07 Januari 2019

opini musri nauli : SEPELE


Kesalahan kecil ataupun hal-hal yang dianggap sepele semakin mengkhawatirkan. Selain mengganggu membacanya, ucapan atau tulisan yang disampaikan oleh para pesohor negeri ataupun petinggi negeri justru akan memberikan dampak buruk kepada generasi anak muda.
Ya. Penggunaan tanda baca, menuliskan kata yang tidak sesuai dengna kaidah Bahasa Indonesia justru akan memberikan kesan. Kita tidak menguasai Bahasa Indonesia dengan baik.

Padahal mata pelajaran Bahasa Indonesia diajarkan sejak dari Kelas 1 hingga ke perguruan tinggi. Tidak pernah terputus.

Bukanlah pepatah lama mengatakan. Harimau dilihat belangnya. Gajah dilihat belalainya. Sedangkan manusia dilihat dari kata-katanya.

Tentu saja kita tidak perlu juga jadi penulis seperti Pram, Hamka, Ayu Utami, Tere Liye atau Raditya Radika yang menuliskan berjilid-jilid buku. Tidak perlu juga seperti J.K. Rowling yang menuliskan buku yang kemudia menjadi best seller dan kemudian dijadikan Filmnya “Harry Potter.

Namun pelajaran dasar Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang menjadi pondasi untuk melihat bagaimana pelajaran ini kemudian meresap dalam kehidupan sehari-hari.

Dari pengamatan penulisan baik yang dituliskan didunia maya seperti FB, twitter, IG dan WA, ada beberapa kesalahan kecil (sepele) yang tidak perlu terjadi.

Kesalahan ini berulang-ulang, terus menerus hingga menjadi penyakit kronis ditengah masyarakat.

Kesalahan ini bisa diperbaiki baik dengan membuka pelajaran lama, memperbaiki, ataupun dengan cara melihat bagaimana tulisan dibuat.

Ini juga akan membantu anak sekolah yang tengah belajar di sekolah yang tidak bisa dipisahkan bagaimana dia melihat para pesohor negeri atau petinggi negeri menuliskannya.

Kesalahan pertama adalah “kurangnya menggunakan tanda baca’.

Kesalahan ini dapat dilihat bagaimana para pesohor negeri ataupun petinggi negeri yang menuliskannya di media social. Baik di FB, twitter, IG dan WA.

Lihatlah. Bagaimana dia mengungkapkan pandangannya. Panjang sekali namun sama sekali tidak menggunakan tanda baca jeda (koma) ataupun menggunakan tanda baca berhenti.

Tidak perlu melihat bagaimana memahami pikirannya. Saya harus membacanya hingga 3 kali baru bisa menerima argumentasi yang dipaparkanya.

Cara untuk melihat ide yang disampaikan, dapat dilakukan dengan “tarikan nafas”. Cara ini lebih mudah dilakukan.

Coba baca kalimat yang disusunnya. Apabila nafas kita tidak mampu meneruskannya, maka seharusnya menggunakan tanda baca. Bisa digunakan tanda baca jeda (koma) ataupun menggunakan tanda baca berhenti (titik).

Kesalahan kedua. Tidak mau menggunakan tanda baca titik.

Kesalahan ini menggambarkan bagaimana sang penutur sama sekali tidak menguasai menyusun kalimat dalam satu paragraf.

Dalam materi pelajaran di sekolah, selalu ditekankan, agar menulis ide-ide dalam paragraf yang terpisah. Dengan demikian maka satu paragraf adalah satu ide.

Kita dapat menuliskan cerita bertutur dengan berbagai ide. Namun setiap ide kemudian dipisahkan masing-masing satu paragraf.

Pisahkan masing-masing satu paragraf yang terpisah. Apabila dilakukan dengna menulis, maka turunkan (enter) masing-masing ide tersebut. Setiap pemisahan dari masing-masing paragraf merupakan satu ide yang kemudian menggunakan tanda baca berhenti (titik).

Kesalahan Ketiga. Ucapan menjelang bulan Ramadhan.

