25 Desember 2018

opini musri nauli : Pahlawan



 

Akhir-akhir ini, kecendrungan kepemimpinan yang bertindak kepahlawanan menjadi ukuran melihat kepemimpinan. Entah menggunakan atribut kebangsaan, menampilkan lambang-lambang kebesaran hingga cerita-cerita epos yang mengiringi perjalanannya.
Lihatlah. Seragam beratribut cenderung digunakan sebagai symbol-simbol kekukuhan status social, epos yang heroic hingga cerita-cerita tentang kepahlawanan. Lengkap dengan “misteri” ataupun cerita-cerita heroic.

Dalam alam cosmopolitan ditengah masyarakat, cerita tentang kepahlawanan ataupun kerinduan terhadap kepahlawanan menjadi tutur ditengah masyarakat.

Cerita tentang “Robin Hood” pada masa pemerintahan raja Richard Lionheart di Inggeris, Ken Arok dalam epos Kerajaan Singasari. Kerajaan yang kemudian menghasilkan Empirium Majapahit.

Di Angola, setiap 7 September masyarakatnya akan merayakan Hari Pahlawan. Tanggal tersebut bertepatan dengan lahirnya pahlawan Angola bernama Agostinho Neto. Neto dikenal sebagai salah satu anggota pergerakan anti-kolonial di Angola. Neto juga pernah dipenjara pada 6 Juni 1960 karena kampanyenya melawan pemerintah kolonial Portugis di Angola.

Di Kuba, Fidel Castro dan Ernesto "Che" Guevara begitu menggema. Bahkan poster-poster “Che” menghiasi dinding kamar-kamar anak muda revolusioner.

Dalam tutur ditengah masyarakat, Soekarno, KH. Ahmad Dahlan, M. Natsir, Hatta, Hasjim Asy’arie,  (KH. Mohammad Hasjim Asy'arie/Asy'ari atau Ashari) ataupun Gusdur. begitu melekat. Poster Soekarno ataupun KH Hasjim Asy’arie melekat dirumah-rumah penduduk. Makam Soekarno, Hasjim Asy’arie ataupun makam Gusdur tidak pernah sepi dari para peziarah. Sembari memanjatkan doa, lantunan zikir tidak terhenti. Dari waktu ke waktu.

Cerita kepahlawanan Jenderal Soedirman juga menginspirasi semangat juang. Ditengah sakit yang dideritanya, penyakit TBC yang kemudian melakukan perang gerilya dengan cara ditandu, inspirasi Jenderal Soedirman kemudian membuat tentara kemudian berjuang hingga berhasil mengusir Belanda tahun 1949.

Tokoh kepahlawanan yang menginspirasi juga ditemukan didalam diri Gajah Mada. Patih setia kerajaan Mahapahit. Yang mempersatukan imperium Majapahit yang membentang seluruh nusantara, Tumasek (Singapura), Campa (Kamboja dan Vietnam), Siam (Thailand) dan Malaya (Malaysia).  

Epos kepahlawanan juga dapat dilihat dari sejarah Laksamana Malahayati, Hang Tuah, Pattimura, Sultan Thaha dan berbagai tokoh-tokoh kepahlawanan yang terus hidup ditengah masyarakat.

Namun epos Kepahlawan tidak semata-mata “kegagahan” di medan laga. Kepahlawan juga terdapat terhadap Raja yang bijaksana.

Cerita yang beredar di Yogyakarta tentang Sultan Hamengkubowo IX, pangeran Diponegoro, Imam Bonjol atau Raja Yudistira. Bahkan cerita tentang tokoh agama seperti Para Walisongo lebih menguat dibandingkan dengna sejarah kedatangan Islam di nusantara. Bahkan alam kosmopolitan tentang “Semar” menjadi ukuran kepahlawanan ditengah masyarakat “goro-goro”.

Bahkan cerita tentang Raja dirindukan yang bijaksana seperti “satrio Piningit” atau “ratu adil” di tanah Jawa atau “Imam Mahdi” di Timur Tengah menjadi kerinduan terhadap kepahlawanan yang arif, bijaksana dan mengayumi. Melindungi segenap alam semesta dan kehidupan rakyatnya.

Dalam alam kosmopolitan, Raja yang dirindukan lebih menggema, menggelegar dan menjadi ‘amunisi” tambahan untuk melihat kiprah kepemimpinan. Gelegar heroic kepahlawanan yang gagah dimedan tempur kemudian dirindukan dengan kepahlawanan, keteladanan Raja yang arif. Raja yang memayungi. Memayu Hayuning Bawana.

Berbagai ujaran seperti “Gemah Ripah, Loh Jinawi. Tata tentram, kerto Rajarjo” atau “Padi menjadi. Rumput Hijau, Kerbo gepuk. Air jernih. Ikan Jinak. Ke aek cemeti keno. Ke darat, durian gugur”, adalah lambang dari alam terhadap kepemimpinan dari Raja yang Agung.

Raja yang bekerja tanpa mengharapkan puja-puja. Sebagaimana sering disampaikan dalam ujaran “Rame ing gawe. Sepi ing pamrih”.