Akhir-akhir ini, saya lebih suka menggunakan ikat kepala. Kadangkala memakai lacak, blangkon atau udeng. Lacak nama resmi ikat kepala yang kemudian disepakati tokoh budayawan Jambi sejak tahun 1983.
Nama Lacak popular kembali ketika Gubernur Jambi Zumi Zola mengenakannya. Bahkan ditetapkan menjadi pakaian resmi di instansi Pemerintah.
Walaupun didaerah Timur Jambi seperti di Sabak dan Tungkal dikenal Tanjak, namun ketika pertemuan besar budayawan 1983, nama untuk ikat kepala di Jambi kemudian disepakati Lacak.
Tanjak dikenal didaerah pantai timur Sumatera. Seperti di Riau dan beberapa kabupaten yang termasuk Provinsi Riau dan Kepri.
Sedangkan Blangkon adalah ikat kepala masyarakat Jawa. Udeng dikenal di masyarakat Sunda dan Jawa Barat.
Ketertarikan saya menggunakan ikat kepala semata-mata didasarkan untuk menutupi kepala. Sejak April 2019, saya sudah menetapkan tidak lagi berambut gondrong. Selain alasan praktis karena “gerah” dan “repotnya” harus keramas 3 hari sekali juga didasarkan “protes” si Bungsu.
Si Bungsu yang dikenal tertib sering protes ketika ibunya meminta rambut pendek ketika ke sekolah. Dengan entengnya dia berujar “Ayah khan rambut panjang. Adek juga pengen rambut panjang”, protesnya ditengah “pemaksaan ibunya”.
Setelah “perundingan” panjang dengan istri kemudian mengalah dengan si bungsu, setelah Pilpres tahun 2019, saya kemudian “berikrar”. Untuk tidak lagi berambut panjang atau gondrong.
Akhirnya kemudian disepakati “semi botak’. Istilah tukang cukur “rambut 3 centi”.
Namun kadangkala teman-teman sudah mengenal saya berambut panjang. Entah beberapa kali, teman yang kukenal baik, malah tidak lagi “pasat’ ketika aku berambut pendek.
Dengan bersorak “Ya. Allah. Kau, li. Dak pasat nian aku. Mana rambutmu”, sambil berteriak.
Disisi lain, berbagai photo yang sudah beredar didunia maya, entah Facebook atau photo profile diberbagai opini masih mencantumkan photo berambut panjang.
Berbagai kisah menggunakan ikat kepala kemudian menimbulkan cerita unik. Sekaligus lucu.
Saydan. Ketika saya hendak bepergian menggunakan pesawat, saya merasakan bagaimana “cemeehan” penumpang lain melihat saya.
Dengan tatapan pandangan sinis “menganggap orang udik”, saya merasakan tatapannya.
Belum lagi gaya khas pencinta alam. Memakai tas “Backpack”, “sandal tracking” persis “backpacker”.
Padahal menggunakan tas “backpack” semata-mata karena alasan kepraktisan.
Jalan menuju gate tunggu relatif cukup jauh. Selain itu, hampir setiap melewati pemeriksaan harus membuka ikat pinggang, dompet, Handphone dan berbagai material yang terbuat dari besi. Entah kalung ataupun gelang.
Dengan menggunakan “backpack”, maka solusi kepraktisan dapat diselesaikan.
Tidak salah kemudian pandangan sinis melihat ikat kepala yang saya gunakan kemudian ditambah tas backpack, sandal tracking melengkapi pandangan sebagai “orang udik”.
Saya kemudian merasakan bagaimana suasana yang terjadi.
Setelah berangkat naik pesawat dan kemudian pesawat turun di Jambi, hampir praktis penumpang kemudian “serentak” berdiri. Tidak sabar untuk turun.
Padahal ketika pesawat berhenti di bandara maka memerlukan waktu untuk membuka pintu pesawat, memindahkan garbarata. Saya pernah menghitung hampir 15 menit.
Belum lagi kita mesti antri untuk menunggu penumpang didepannya lebih dahulu turun pesawat.
Disaat penumpang “seakan-akan” serentak berdiri, saya kemudian menyempatkan mengisi aplikasi e-HAC Indonesia. Aplikasi electronic Health Alert Card. Kewajiban mengisi aplikasi setiap penumpang yang hendak turun di suatu kota.
Sembari menunggu, mengisi aplikasi e-HAC dirasakan cukup. Saya tidak perlu tergesa-gesa turun.
Selain protokol kesehatan yang menghindari kerumuman, dengan mengisi e-HAC dapat melewati pos pemeriksaan dengan Cuma “scanning” oleh petugas di bandara.
Pengisian aplikasi e-HAC adalah kewajiban setiap penumpang. Penumpang tidak dibenarkan melewati pemeriksaan apabila tidak mengisi aplikasi. Petugas akan tegas melarang siapapun yang tidak melewati pemeriksaan.
Sembari santai setelah mengisi aplikasi saya kemudian turun dari pesawat. Karena tidak mau terjebak antrian, maka saya termasuk penumpang yang terakhir turun. Seingat saya, ada beberapa orang tua yang belum turun. Menunggu kursi roda penjemputan.
Namun alangkah kagetnya saya. Penumpang kemudian “menumpuk” didepan pemeriksaan.
Hampir setiap penumpang kemudian “sibuk” mendownload aplikasi. Mengisinya.
Dan nampak yang masih bingung untuk mengisi aplikasi.
Dengan santai, saya melewati barisan antrian. Sembari menunjukkan aplikasi e-HAC saya kemudian melewati barisan. Melewati petugas bandara dengan menunjukkan HP dan kemudian discan.
Dan saya melihat paling banyak 5-7 orang didepan saya yang melewati pintu kedatangan.
Sayapun tertawa.
Pepatah Inggeris terkenal terbukti. “Don’t judge a book by its cover”. Jangan menilai dari penampilan.
Jadi jelaskan. Siapa yang udik ?
Pencarian terkait : Musri nauli, opini musri nauli, jambi dalam hukum, hukum adat jambi, jambi,
Opini Musri Nauli dapat dilihat : www.musri-nauli.blogspot.com