06 Oktober 2020

opini musri nauli : Tong kosong

 


Akhir-akhir ini, Pilkada Jambi 2020 tidak dapat dilepaskan dari kampanye yang berapi-api. Entah dengan semangat “program lahan tidur”, “menyelesaikan persoalan tambang”, “membangun jalan”, perhatian dengan “pertanian” atau issu-issu aktual lainnya. 


Sebagai gagasan, cita-cita, program ataupun “mimpi” membenahi Jambi, berbagai issu aktual pasti menarik perhatian orang. 

Namun sebagai gagasan tidak dapat dilepaskan dari “rekam jejak” ataupun pekerjaan yang pernah dilakukan sebelumnya. 


Masih ingat ketika “rakyat Jambi” kemudian “digiring” untuk “merebut pulau berhala”. Seluruh cheefleader kemudian bersorak-sorai. Heroik “seakan-akan” perang menghadapi bala tantara yang menyerang negeri ini. 


Sorak-sorai para cheefleader kemudian “redup”. Tenggelam bersamaan waktu. Tidak ada kemudian “mempersoalkannya” ketika sampai sekarang belum kembalinya Pulau Berhala kepangkuan Provinsi Jambi. 


Sebuah  gagasan, cita-cita, program ataupun “mimpi” boleh saja dapat menghipnotis masyarakat yang masih “buta” persoalan sebenarnya. 


Tapi ketika sang “orator’ yang berapi-api mau melaksanakannya namun kemudian tidak mampu mewujudkannya, bukankah justru “berkhianat” kepada negeri Jambi itu sendiri. 


Untuk mengukur gagasan, cita-cita, program ataupun “mimpi” tidak dapat dilepaskan dari “pekerjaan” yang telah dilakukan sang orator. Atau dengan kata lain, apakah ada “prestasi’ ataupun pekerjaan yang sudah dilakukan sang orator ?. Istilahnya “rekam jejak”. 


Apakah sang “orator” paham dengan gagasan, cita-cita, program ataupun “mimpi” itu ? Jangan-jangan eforia hanya “membius” masyarakat. Gegap gempita dari para supporter justru “memperkerdil” idenya sendiri. 


Dengan melihat rekam jejak maka “kampanye” sang orator dapat dinilai. Apakah cuma sekedar menyenangkan public didalam meraih dukungan. Atau cuma “menghipnotis” rakyat. 


Yang memalukan adalah ketika sang orator berapi-api menyampaikan gagasannya namun “miskin kreasi” mewujudkannya. Padahal “kesempatan” sudah diberikan. 


Bukankah itu kemudian dikenal sebagai “tong kosong nyaring bunyinya” ? 


Saya kemudian teringat dengan istilah yang dikenal nenek moyang orang Indonesia.  Tong kosong nyaring bunyi. 


Tong kosong nyaring bunyi adalah hanya tong kosong yang bisa nyaring bunyinya. Namun dalam maknanya, suara yang kencang namun miskin substansi. Sehingga perumpamaan yang dituturkan oleh nenek moyang orang Indonesia adalah “sindiran”. Bahkan “tamparan”. 


Dengan hanya mengucapkan kalimat pendek “tong kosong nyaring bunyinya”, maka kemudian diingatkan agar “orang yang suka berapi-api” namun miskin substansi “tidak perlu” didengarkan. 


Tong kosong kemudian menjadi perhatian pemusik. Dengan lugas group musik Slank didalam bait lagunya menghentak. 


Sedikit ngerti ngaku udah paham
Kerja sedikit maunya kelihatan
Otak masih kaya TK kok ngakunya sarjana
Ngomong-ngomongin orang kayak udah jagoan.. 


Tong kosong nyaring bunyinya
Klentang-klentong kosong banyak bicara
Oceh sana-sini nggak ada isi
Otak udang ngomongnya sembarang.. 


Sudah saatnya Pilkada Jambi 2020 diisi gagasan, program, mimpi tentang Jambi. Mendidik pemilih agar cerdas untuk melihat program yang ditawarkan oleh para kandidat. 


Bukan sekedar gagasan tanpa arti. Atau gagasan kosong melompong. 


Persis kayak kaleng atau “tong’. Yang “kosong melompong” namun cuma “nyaring” bunyinya.


Pencarian terkait : Musri nauli, opini musri nauli, jambi dalam hukum, hukum adat jambi, jambi, 


Opini Musri Nauli dapat dilihat : www.musri-nauli.blogspot.com