06 Oktober 2020

opini musri nauli : Membicarakan Konflik Sektor Kehutanan

 

Membicarakan sumber daya alam di Jambi tidak dapat dilepaskan dari akibat pengelolaan sumber daya. 


Namun disisi lain, persoalan pengelolaan sumberdaya alam tidak dapat dilepaskan dari konflik. 


Tahun 2017 didapatkan jumlah mencapai 762 konflik. Terdiri dari Kebakaran/banjir/gempa bumi mencapai 268 konflik. Disusul persoalan air sebanyak 146. Kemudian konflik terjadi di masyarakat adat, petani, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan sebanyak 115. Lalu Tambang mencapai 95 konflik. HTI/hutan sebanyak 57 konflik. Lahan gambut sebanyak 33 konflik dan monokultur 28 konflik. 


Konflik yang terjadi kemudian menambah daftar panjang konflik yang terjadi sebelumnya. Tahun 2015, Di Sektor perkebunan, tahun 2015 diidentifikasi 36 konflik lahan dan 19 konflik kemitraan yang dihadapi 31 perusahaan perkebunan di Jambi. Padahal konflik-konflik sebelumnya belum dapat diselesaikan. 


Jaringan Masyarakat Gambut Jambi menyebutkan konflik yang terjadi di Sponjen, Sogo, Tanjung, Rukam, Serdang Jaya, Sungai Baung, Suak Samin, Sungsang, Lumahan, Kelagian. 


Konflik yang terjadi di Jambi disebabkan berbagai factor.  Polda Jambi menyebutkan kategori konflik disebabkan oleh masalah Poleksosbud, SARA, Batas Wilayah dan SDA. 


Badan Kesbangpol Propinsi Jambi menyebutkan konflik terjadi disebabkan eskalasi konflik lahan. Baik di sector perkebunan, HTI dan tambang. 


Sedangkan menurut catatan akhir tahun 2013 di Propinsi Jambi terdapat 21 kasus konflik sosial yang dialami oleh masyarakat adat dan 12 kasus konflik sosial antara petani dan perusahaan. 


Berbagai literatur menyebutkan factor konflik di sektor kehutanan disebabkan  1). Keberadaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), 2). Keberadaan Hutan Tanaman Industri (HTI), 3). Keberadaan Hutan Restorasi, 4). Keberadaan Program Pemerintah Daerah, 5). Keberadaan Perkebunan Kelapa Sawit milik perusahaan, 6). Keberadaan Perkebunan Karet milik perusahaan, 7). Keberadaan Perusahaan Perorangan, dan

8). Keberadaan Lokasi Transmigrasi. 


Ada juga menyebutkan berdasarkan tipologi seperti  Desa/Dusun/Kampung dalam konsesi dengan pemegang izin, tanah ulayat, tanah untuk pemenuhan kebutuhan hidup (livelihood), jual beli, spekulan.  


Catatan Walhi Jambi menyebutkan pola yang terus berkembang. Dimulai sektor sawit, tambang dan kehutanan. Trend angka yang terus menaik menjadikan berbagai konflik belum dapat diselesaikan. 


Untuk menjernihkan didalam memahami konflik maka diperlukan anatomi konflik. Dilihat dari (1) Penyebab terjadinya konflik, (2) Pihak yang berkonflik, (3) Proses terjadinya konflik, (4) Dampak terjadinya konflik, 5) Proses penyelesaian konflik.
 


Dalam praktek yang selama ini penulis gunakan, salah satu menggunakan Hukum Adat Jambi. Berbagai seloko seperti “pantang larang”, Tanah pemberian”, “batas tanah”, tanah terlantar, “jenjang adat”, “sanksi adat” merupakan cara yang mudah didalam memotret konflik di Jambi. 


Berhamburanlah berbagai seloko seperti  “rimbo sunyi”, rimbo keramat, rimbo puyang”, imbo pusako, rimbo bulian, Bukit tepanggang, “Teluk sakti-rantau betuah-gunung bedewo”, kepala sauk, ulu sungai, Langsat-durian, Manggis-Manggupo, Durian-Kepayang, Sialang- Pendulangan, Sesap-Belukar, Suak-Sungai, Lupak Pendanauan, “Durian dak boleh ditutuh”, tanah irung-tanah gunting, ujung batin, tanah pembarap, pancung alas), “Pamit ke penghulu, setawar sedingin, Datang nampak muko-pegi nampak punggung, nasi putih-air jernih, rapat kenduri, puji perago”, Sepenegak rumah atau Bidang,  “takuk pohon”, “tuki”, “sak Sangkut” , “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”, “Lambas”, Lambas berbanjar, pegang pakai, tanah ajun dan tanah arah Mentaro, pancung alas, “pinang belarik”,  “mentaro”,  “Sesap rendah jerami tinggi, Tunggul pemarasan, hilang celak jambu kleko, belukar lasah, belukar mudo, beluko tuo, umo sesap, umo rimbo atau perimbun. 


Selain itu didalam Prosesi adat yang ditandai dengan seloko “jenjang adat. Betangkap naik bertangga turun, LID dikenal sebagai “tigo tali sepilin, tigo tungku sejerang” ada juga menyebutkan “Tiga tali sepilin. Tungku sejarangan”. 


Atau Pelanggaran dikenal dengan sanksi adat seperti “kebo. Beras 100 gantang”, “kambing, beras 20 gantang” dan ayam beras segantang”. 


Selain itu juga dikenal  “Umo betalang jauh, pusako mencil, “Plali”, ingkar batin serah ke negeri”. 


Komitmen Pemerintah Daerah diperlukan untuk menguraikan konflik dan upaya resolusi konflik. 


Gagasan oleh Pemerintah Provinsi Jambi harus dilanjutkan. Tim Inventarisasi dan Penyelesaian konflik mutlak diperlukan. 


Tim ini merupakan pemangku kepentingan (multstakeholder) yang concern dengan konflik di sekitar kehutanan. Sehingga diharapkan dapat dibangun upaya komunikasi yang intensif dari berbagai actor multistakeholders. Sekaligus dapat digunakan saluran negara sebagai bentuk pengakuan hak masyarakat. 


Dengan demikian maka tim dapat memperkuat data dan bukti terhadap bahan diajukan didalam mekanisme penyelesaian resolusi konflik. 


Hanya Kepala Daerah yang mempunyai pemahaman dan telah bekerja didalam resolusi konflik yang dapat menguraikan dan menyelesaikan konflik (resolusi konflik). 


Cara pandang dan rekam jejak yang menjadikan Pilkada Jambi dijadikan momentum untuk “memasukkan” agenda resolusi konflik sebagai tema penting didalamnya. 


Dan Pilkada Jambi tidak terjebak dengan eforia dan gegap gembita. Menenggalamkan tema konflik sehingga konflik terus terjadi dan berulang. 


Pencarian terkait : Musri nauli, opini musri nauli, jambi dalam hukum, hukum adat jambi, jambi, 


Opini Musri Nauli dapat dilihat : www.musri-nauli.blogspot.com