14 Februari 2021

Opini musri nauli : Legal Reasoning sebagai identitas Advokat


 

“Mengetahui kekuatan sendiri merupakan sebagian kemenangan yang bisa diraih. Sedangkan sisanya adalah pertempuran itu sendiri”. (Filosofi China)

Sebagai materi legal reasoning yang kemudian disampaikan didalam PKPA, materi legal reasoning (LR) adalah identitas advokat. Sama dengan bentuk surat dakwaan dan putusan hakim yang menentukan peristiwa pidana yang terjadi.

Dalam praktek selama ini, masih sedikit sekali advokat yang merumuskan legal reasoning. Selain karena materi ini kurang menjadi perhatian dari advokat itu sendiri, materi ini praktis kurang menarik perhatian di kampus-kampus ilmu hukum.

Padahal dengan merumuskan dengan baik peristiwa hukum yang telah disampaikan para pencari keadilan, menjadi “panduan” (guideline) dari peristiwa hukum sehingga para pencari keadilan dapat menentukan apakah sengketa yang terjadi merupakan peristiwa hukum atau cuma peristiwa sosial biasa yang terjadi.

Dengan merumuskan legal reasoning membuat perkara menjadi mudah diaplikasikan dan dapat menjadi petunjuk kepada para pencari keadilan sekaligus menjadi bahan persiapan untuk mengajukan ke proses hukum.

Legal reasoning juga menjadi langkah kepada advokat itu sendiri dan menentukan hendak dibawa kemana sengketa itu harus diselesaikan. Apakah cukup menemui pihak yang berperkara (apabila perkara perdata), menentukan kompetensi hukum (PTUN, PN, Pengadilan Niaga, mediasi) dan sekaligus dapat mengukur kekuatan bukti yang dimiliki dengan perkara itu sendiri.

Filosofis China menyebutkan “Mengetahui kekuatan sendiri (dapat dibaca juga mengetahui persoalan sebenarnya) merupakan sebagian kemenangan yang bisa diraih. Sedangkan sisanya adalah pertempuran itu sendiri”.

Background Legal Reasoning

Sebelum menentukan pekerjaan yang hendak dilakukan didalam legal reasoning, maka penguasaan tentang Logika hukum mutlak dilakukan.

Argumentasi seperti Apakah bisa mengajukan Peninjauan kembali (herzeining) ke Mahkamah Agung bersamaan mengajukan grasi kepada Presiden ?.

Perdebatan bisa muncul. Sebagian membenarkan dengan alasan “tidak ada ketentuan yang mengaturnya”. Sebagian menolak dengan alasan “tidak dibenarkan. Mengajukan PK merupakan bentuk perlawanan terhadap putusan kasasi. Sementara satu sisi mengajukan meminta pengurangan hukum dengan bersandarkan “telah mengakui kesalahan.

Saya berpendapat terlepas apakah kita mendukung alasan pertama ataupun alasan kedua, logika yang hendak dibangun berdasarkan kepada common sense (yang mencakup Reasonable. Logis) , rasio (tidak ada pertentangan antara peristiwa hukum itu sendiri dengan akal pikiran).

Kemampuan menggunakan logika membuktikan, hukum bukanlah “ruang hampa” yang hanya dikuasai oleh praktisi hukum namun jauh dari essensi dari makna hukum itu sendiri. Hukum tetap berpijak kepada persoalan di tengah masyarakat.

Hukum haruslah menjadi “model” penyelesaian berbagai persoalan di tengah masyarakat. Hukum harus mengajarkan dan memberikan tuntutan kepada masyarakat. Terlepas dari putusan Hakim ada pengadilan negeri yang mengikat kepada pihak-pihak yang berperkara, hukum juga memberikan pelajaran hukum di tengah masyarakat.

Dengan logika maka hukum dapat “menyelesaikan” dan menjawab issu hukum di tengah masyarakat.

Dengan logikalah, sebuah perkara dapat ditentukan “kualitas” advokat dan merupakan identitas advokat itu sendiri.

Logika harus terus menerus diasah, diuji, diperdebatkan untuk menarik benang merah dan menghubungkan satu peristiwa hukum dengan peraturan, menghubungkan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain dan menghubungkan antara peristiwa hukum itu sendiri dengan perubahan hukum.

