06 April 2020

opini musri nauli : Corona - Peluang Bebas napi ?





Ketika Menkumham memaparkan jumlah narapidana dan tahanan di Indonesia mencapai 270.386 orang. Sementara kapasitas LP dan rutan hanya mampu menampung 131.931 orang, maka kampanye untuk “pembebasan narapidana” dipercepat menjadi wacana publik.

Dengan slogan “jaga jarak (physical distancing)” sebagai upaya antisipasi penyebaran virus corona, maka kapasitas LP/Rutan untuk menampung narapidana menjadi tidak tercapai. Menkumham kemudian menerbitkan Surat Keputusan Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 pada tanggal 30 Marit 2020.

Namun “entah dimana muncul”, narapidana korupsi malah memantik polemik. Berbagai komentar kemudian bersilewaran dan menjadi tema yang kemudian menenggelamkan tema pokok. Jaga jarak (physical distancing)” sebagai semangat untuk mencegah penyebaran virus corona.

Persoalan menjadi rumit. Tema narapidana korupsi menjadi tema justru menjauhkan dari makna “Lembaga Pemasyarakatan”. Sebuah hakekat diatur didalam UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).

Dalam makna UU Pemasyarakatan disebutkan “sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem Pemasyarakatan”. Sehingga berbagai ordonansi (Peraturan perundang-undangan zaman kolonial Belanda) seperti Ordonnantie op de Voorwaardelijke Invrijheidstelling Stb. 1917-749, Stb. 1926-488, Gestichten Reglement Stb. 1917-708, Dwangopvoeding Regeling Stb. 1917-741 dan Uitvoeringsordonnantie op de Voorwaardelijke Veroordeeling Stb. 1926-487 kemudian dinyatakan tidak berlaku.

Membaca makna filosofi “menggantikan sistem kepenjaraan” yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman maka UU Pemasyarakatan kemudian menempatkan warga binaan harus mencakup menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Sehingga tidak salah kemudian UU Pemasyarakatan menitikberatkan sebagai “pembinaan”. Bukan “balas dendam (lex talionis )”.

Konsepsi “balas dendam” berangkat dari pandangan retributif. Pemidanaan hanya menempatkan sebagai upaya pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moral.

Suharto menyebutkan dengan istilah “pemidanaan” (sentence” atau veroordeling”). Ted Hondrich  menegaskan “Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress). Beccaria menyebutkan  “Punishment should fit the crime”.

Konsepsi dikenal sebagai Aliran klasik. Inti dari konsep aliran klasik ini adalah adanya hukuman yang sama untuk perbuatan yang sama tanpa memperhatikan sifat dari pelaku dan tidak pula memperhatikan kemungkinan adanya peristiwa-peristiwa tertentu yang memaksa terjadinya perbuatan. Tokohnya adalah Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham.

Memasuki abad 20-an, aliran klasik kemudian ditinggalkan. Aliran kemudian dikenal utilitarian.  Aliran yang kemudian memandang  pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaan dan situasi. Sehingga faktor-faktor lain seperti antropologi dan sosiologi melihat sebagai gejala sosial ditengah masyarakat.

Dengan demikian maka ordonansi seperti Ordonnantie op de Voorwaardelijke Invrijheidstelling Stb. 1917-749, Stb. 1926-488, Gestichten Reglement Stb. 1917-708, Dwangopvoeding Regeling Stb. 1917-741 dan Uitvoeringsordonnantie op de Voorwaardelijke Veroordeeling Stb. 1926-487 melambangkan aliran klasik. Aliran yang kemudian ditinggalkan berdasarkan UU Kemasyarakatan.

Sehingga ketika UU Pemasyarakatan kemudian menitikberatkan “pembinaan” dengan menempatkan “sebagai warga binaan” (Pasal 1 UU Pemasyarakatan) maka ajaran balas dendam tidak dapat diterapkan lagi.

Atau dengan kata lain, ketika hakim telah memutuskan dan putusan hukum sudah mempunyai kekuatan mengikat (inkracht van gewijsde), maka fungsi pemidanaan telah selesai. Bandul “pembinaan” kemudian tunduk kedalam UU Pemasyarakatan. Atau menjadi “warga binaan”.

Apabila ditarik melihat makna filosofi, maka tidak ada lagi “upaya balas dendam”. Sehingga “warga binaan” kemudian menjalani putusan hakim (inkracht van gewijsde) tidak dapat dijatuhi hukuman diluar dari putusan hakim. Termasuk juga tidak dibenarkan untuk menjalani hukuman dari publik.

Sehingga berangkat dari pemahaman “pembinaan”, maka narapidana kemudian berhak untuk menikmati remisi (pengurangan hukum). Hak yang diatur didalam PP No. 32 Tahun 1999). PP No. 99 Tahun 2012 juga menegaskan hak remisi diberikan kepada narapidana anak, pidana paling lama 1 tahun, berusia 70 tahun, menderita sakit berkepanjangan,

Selain remisi, warga binaan juga berhak untuk mendapatkan asimilasi. Hak didapatkan setelah menjalani setengah masa tahanan (narapidana anak) atau 2/3 masa tahanan untuk pidana biasa.

Namun terhadap kejahatan tertentu seperti tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi maka kemudian persyaratan kemudian diperketat.

Dengan menghubungkan “pengurangan kapasitas LP/rutan” yang overload, semangat pembinaan berdasarkan UU Pemasyarakatan, aturan main mengenai remisi dan asimilasi maka dengan mudah kita dapat melihat “siapa saja” warga binaan yang akan menikmatinya.

Sehingga kita tidak perlu terjebak didalam polemik “siapa saja” yang berhak menikmati remisi dan asimilasi.

Mengutip seloko Jambi “menggaji diatas kitab. Menangis diatas bangkai”, maka polemik tentang “siapa såja” yang mendapatkan remisi dan asimilasi sudah ada pedomannya.

Yang pasti, dengan peristiwa pandemik virus corona, maka “warga binaan” yang sudah memenuhi persyaratan menikmati remisi dan asimilasi akan merasakannya. Selain membantu untuk pencegahan virus corona dengan slogan “jaga jarak (physical distancing)”, warga binaan dapat berkumpul bersama dengan keluarga tercinta diluar LP/rutan. 

Pencarian terkait : Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,


Opini Musri Nauli dapat dilihat www.musri-nauli.blogspot.com