Terdengar suara gumaman lirih dibelakang Istana Astinapura. Suara sendu tidak berdaya.
“Daulat tuanku. Bagaimana nasib kita setelah Raja meninggalkan Istana “, kata sang dubalang menyandarkan ke dinding. Muka kusut masai. Lesu.
Jangan lagi engkau tanyakan kepadaku, wahai dubalang. Percayakan takdir kepada sang maha kuasa”, kata dubalang sembari meletakkan kerisnya. Senjata yang tidak pernah digunakan.
“Takdir apa, tuanku. Apakah takdir yang salah ? Ketika Kita memilih dan mendukung Tuanku Raja. Yang ternyata gagal memenangkan pertempuran di kurusetra’, kata sang dubalang.
“Rencana Tuhan selalu misteri. Namun sebagai abdi kerajaan, bukankah wajar kita mendukung Raja. Raja yang telah memberikan kekuasaan kepada kita’, sang dubalang ketus.
“Rencana Tuhan memang misteri. Loyalitas memang dibutuhkan pemimpin memimpin kerajaan. Tapi mata hati kita tertutup misteri. Para Permaisuri yang terus mendorong Raja untuk terus berkuasa, tidak kita waspadai’, bantah sang dubalang.
“Sabar, dubalang. Apabila memang takdir membuat kita harus keluar istana, biarlah itu menjadi garis tangan kita. Saya sudah mempersiapkan. Apabila Raja baru masuk Istana dan berkenan masih memakai hamba, hamba bersedia mengabdikan diri untuk Istana”, kata sang dubalang.
“Ah. Tuanku. Nama tuanku sudah santer sebagai pendukung Raja. Tuanku bergerilya ke berbagai pelosok negeri. Menakuti rakyat agar mendukung Raja. Raja baru pasti mendengar perbuatan tuanku”, sang dubalang terus membantah.
“Hamba diperintahkan sang Ratu. Mana bisa hamba menolak perintah sang Ratu”, kata dubalang.
“Ah. Sudahlah, kita serahkan nasib kita kepada takdir”, kata sang dubalang bersandar. Muka keruh. Kelihatan jelas urat-urat capek diwajahnya.