namun dapat membuktikan agar dapat dilaksanakan “pemungutan ulang”.
Praktek yang jamak terhadap “kecurangan didalam pilkada” tanpa harus melihat hasil penghitungan suara kemudian dikenal sebagai kecurangan “Terstruktur, sistematif dan massif”.
Dengan demikian maka dalam praktek peradilan, asas kemanfaatan hukum (zwachmatigheit) mengenyampingkan asas kepastian hukum (rechtsecherheit).
Dalam pendekatan psikologi masyarakat Indonesia sekarang, asas kemanfaatan hukum (zwachmatigheit) berdasarkan Pasal (1) angka (2) dan Pasal 49 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2008 Karantina Kesehatan (Baca UU Karantina ). Kemudian dipertegas PP No. 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala besar dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) (baca Pembatasan Sosial Berskala besar/PSBB) dapat diterima.
Dengan adanya Pembatasan Sosial Berskala besar (PSBB) sebagai “penangkal penyebaran virus corona” dapat dibenarkan.
Namun mengutip Gustav Radhburc, apabila dipertentangkan asas kemanfaatan hukum (zwachmatigheit) dengan asas kepastian hukum (rechtsecherheit) maka dapat ditelaah lebih jauh.
“Pertama-tama bahwa konflik keadilan dan kepastian hukum (Rechtssicherheit) benar-benar tidak dapat diselesaikan, sehingga memungkinkan hanya prioritas bersyarat. Kedua, bahwa prioritas bersyarat ini beroperasi dalam mendukung kepastian hukum; ketiga, bahwa keutamaan kepastian hukum dicabut, ketika ketidakadilan menjadi tak tertahankan.”
Dengan demikian maka apabila adanya benturan antara asas kepastian hukum (rechtsecherheit) dengan asas keadilan (gerechtigheif), maka asas keadilan (gerechtigheif) harus diutamakan. Sehingga Gustav Radbruch masih tergolong ke dalam paham positivisme. Tetap mengedepankan asas keadilan yang sarat dengan norma-norma yang bersifat abstrak. (Theo Huijbers, Hal. 162).
Pencarian terkait : Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,
Opini Musri Nauli dapat dilihat www.musri-nauli.blogspot.com