Akhir-akhir
ini tema Classa action mendominasi wacana public. Gugatan konsumen terhadap
kebijakan Pemerintah.
Pemberitaan
hanya menyebutkan class action. Yang unik, yang mengajukan gugatan adalah LSM.
Secara sekilas tidak ada yang keliru. Namun apabila kita telaah lebih jauh,
maka tema class action menarik untuk didiskusikan.
Pada
prinsipnya, “Tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut (Pasal 1365
KUHPer).
Menurut J. H. Nieuwenhuis, tanggunggugat timbul
karena adanya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) dan merupakan penyebab (oorzaak)
timbulnya Kerugian. Pelaku yang dinyatakan bersalah (schuld) harus bertanggungjawab. Marthalena Pohan menyebutkan “unstfout”.
Dengan demikian maka pihak yang harus
membuktikan atau yang dibebani beban pembuktian adalah pihak yang
berkepentingan di dalam suatu perkara, terutama penggugat yang mengemukakan
dalil-dalil dalam penggugatannya (Pasal 1865 KUHPer). Dikenal asas Actori
incumbit probation.
Lalu
bagaimana apabila “yang dirugikannya” cukup banyak ?. Ribuan atau jutaan.
Misalnya “akibat limbah” atau “akibat kebakaran”. Atau “seluruh konsumen”
sebuah produk.
Maka
menjadi tidak mungkin memobilisasi atau memberikan surat kuasa.
Berdasarkan
asas Sederhana, cepat dan biaya ringan
(Pasal 130 HIR/154 Rbg dan Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009), maka
dibuka ruang untuk “gugatan kelompok”.
Masyarakat
yang dirugikan (class member) kemudian mengelompok. Cukup “mewakili” untuk
mengajukan gugatan (class representative). Dan kemudian mengajukan gugatan
(class action).
Class
action atau Class suit atau Representative action berasal
dari bahasa Inggris, yakni gabungan kata “class” dan “action”. Pengertian
dari frasa Class adalah sekumpulan orang, benda, kualitas, atau
kegiatan yang mempunya kesamaan sifat atau ciri, sedangkan pengertian Action dalam istilah hukum berarti
tuntutan yang dapat diajukan ke pengadilan.
Di
Indonesia class action menggunakan istilah “gugatan kelompok”. MA kemudian
merumuskannya Gugatan Perwakilan
Kelompok
adalah
suatu
tata cara
pengajuan gugatan,
dalam mana satu
orang atau
lebih yang
mewakili
kelompok mengajukan gugatan
untuk diri atau diri-diri
sendiri dan sekaligus
mewakili sekelompok
orang
yang jumlahnya
banyak,
yang memiliki kesamaan
fakta atau
dasar hukum
antara wakil kelompok dan anggota
kelompok
dimaksud.
Ketentuan
ini sudah diatur didalam berbagai UU diluar KUHPer. Seperti UU Konsumen, UU
Kehutanan, UU Perkebunan, UU Kehutanan.
Mahkamah
Agung kemudian mengaturnya didalam Hukum Acara Perdata. Perma No. 1 Tahun 2002
mengatur detail tentang gugatan kelompok (class action).
Terhadap
gugatan kelompok (class action) maka kemudian dirumuskan “terdapat kesamaan
fakta (peristiwa), kesamaan dasar hukum dan kesamaan jenis tuntutan”.
Nah.
Apabila asas Actori incumbit probation
adalah asas dikenal dalam system Eropa continental (system hukum di Indonesia),
maka class action berangkat dari system hukum Anglo Saxon.
Jadi
“clas action” adalah mekanisme penyederhaan para pihak yang dirugikan untuk
mengajukan gugatan. Namun seluruh proses pembuktian tetap tunduk dengan
pembuktian hukum acara Perdata.
Sedangkan
Legal Standing berasal dari istilah Legal standing, Standing tu Sue, Ius Standi, Locus
Standi dapat diartikan sebagai
hak sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai
penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding). Hukum Indonesia kemudian mengenal “hak gugat organisasi”.
Legal standing
mengenyampingkan prinsip “poit d’interested point d’action” sebagaimana dikenal
didalam Sistem Hukum Eropa Kontinental.
Prinsip “poit d’interested
point d’action” menyebutkan “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum”. Kepentingan
hukum (legal
interest) yang dimaksud di sini
adalah merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang
dialami secara langsung (injury in fact). Dalam berbagai yurisprudensi
disebutkan “adanya kepentingan tidak
langsung” terhadap gugatan.
Berbagai
UU kemudian mengatur tentang “hak gugat organisasi (legal standing)”.
Pada
umumnya “organisasi” yang mengajukan gugatan seperti harus berbadan hukum atau
yayasan, menyebutkan dengan tegas didalam Anggaran Dasar, melaksanaan
kegiatannya dan kurun waktu tertentu dan mewakili kepentingan umum masyarakat.
Dengan
demikian maka didalam “yang diminta (petitum)” maka tidak dikenal tuntutan
ganti kerugian uang. Ganti rugi dapat dimungkinkan sepanjang atau terbatas pada
ongkos atau biaya yang telah di keluarkan oleh organisasi tersebut.
Nah.
Apabila asas Actori incumbit probation
adalah asas dikenal dalam system Eropa continental (system hukum di Indonesia),
maka class action berangkat dari system hukum Anglo Saxon. Sedangkan legal
standing berangkat dari system hukum Anglo Saxon yang kemudian diatur didalam
UU diluar KUHPer.
Dengan
demikian maka apabila adanya “kepentingan langsung” dari yang dirugikan maka
masyarakat dapat mengelompokkan diri untuk mengajukan gugatan (class action).
Sedangkan apabila diajukan oleh lembaga terhadap kepentingan tidak langsung
maka dikenal “legal standing (hak gugat organisasi).
Namun
dalam praktek masih banyak ditemukan kerancuan didalam merumuskan gugatan
menggunakan mekanisme class action atau menggunakan legal standing.
Putusan
Pengadilan Negeri Negeri Surakarta, Pengadilan Negeri Barabai, Pengadilan
Negeri Kepanjen dan Pengadilan Negeri Malang pernah memutuskan “kekeliruan”
lembaga yang mengajukan gugatan mekanisme Legal standing namun hanya mewakili
kepentingan sebagian orang atau satu orang saja.
Selain
itu Putusan Pengadilan Negeri Malang menegaskan “lembaga yang mengajukan” tidak
dapat diterima disebabkan, adanya kepentingan satu orang. Sehingga lebih tepat
bertindak sebagai advokat.
Kekeliruan
menggunakan mekanisme atau istilah yang rancu selain akan menimbulkan
kebingungan ditengah masyarakat juga mengakibatkan kerugian didalam
persidangan. Selain juga gugatan yang diajukan dinyatakan “tidak dapat diterima”.
Dimuat di harian Jambi Independent, 17 Januari 2019