Tugas memberikan materi – saya lebih suka menyebutkan “berbagi pengalaman”, di PKPA DPC PERADI Jambi sudah sering saya lakukan. Bahkan ketika awal-awal berdirinya PERADI di Jambi.
Mungkin sejak 2006, materi yang disampaikan tidak jauh berkisar tentang dunia advokat. Sebuah profesi yang dibutuhkan masyarakat pencari keadilan.
Sebagai Pendidikan khusus untuk advokat, maka materi ajar yang disampaikan bukanlah pengetahuan dasar ilmu hukum. Tentu saja materi yang disampaikan adalah “pergumulan” praktek dunia hukum di proses hukum.
Yang biasa dikenal sebagai “litigasi”. Materi yang dapat memberikan bekal kepada calon advokat agar dapat berpraktek didunia hukum.
Materi yang diajarkan tentu saja perpaduan materi-materi dasar ilmu hukum, penelusuran hukum, memperkuat basis argumentasi hingga keterampilan didalam menulis.
Entah membuat surat kuasa, membuat gugatan, membuat eksepsi, pembelaan (pleidooi), memori keberatan (banding, kasasi dan PK). Juga materi-materi lain seperti penalaran hukum legal reasoning.
Untuk memudahkan materi yang disampaikan, tentu saja materi-materi dasar sudah menjadi pengetahuan yang melekat dari sarjana yang berlatar hukum.
Materi dasar seperti “nilai-asas-prinsip-norma”, subyek hukum, “sistem hukum”, kesalahan-pertanggungjawaban, legal standing, logika-logika hukum, kesalahan-kelalaian adalah pondasi sebagai sarjana hukum.
Dan materi ini tidak mungkin lagi diulang didalam materi didalam PKPA. Selain materi ini sudah diajarkan didalam kampus, materi ini adalah materi menjadi pengetahuan yang melekat dari sarjana hukum.
Nah. PKPA kemudian menajamkannya dan menjadi sebuah keterampilan untuk tampil dimuka persidangan.
Namun dalam refleksi menjadi pemateri didalam PKPA, materi-materi dasar yang seharusnya melekat didalam diri sarjana hukum malah kurang tergali. Bahkan praktis kesulitan peserta untuk dapat menguasai materi-materi dasar.
Entah berapa kali, saya harus menguraikan secara sekilas untuk “mengembalikan” memori lama pengetahuan dasar.
Berbagai pertanyaan kunci seperti perbedaan antara nilai dengan norma, antara kesalahan dan kelalaian, antara logika dan logika hukum, antara norma sosial dan norma hukum praktis membuat kelas sering hening. Mereka saling celengak-celenguk.
Padahal untuk melanjutkan materi ajar yang hendak disampaikan, dasar-dasar hukum mutlak harus dikuasai.
Berbagai contoh kasus seperti peristiwa “tugu tani”, “Tommy Soeharto mengajukan PK bersamaan dengan Grasi”, atau bahkan pertanggungjawaban pidana dalam kasus korupsi praktis tidak pernah dijawab dengan baik.
Bahkan argumentasi yang disampaikan jauh dari kesan sebagai sarjana hukum. Mereka terjebak didalam jawaban yang mereka baca di media massa.
Selain tidak memberikan “pencerahan” didalam jawabannya, teori-teori dasar dan pengetahuan dasar yang menjadi pijakan praktis sama sekali tidak digunakan.
Materi yang seharusnya cukup disampaikan sekitar 15-20 menit malah menjadi molor. Saya harus mengembalikan memori sekaligus memantik agar kembali ke pengetahuan dasar sebagai pijakan untuk membuat argumentasi hukum.
Alangkah ruginya mereka yang sudah berkuliah bertahun-tahun namun dasar-dasar hukum dan pengetahuan ilmu hukum tidak pernah membekas didalam argumentasinya.
Alangkah sayangnya waktu yang berlalu ketika mereka sendiri kurang menguasai dasar-dasar hukum.
Padahal saya percaya. Seleksi alam mengajarkan. Yang mampu bertahan adalah mereka yang menguasai ilmu hukum sekaligus dapat membaca tanda-tanda zaman.