Kesalahan
kecil ataupun hal-hal yang dianggap sepele semakin mengkhawatirkan. Selain
mengganggu membacanya, ucapan atau tulisan yang disampaikan oleh para pesohor
negeri ataupun petinggi negeri justru akan memberikan dampak buruk kepada
generasi anak muda.
Ya.
Penggunaan tanda baca, menuliskan kata yang tidak sesuai dengna kaidah Bahasa
Indonesia justru akan memberikan kesan. Kita tidak menguasai Bahasa Indonesia
dengan baik.
Padahal
mata pelajaran Bahasa Indonesia diajarkan sejak dari Kelas 1 hingga ke
perguruan tinggi. Tidak pernah terputus.
Bukanlah
pepatah lama mengatakan. Harimau dilihat belangnya. Gajah dilihat belalainya.
Sedangkan manusia dilihat dari kata-katanya.
Tentu
saja kita tidak perlu juga jadi penulis seperti Pram, Hamka, Ayu Utami, Tere
Liye atau Raditya Radika yang menuliskan berjilid-jilid buku. Tidak perlu juga
seperti J.K. Rowling yang menuliskan buku yang kemudia menjadi best seller dan kemudian
dijadikan Filmnya “Harry Potter.
Namun
pelajaran dasar Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang menjadi pondasi untuk
melihat bagaimana pelajaran ini kemudian meresap dalam kehidupan sehari-hari.
Dari
pengamatan penulisan baik yang dituliskan didunia maya seperti FB, twitter, IG
dan WA, ada beberapa kesalahan kecil (sepele) yang tidak perlu terjadi.
Kesalahan
ini berulang-ulang, terus menerus hingga menjadi penyakit kronis ditengah
masyarakat.
Kesalahan
ini bisa diperbaiki baik dengan membuka pelajaran lama, memperbaiki, ataupun
dengan cara melihat bagaimana tulisan dibuat.
Ini
juga akan membantu anak sekolah yang tengah belajar di sekolah yang tidak bisa
dipisahkan bagaimana dia melihat para pesohor negeri atau petinggi negeri
menuliskannya.
Kesalahan
pertama adalah “kurangnya menggunakan tanda baca’.
Kesalahan
ini dapat dilihat bagaimana para pesohor negeri ataupun petinggi negeri yang
menuliskannya di media social. Baik di FB, twitter, IG dan WA.
Lihatlah.
Bagaimana dia mengungkapkan pandangannya. Panjang sekali namun sama sekali
tidak menggunakan tanda baca jeda (koma) ataupun menggunakan tanda baca
berhenti.
Tidak
perlu melihat bagaimana memahami pikirannya. Saya harus membacanya hingga 3
kali baru bisa menerima argumentasi yang dipaparkanya.
Cara
untuk melihat ide yang disampaikan, dapat dilakukan dengan “tarikan nafas”.
Cara ini lebih mudah dilakukan.
Coba
baca kalimat yang disusunnya. Apabila nafas kita tidak mampu meneruskannya,
maka seharusnya menggunakan tanda baca. Bisa digunakan tanda baca jeda (koma)
ataupun menggunakan tanda baca berhenti (titik).
Kesalahan
kedua. Tidak mau menggunakan tanda baca titik.
Kesalahan
ini menggambarkan bagaimana sang penutur sama sekali tidak menguasai menyusun
kalimat dalam satu paragraf.
Dalam
materi pelajaran di sekolah, selalu ditekankan, agar menulis ide-ide dalam paragraf
yang terpisah. Dengan demikian maka satu paragraf adalah satu ide.
Kita
dapat menuliskan cerita bertutur dengan berbagai ide. Namun setiap ide kemudian
dipisahkan masing-masing satu paragraf.
Pisahkan
masing-masing satu paragraf yang terpisah. Apabila dilakukan dengna menulis,
maka turunkan (enter) masing-masing ide tersebut. Setiap pemisahan dari
masing-masing paragraf merupakan satu ide yang kemudian menggunakan tanda baca
berhenti (titik).
Kesalahan
Ketiga. Ucapan menjelang bulan Ramadhan.
Menjelang
kedatangan bulan Ramadhan, banyak sekali ucapan disampaikan. Baik ditempat-tempat
umum, Papan reklame ataupun diberbagai media massa.
Seperti
“Selamat Menjalankan Ibadah Puasa”.
Secara
sekilas tidak ada yang janggal.
Padahal,
telah jamak diketahui, Bulan Ramadhan tidak hanya berisikan kewajiban untuk
berpuasa. Namun banyak sekali ibadah-ibadah yang dilakukan dibulan Ramadhan.
Entah Taraweh, witir, berbuka puasa bersama ataupun ibadah-ibadah lain.
Sehingga
penggunaan kalimat “Selamat menjalankan ibadah puasa” menjadi kurang tepat.
Bukankah
kita menyambut bulan Ramadhan. Bulan tidak tidak semata-mata cuma puasa khan ?
Sehingga
kalimat yang tepat adalah “Selamatn menjalankan ibadah Ramadhan”.
