Akhir-akhir
ini, kecendrungan kepemimpinan yang bertindak kepahlawanan menjadi ukuran
melihat kepemimpinan. Entah menggunakan atribut kebangsaan, menampilkan
lambang-lambang kebesaran hingga cerita-cerita epos yang mengiringi
perjalanannya.
Lihatlah.
Seragam beratribut cenderung digunakan sebagai symbol-simbol kekukuhan status social,
epos yang heroic hingga cerita-cerita tentang kepahlawanan. Lengkap dengan “misteri”
ataupun cerita-cerita heroic.
Dalam
alam cosmopolitan ditengah masyarakat, cerita tentang kepahlawanan ataupun
kerinduan terhadap kepahlawanan menjadi tutur ditengah masyarakat.
Cerita
tentang “Robin Hood” pada masa pemerintahan raja Richard Lionheart di Inggeris,
Ken Arok dalam epos Kerajaan Singasari. Kerajaan yang kemudian menghasilkan Empirium
Majapahit.
Di Angola, setiap 7 September
masyarakatnya akan merayakan Hari Pahlawan. Tanggal tersebut bertepatan dengan
lahirnya pahlawan Angola bernama Agostinho Neto. Neto dikenal sebagai salah
satu anggota pergerakan anti-kolonial di Angola. Neto juga pernah dipenjara
pada 6 Juni 1960 karena kampanyenya melawan pemerintah kolonial Portugis di
Angola.
Di Kuba, Fidel Castro dan Ernesto "Che" Guevara begitu
menggema. Bahkan poster-poster “Che” menghiasi dinding kamar-kamar anak muda
revolusioner.
Dalam tutur ditengah masyarakat,
Soekarno, KH. Ahmad Dahlan, M. Natsir, Hatta, Hasjim Asy’arie, (KH. Mohammad Hasjim Asy'arie/Asy'ari atau Ashari) ataupun Gusdur. begitu melekat. Poster Soekarno
ataupun KH Hasjim Asy’arie melekat dirumah-rumah penduduk. Makam Soekarno,
Hasjim Asy’arie ataupun makam Gusdur tidak pernah sepi dari para peziarah.
Sembari memanjatkan doa, lantunan zikir tidak terhenti. Dari waktu ke waktu.
Cerita kepahlawanan Jenderal
Soedirman juga menginspirasi semangat juang. Ditengah sakit yang dideritanya, penyakit
TBC yang kemudian melakukan perang gerilya dengan cara ditandu, inspirasi
Jenderal Soedirman kemudian membuat tentara kemudian berjuang hingga berhasil
mengusir Belanda tahun 1949.
Tokoh kepahlawanan yang
menginspirasi juga ditemukan didalam diri Gajah Mada. Patih setia kerajaan
Mahapahit. Yang mempersatukan imperium Majapahit yang membentang seluruh
nusantara, Tumasek (Singapura), Campa (Kamboja dan Vietnam), Siam (Thailand)
dan Malaya (Malaysia).
Epos kepahlawanan juga dapat dilihat
dari sejarah Laksamana Malahayati, Hang Tuah, Pattimura, Sultan Thaha dan
berbagai tokoh-tokoh kepahlawanan yang terus hidup ditengah masyarakat.
Namun epos Kepahlawan tidak
semata-mata “kegagahan” di medan laga. Kepahlawan juga terdapat terhadap Raja
yang bijaksana.
Cerita yang beredar di Yogyakarta
tentang Sultan Hamengkubowo IX, pangeran Diponegoro, Imam Bonjol atau Raja
Yudistira. Bahkan cerita tentang tokoh agama seperti Para Walisongo lebih
menguat dibandingkan dengna sejarah kedatangan Islam di nusantara. Bahkan alam kosmopolitan
tentang “Semar” menjadi ukuran kepahlawanan ditengah masyarakat “goro-goro”.
Bahkan cerita tentang Raja dirindukan
yang bijaksana seperti “satrio Piningit” atau “ratu adil” di tanah Jawa atau “Imam
Mahdi” di Timur Tengah menjadi kerinduan terhadap kepahlawanan yang arif,
bijaksana dan mengayumi. Melindungi segenap alam semesta dan kehidupan
rakyatnya.
Dalam alam kosmopolitan, Raja yang
dirindukan lebih menggema, menggelegar dan menjadi ‘amunisi” tambahan untuk
melihat kiprah kepemimpinan. Gelegar heroic kepahlawanan yang gagah dimedan
tempur kemudian dirindukan dengan kepahlawanan, keteladanan Raja yang arif.
Raja yang memayungi. Memayu Hayuning Bawana.
Berbagai ujaran seperti “Gemah Ripah, Loh Jinawi. Tata tentram, kerto
Rajarjo” atau “Padi menjadi. Rumput Hijau, Kerbo gepuk. Air jernih. Ikan Jinak.
Ke aek cemeti keno. Ke darat, durian gugur”, adalah lambang dari alam
terhadap kepemimpinan dari Raja yang Agung.
Raja yang bekerja tanpa mengharapkan
puja-puja. Sebagaimana sering disampaikan dalam ujaran “Rame ing gawe. Sepi ing
pamrih”.