Beberapa
waktu yang lalu, keresahan saya dimulai ketika adanya posting di Facebook dari
seorang advokat muda tentang Advokat. Keresahan bermula ketika dengan santai
sang advokat muda mengatakan dengan enteng “apabila
klien kurang mampu maka Surat kuasa menggunakan mesin tik. Karena harga tita
printer yang cukup mahal. Tidak cukup dengan thanks you”.
Secara
guyon, nada kelakar disampaikan sembari posting tanpa beban merasa bersalah.
Entah sedang berguyon atau pemikiran iseng, ucapan ini sungguh melukai hati.
Saya
cukup kaget dengan perkataan di media Facebook yang notabene dibaca orang
banyak (area public).
Sebagai
advokat muda, seingat saya baru saja dilantik dan diambil sumpah sebagai
advokat. Rasanya belum kering ucapan sumpah dengan janjinya di hadapan Negara.
Didalam
pasal 1 angka (1) UU Advokat dijelaskan “Advokat adalah orang yang berprofesi
memberi jasa hukum baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan UU ini. Didalam pasal 1 angka (2) Jasa hukum
adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan
hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan
hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Sedangkan didalam pasal 1 angka (9)
“Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma
kepada klien yang tidak mampu.
Pasal
1 angka (9) kemudian diletakkan sebagai bagian dari sumpah sebagai advokat sebagaimana
dijelaskan didalam pasal 4 ayat (1) point 6 “Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi
jasa hukum didalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian
daripada tanggungjawab profesi saya sebagai seorang advokat”.
Pasal
1 angka (9), pasal 4 ayat (1) point 6 kemudian dipertegas didalam pasal 22 ayat
(1) UU Advokat. “Advokat wajib memberikan
bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”.
Dengan
menilik pasal 1 angka (9), pasal 4 ayat (1) point 6 dan pasal 22 ayat (1) maka
kemudian advokat ditempatkan sebagai profesi luhur (officium nobile). Dengan
menyebutkan sebagai profesi luhur maka kemudian advokat tidak tepat disebut
sebagai sebuah pekerjaan. Advokat adalah profesi luhur. Sangat berbeda antara
profesi luhur dengan pekerjaan.
Dengan
menempatkan sebagai profesi luhur maka advokat kemudian terikat dengan kode
etik. Salah satu butir kode etik diatur mengenai “profesi luhur (officium
nobile)” didalam pasal 3 huruf g kode etik advokat. Sehingga sebagai profesi
luhur (officium nobile) kemudian sejajar dengan hakim dan jaksa didalam
melaksanakan profesinya (Pasal 8 huruf a Kode etik advokat).
Sebagai
profesi luhur (officium nobile), maka “Advokat
dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti
terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa (Pasal 4 huruf f Kode
etik advokat).
Dengan
menilik berbagai peraturan dan kode etik sehingga advokat kemudian harus
menempatkan sebagai sebuah “Profesi luhur (Officium Nobile)”. Tidak semata-mata
melaksanakan pekerjaan hukum seperti pekerjaan yang lain.
Materi
kode etik sudah termaktub didalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA ).
Materi ini kemudian diuji didalam Ujian Advokat dan menjadi salah satu
persyaratan menjadi advokat (Pasal 3 ayat (1) huruf f UU Advokat).
Dengan
melihat begitu banyak penempatan kata-kata “profesi luhur (officium nobile)”,
maka seorang advokat kemudian harus menempatkan Advokat sebagai profesi yang
menjunjung tinggi “bantuan hukum”. Terutama kepada masyarakat pencari keadilan
yang kemudian tidak dapat terpenuhi dengan alasan “biaya” dan kemampuan
ekonomi.
Sebagai
orang yang “dipercaya” Tuhan “sedikit pengetahuan hukum”, maka seorang advokat
kemudian membantu masyarakat mencari keadilan. Ditengah himpitan ekonomi, problema
hukum yang mendera maka fungsi advokat membantu sang pencari keadilan “memahami
hukum” sehingga masyarakat kemudian dapat melihat hukum sebagai pintu keadilan.
Bukan semata-mata melihat “hukum milik orang kuat maupun milik orang kaya”.
Ditangan
advokatlah, maka masyarakat kemudian berhasil menempatkan diri sebagai manusia “sama
kedudukan dimata hukum”. Ditangan advokatlah, masyarakat dapat menuntut
Presiden “sekalipun” dihadapan hukum. Setara yang ditandai dimuka persidangan.
Di
tangan advokatlah, maka hukum pidana kemudian memihak kebenaran. Menyatakan
yang salah dan kemudian mampu menyatakan benar. Ditangan advokatlah, hukum
menjadi berwibawa.
Dengan
tugas konstitusi yang begitu berat dan mandate sebagai “profesi luhur”, maka
integritas advokat menjadi benteng kokoh ditengah pesimis dan apatis public. Membangun
kepercayaan ditengah sikap antipati public yang masih rendah memandang hukum.
Masih
banyak teman-teman advokat yang rela “menemui klien” di rumah gubuk reot,
menggugat berbagai pihak yang merampas hak kliennya, berhadapan dengan penguasa
yang lalim namun kemudian tenggelam dengan berita tentang “gemerlap” advokat
dalam kasus-kasus besar. Tersita pemberitaannya dengan berita tentang “ribut-ribut”
advokat dalam kasus heboh.
Ditengah pesimis, apatis dan antipati bahkan rasa sinis, sikap yang menempatkan klien adalah salah satu bentuk profesionalisme seorang advokat. Dengan
menempatkan seorang klien (apapun alasannya baik ekonomi maupun yang mampu),
memperlakukan bijaksana seorang klien adalah mahkota luhur yang terus dijaga
seorang advokat.
Sikap
integritas dan Profesionalisme ini tidak dibangun dengan hitung musiman. Waktu
yang panjang akan menentukan “siapakah diri kita”. Apakah memang pantas
panggilan “advokat” disandang atau cuma sekedar menjalankan tugas-tugas hukum
tanpa empati.
Baca : bantuan Hukum