Menghadiri acara pembahasan RUU Provinsi Jambi memantik diskusi dan memancing polemik. Acara yang digagas Pemerintah Provinsi Jambi berkaitan dengan usulan RUU Provinsi Jambi yang sedang bergulir di DPR-RI.
Secara umum, RUU yang diusulkan menggantikan UU No. 61 Tahun 1958. UU No. 61 Tahun 1958 merupakan penetapan UU No. 19 Tahun 1957,
UU yang melahirkan terbentuknya Provinsi Jambi.
Sebagaimana diketahui, didalam UU No. 61 Tahun 1958 Provinsi Jambi terdiri dari Kabupaten Batanghari, Merangin, Kerinci dan Kota Jambi.
UU No. 7 Tahun 1965 kemudian menghasilkan pemekaran. Kabupaten Merangin kemudian mengalami Pemekaran menjadi Kabupaten Sarko dan Kabupaten Bungo Tebo. Dan Kabupaten Batanghari kemudian menjadi Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tanjab.
UU No. 54 Tahun 1999 kemudian mengalami pemekaran Kabupaten. Kabupaten Sarko menjadi Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin. Kabupaten Bungo Tebo menjadi Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo. Kabupaten Batanghari menjadi Kabupaten Muara Jambi dan Kabupaten Batanghari. Dan Kabupaten Tanjab menjadi Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Tahun 2008, berdasarkan UU No. 25 Tahun 2008, Kabupaten Kerinci mengalami Pemekaran. Menjadi Kotamadya Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci.
Apabila ditelisik RUU yang kemudian dibahas Pemerintah Provinsi Jambi,
Didalam tata kaidah penulisan peraturan perundang-undangan tetap merujuk kepada kaidah yang sudah ditentukan didalam
UU No. 12 Tahun 2012 junto UU No. 15 Tahun 2019.
Didalam kaidah tatacara penulisan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan kaidah ditentukan.
Seperti setiap pasal kemudian dilanjutkan dengan ayat dan ditandai dengan angka. Bukan setelah pasal diikuti dengan huruf.
Didalam RUU banyak sekali kekeliruan didalam kaidah penulisan peraturan perundang-undangan.
Cara ini sebenarnya cukup mengagetkan. Selevel UU yang lengkap dengan Naskah Akademik, kesalahan Kecil yang cukup mengganggu benar tidak memerlukan “scanning” yang kuat.
RUU yang disodorkan sama sekali tidak mengikuti perkembangan zaman.
Dasar hukum yang semata-mata menggunakan dasar Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Padahal dalam kurun sejak 1958, sudah banyak Undang-undang yang melingkupi Provinsi Jambi.
Misalnya UU No. 12 Tahun 1956, UU No. 19 Tahun 1957, UU No. 61 Tahun 1958, UU No. 61 Tahun 1957, UU No. 7 Tahun 1965, UU No. 54 Tahun 1999, UU No. 14 Tahun 2000 dan UU No. 25 Tahun 2008.
Padahal melihat semangat untuk lahirnya Undang-undang Provinsi Jambi, didalam semangat filosofi, RUU mencantumkan “UU No. 61 Tahun 1958… menjadi Undang-undang perlu disesuaikan lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat”
Melihat semangat dan makna Filosofi kebutuhan RUU maka makna ini harus mengikuti perkembangan dengan lahirnya UU yang berkaitan dengan terbentuknya Kabupaten/Kotamadya Jambi” sejak 1958 hingga 2022.
Sehingga memasukkan UU yang berkaitan Provinsi Jambi mutlak harus dilakukan.
Didalam forum pembahasan RUU Provinsi Jambi, berbagai wacana menguat. Seperti menambah “kawasan dataran sedang” untuk melengkapi “kawasan rendah” dan “kawasan tinggi”.
Pemikiran ini berlandaskan kepada berdasarkan RPJMD, Perda Provinsi Jambi Nomor 11 Tahun 2021 tentang RPJMD Tahun 2021-2026 dan KLHS Provinsi Jambi.
Forum juga mengusulkan Seloko Provinsi Jambi agar mencantumkan seloko “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah”, mengusulkan Candi Muara Jambi, kawasan gambut dan mangrove, kawasan pesisir.
Selain itu, forum juga mengusulkan agar karakteristik sumber daya alam di Jambi ditambahkan seperti “Kehutanan”, “migas”.
Didalam forum juga mengusulkan agar berbagai suku bangsa yang ada di Jambi harus disebutkan. Seperti Suku Melayu, Suku Anak Dalam, Suku Talang Mamak, Suku Batin, Kerinci, Suku Duano.
Ada juga mengusulkan “Batin” yang kemudian disandingkan “penghulu”. Sebuah padanan yang sudah menjadi cara pandang masyarakat Melayu Jambi.
Ada juga mengusulkan didalam menuliskan suku bangsa diletakkan seperti Suku Batin/penghulu, Suku Anak dalam yang terdiri dari Suku Kubu, Suku Talang Mamak dan Suku Duano. Ada juga yang menambahkan “suku bajau” atau suku laut.
Yang paling menarik juga berkaitan dengan istilah “Pengakuan” yang disandingkan dengan Masyarakat Hukum Adat. Istilah “pengakuan” kurang tepat digunakan.
Didalam UU HAM istilah yang digunakan adalah “penghormatan dan perlindungan”. Sehingga seluruh istilah “pengakuan” harus diselaraskan dengan istilah “penghormatan dan perlindungan”.
Masih banyak berbagai usulan didalam memperkuat RUU Provinsi Jambi. Keinginan yang kuat agar “kekhasan” Jambi dimasukkan menjadi tema yang begitu menjadi pembahasan di forum.
Yang menarik adalah apakah RUU ini menggantikan UU No. 61 Tahun 1958 tentang Pembentukan Provinsi Jambi ?. Atau hanya pengulangan dari materi yang sama dari UU No. 61 Tahun 1958.
Apabila melihat didalam ketentuan peralihan, RUU yang kemudian menjadi UU Pembentukan Provinsi Jambi yang kemudian disandingkan dengan UU No. 61 Tahun 1958 kemudian menegaskan “dinyatakan masih tetap berlaku..”
Sehingga UU No. 61 Tahun 1958 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Provinsi Jambi yang baru.
Lalu apa yang membedakan antara UU No. 61 Tahun 1958 dengan keinginan RUU yang baru ?
Secara sekilas didalam RUU sama sekali tidak tergambar. Namun dengan masuknya berbagai usulan di forum menjadi RUU Penting untuk menampikan kekhasan dari Provinsi Jambi.
Advokat. Tinggal di Jambi