Kisruh Partai Demokrat memantik polemik. Ditengah “ademnya” suhu politik kontemporer, Kongres Luar biasa (KLB) diadakan di Deli-Serdang, Sumut kemudian membuat suhu politik kemudian menjadi “panas”.
Sebagai polemik tentu saja ada yang setuju. Sebagian kalangan menolak.
Berbagai tuduhan tidak dapat dihindarkan. Apakah tuduhan “etika” ataupun “campur tangan” Pemerintah terhadap partai yang telah menyelenggarakan kongres. Kongres yang kemudian menetapkan AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Namun saya bukan menyoroti apakah “adanya etika yang dilanggar”. Ataupun adanya “campur tangan” dari Pemerintah. Tuduhan yang tidak dapat dilepaskan dari dipilihnya Moeldoko yang memegang jabatan sebagai Kepala Staf Presiden (KSP). Jabatan strategis yang didalam lingkaran kekuasaan Pemerintah.
Tapi bagaimana nasib partai demokrat ketika dilaksanakan Kongres Luar biasa.
Polemik internal Partai sering dan jamak terjadi. Baik dimasa Orde baru yang “turun gunung” merebut PDI yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri (Megawati).
Polemik berkepanjangan yang membuat kemudian Megawati mendeklarasikan Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDIP) menjelang Pemilu 1999.
PDIP bahkan mampu menjadi pemenang Pemilu 1999 dan kemudian diulang kembali tahun 2014 dan 2019.
Polemik Partai Kebangkitan Bangsa juga terjadi dimasa Gusdur masih hidup. Tarik menarik antara kubu Gusdur dan kubu Cak Imin akhirnya dimenangkan oleh Cak Imin. Cak Imin mampu membawa PKB menjadi partai yang selalu dekat dengan kekuasaan.
Entah 2 periode Presiden SBY maupun periode Jokowi.
Partai Golkar dan PPP juga mengalami polemik yang berkepanjangan. Bahkan kedua partai tidak dapat terlibat sebagai partai pengusul ataupun pengusung Pilkada 2015.
Keduanya mampu menyelesaikan dengan mekanisme “islah”. Sebuah mekanisme yang unik sekaligus dapat mengakhiri perseteruan panjang kedua partai.
Berbagai mekanisme yang ditempuh, baik dengan “solidnya” PDIP melewati krisis, mekanisme hukum yang ditempuh PKB dan “mekanisme” islah dari Partai Golkar dan PPP adalah cara didalam menyelesaikan mekanisme internal partai.
Partai Demokrat dapat belajar dari berbagai upaya penyelesaian yang telah dilakukan “Saudara-saudara tuanya”.
Melihat “pertarungan” antara kelompok Kongres yang mengesahkan AHY dan kelompok pendukung KLB tidak dapat dilepaskan “strategi” dua jenderal. Antara strategi Moeldoko dan strategi AHY.
Keduanya dikenal jenderal ahli strategi. Baik SBY yang dikenal sebagai “ahli strategi” yang menguasai berbagai strategi militer bertemu dengan Moeldoko yang dikenal sebagai “jenderal tempur”.
Keduanya tidak boleh diremehkan. Berbagai strategi akan dikeluarkan. Baik dari SBY yang “jago memainkan irama” yang berhasil memegang posisi puncak sebagai Presiden dua periode dan Moeldoko yang mencapai prestasi gemilang sebagai KSAD dan Panglima TNI.
Namun yang menarik bagaimana kedua jenderal memainkan strateginya. Dan publik akan mendapatkan “kekayaan pengetahuan” tentang strategi yang dimainkan ciamik keduanya.
Dan terlalu sayang kita melewatkan berbagai momentum yang akan “panjang” dan “melelahkan” yang dihadapinya.
Mari kita tunggu bagaimana kelanjutan dari polemik yang terjadi di Partai Demokrat. Apakah Kongres yang mengesahkan AHY dapat bertahan dan mendapatkan dukungan dari internal partai ? Atau hasil dari KLB justru menjadi Partai yang resmi menghadapi Pemilu 2024.