Tidak
lazim. Ya. Kita harus kembali kepada esensi bulan Ramadhan khan ?
Kesalahan
Keempat adalah imbuhan.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), imbuhan adalah bubuhan yang berupa awala,
sisipan maupun akhiran pada kata dasar untuk membentuk kata baru. Imbuhan juga
bahan yang ditambahkan pada suatu campuran dengan jumlah yang relative kecil
daripada komponen utamanya.
Suasana
ini bisa kita rasakan menjelang Asian Games 2018 baru-baru ini. Entah dengan
semangat yang berapi-api atau “kalimat” yang diinstruksikan dari atasan, ucapan
menggema disampaikan disetiap kesempatan ataupun diberbagai media massa.
Ucapan
seperti “Siap Mensukseskan Asian Games XVIII 2018” dilihat diberbagai sudut,
papan reklame hingga berbagai iklan di televise.
Hingga
selesainya acara Asian Games, sama sekali tidak ada perbaikan terhadap kalimat
tersebut.
Lalu
apa yang keliru dari kata “mensukseskan” ? Apakah salah ?
Kata
“mensukseskan” sama sekali tidak terdapat didalam KBBI. Namun KBBI hanya
mengenal kata “menyukseskan”.
Menempatkan
kata “sukses” diantara “me” dan ”kan” adalah imbuhan. Sehingga menimbulkan
perubahan kata “sukses” sesuai dengan kaidah-kaidah Bahasa Indonesia.
Huruf
“s” kemudian mengalami perubahan bunyi. Sehingga kata “sukses” kemudian
mengalami imbuhan. Menjadi kata “menyukseskan’. Tidak lagi “Mensukseskan”.
Sehingga
kalimat yang tepat adalah “Siap menyukseskan Asian Games XVIII 2018”.
Kesalahan
Kelima. Menimbulkan kerancuan.
Dalam
sebuah posting berita dari media massa, lihatlah judul yang disampaikan. “Mahasiswi
cantik tewas kecelakaan lalulintas”.
Apakah
ada yang keliru dari posting yang disampaikan.
Peristiwa
kecelakaan adalah peristiwa yang perlu disampaikan. Seorang mahasiswi “dari
perguruan tinggi” di Jambi.
Lalu
mengapa ada penempatan kata “cantik” diantara judul yang disampaikan. Mengapa
harus menggunakan kalimat “mahasiswi cantik” ?. Apakah perlu kata “cantik”
untuk menegaskan berita ?
Bukankah
kata “cantik’ justru menimbulkan kerancuan. Publik yang membaca judul, malah
berkonsentrasi terhadap kata “cantik’. Apakah kata “cantik” yang dijadikan
ukuran sang pewarta ?
Apakah
sama ukuran “cantik” antara keinginan dari pewarta dengan daya tangkap dari
pembaca.
Bukankah
ketika membaca berita sekilas, maka public kemudian harus membayangkan “kata
cantik” sebelum menangkap peristiwa kecelakaan.
Bukankah
penggunakan kata “cantik” kepada korban yang tewas akibat kecelakaan lalulintas
justru menimbulkan antipati dari keluarga korban.
Bayangkan.
Keluarga korban sedang duka cita menerima kabar justru membaca berita kemudian
malah bertambah dukanya.
Terbayang
dengan ketidakrelaan keluarga besarnya yang menerima kenyataan putrinya
kemudian meninggal dunia ?
Bukankah
berita kecelakaan cukup disampaikan. Tanpa menimbulkan kerancuan yang
menimbulkan kesesatan dari pembaca.
Bukankah
cukup judul “Mahasiswi tewas kecelakaan lalulintas” ?
Kesalahan
Keenam. Menimbulkan tafsir ambigu.
Ini
mudah kita temukan didalam ucapan selamat merayakan peristiwa tertentu. Misalnya
Ucapan Perayaan Kemerdekaan Indonesia
Contoh
“HUT Kemerdekaan RI ke 73 “.
Secara
sekilas kita perhatikan tidak ada yang keliru. Namun apabila kita telusuri
lebih teliti, maka menimbulkan kesalahan yang fatal.
Pertanyaannya.
Apakah kita memang mengucapkan HUT kemerdekaan untuk RI ? Atau kita mengucapkan
HUT Kemerdekaan RI yang ke 73 ?
Apakah
RI itu cuma satu atau memang ada RI yang ke 73 (atau memang ada RI 73).
Apabila
tujuan ucapannya adalah untuk RI maka penempatan ke 73 bukanlah setelah RI
namun disisipkan (diletakkan) sebelum kata RI.
Jadi
yang tepat adalah HUT ke 73 RI.
Tidak
lazim. Ya, itulah kaidah Bahasa Indonesia yang tidak menimbulkan ambigu.
Lalu
bagaimana dengan suasana akhir-akhir ini di Jambi. Ucapan yang berseliweran didunia maya. Seperti HUT Jambi ke 62 ?
Dimuat di www.jambizone.id, 7 Januari 2019
https://jambizone.id/post/sepele
https://jambizone.id/post/sepele