Untuk itu selain penguasaan logika, maka logika yang baik telah mengalami dialektika, membangun asumsi-asumsi dan hipotesis satu dengan yang lain juga mempertentangan antara satu logika dengan logika yang lain. Upaya ini dilakukan terus menerus dan menghasilkan logika yang sudah disaring dari berbagai sudut sehingga lebih komprehensif.

Begitu penting penguasaan logika maka pekerjaan selanjutnya didalam merumuskan legal reasoning merupakan pekerjaan yang relatif mengalir seperti air.

Tahap-tahap perumusan Legal Reasoning

Sebelum melakukan legal reasoning, diupayakan untuk mengumpulkan materi- materi yang berkaitan dengan peristiwa hukum yang terjadi. Materi-materi dapat berupa putusan-putusan (yurisprudensi), karya ilmiah, jurnal, tulisan, buletin ataupun berita-berita yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Setelah materi-materi dikumpulkan, kemudian diidentifikasi, diberi catatan penting dan menjadi bahan untuk menganalisis peristiwa hukum.

Selanjutnya melakukan “input” data dengan menggali informasi dari calon klien, menghubungkan antara satu peristiwa dengan bahan materi yang telah ada, mencoba alternatif berbagai skenario dengan menggali informasi kepada calon klien dan mencari alternatif yang paling memungkinkan.

Setelah data-data berhasil digali dari calon klien, diupayakan mengidentifikasikan persoalan yang telah disampaikan oleh calon klien. Misalnya menempatkan apakah perkara ini lebih tepat diklasififkasikan sebagai pekara perdata atau pidana, termasuk menentukan kompetensi yang berwenang.

Dari hasil pembahasan barulah ditentukan apakah harus menggunakan berbagai literatur, yurisprudensi ataupun penerapan hukum yang lebih tepat digunakan.

Struktur Legal reasoning

Setelah berbagai tahap-tahap telah dilakukan, lakukan croschek dan kemudian disusun draft LR.

Mengenai format dan bentuk LR, masih sedikit literatur yang saya ketahui. Tapi berdasarkan pengalaman praktis, struktur LR akan coba saya susun sebagai berikut :

1. Judul. Usahakan menggunakan judul dengan kata-kata yang sudah umum. Apabila tidak bisa dihindarkan, usahakan menggunakan arti bahasa Indonesia. Misalnya “Penggelapan” diusahakan dengan mengutip pasal- pasal yang relevan. Tidak salah kemudian kita memberikan catatan kaki untuk menguatkan definisi “penggelapan”. Kemudian usahakan judul singkat, padat dan jelas. Jangan menggunakan kata-kata “multitafsir”, menimbulkan pertanyaan yang mengganggu. 

2. Kronologis. Uraiakan kronologis secara singkat. Bandingkan dokumen- dokumen dengan penggalian informasi dari calon klien. Hasil dari pembahasan yang kemudian dituangkan didalam kronologis. 

3. Hubungkan antara kronologis dengan dalil-dalil hukum yang hendak digunakan. Dalil-dalil hukum dapat berupa makna konstitusi, norma-norma ketentuan hukum formal yang masih berlaku. Termasuk berbagai skenario alternatif kompetensi pengadilan yang berwenang untuk mengadilinya. 

4. Analisis. Analisis peristiwa hukum dengan menggunakan dalil-dalil hukum. Usahakan singkat, padat dan jelas. Apabila belum memungkinkan, sediakan alternatif-alternatif dan kemungkinan yang akan terjadi. Misalnya apabila disidangkan di Pengadilan Negeri dikhawatirkan perkara tidak akan diterima. 

5. Rekomendasi. Buatlah rekomendasi yang padat. Sehingga calon klien mempunyai pilihan skenario dan upaya yang akan ditempuhnya. 

Berbagai catatan yang telah disampaikan hanyalah pengalaman praktis selama penulis menjadi Advokat selama 17 tahun. Masih diperlukan penyempurnaan dan perbaikan ke depan.

Terlepas dari semuanya, Legal reasoning merupakan identitas dan kualitas dari seorang Advokat.

Ke depan, Indonesia memasuki AFTA, hanya advokat yang berkualitas yang mampu bersaing dan bertahan dari gempuran penyerbuan Advokat-advokat asing yang akan masuk ke Indonesia.