Menjelang kedatangan bulan Ramadhan, banyak sekali ucapan disampaikan. Baik ditempat-tempat umum, Papan reklame ataupun diberbagai media massa.

Seperti “Selamat Menjalankan Ibadah Puasa”.

Secara sekilas tidak ada yang janggal.  

Padahal, telah jamak diketahui, Bulan Ramadhan tidak hanya berisikan kewajiban untuk berpuasa. Namun banyak sekali ibadah-ibadah yang dilakukan dibulan Ramadhan. Entah Taraweh, witir, berbuka puasa bersama ataupun ibadah-ibadah lain.

Sehingga penggunaan kalimat “Selamat menjalankan ibadah puasa” menjadi kurang tepat.

Bukankah kita menyambut bulan Ramadhan. Bulan tidak tidak semata-mata cuma puasa khan ?

Sehingga kalimat yang tepat adalah “Selamatn menjalankan ibadah Ramadhan”.

Tidak lazim. Ya. Kita harus kembali kepada esensi bulan Ramadhan khan ?

Kesalahan Keempat adalah imbuhan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), imbuhan adalah bubuhan yang berupa awala, sisipan maupun akhiran pada kata dasar untuk membentuk kata baru. Imbuhan juga bahan yang ditambahkan pada suatu campuran dengan jumlah yang relative kecil daripada komponen utamanya.

Suasana ini bisa kita rasakan menjelang Asian Games 2018 baru-baru ini. Entah dengan semangat yang berapi-api atau “kalimat” yang diinstruksikan dari atasan, ucapan menggema disampaikan disetiap kesempatan ataupun diberbagai media massa.

Ucapan seperti “Siap Mensukseskan Asian Games XVIII 2018” dilihat diberbagai sudut, papan reklame hingga berbagai iklan di televise.

Hingga selesainya acara Asian Games, sama sekali tidak ada perbaikan terhadap kalimat tersebut.

Lalu apa yang keliru dari kata “mensukseskan” ? Apakah salah ?

Kata “mensukseskan” sama sekali tidak terdapat didalam KBBI. Namun KBBI hanya mengenal kata “menyukseskan”.

Menempatkan kata “sukses” diantara “me” dan ”kan” adalah imbuhan. Sehingga menimbulkan perubahan kata “sukses” sesuai dengan kaidah-kaidah Bahasa Indonesia.

Huruf “s” kemudian mengalami perubahan bunyi. Sehingga kata “sukses” kemudian mengalami imbuhan. Menjadi kata “menyukseskan’. Tidak lagi “Mensukseskan”.

Sehingga kalimat yang tepat adalah “Siap menyukseskan Asian Games XVIII 2018”.

Kesalahan Kelima. Menimbulkan kerancuan.

Dalam sebuah posting berita dari media massa, lihatlah judul yang disampaikan. “Mahasiswi cantik tewas kecelakaan lalulintas”.

Apakah ada yang keliru dari posting yang disampaikan.

Peristiwa kecelakaan adalah peristiwa yang perlu disampaikan. Seorang mahasiswi “dari perguruan tinggi” di Jambi.

Lalu mengapa ada penempatan kata “cantik” diantara judul yang disampaikan. Mengapa harus menggunakan kalimat “mahasiswi cantik” ?. Apakah perlu kata “cantik” untuk menegaskan berita ?

Bukankah kata “cantik’ justru menimbulkan kerancuan. Publik yang membaca judul, malah berkonsentrasi terhadap kata “cantik’. Apakah kata “cantik” yang dijadikan ukuran sang pewarta ?

Apakah sama ukuran “cantik” antara keinginan dari pewarta dengan daya tangkap dari pembaca.

Bukankah ketika membaca berita sekilas, maka public kemudian harus membayangkan “kata cantik” sebelum menangkap peristiwa kecelakaan.

Bukankah penggunakan kata “cantik” kepada korban yang tewas akibat kecelakaan lalulintas justru menimbulkan antipati dari keluarga korban.

Bayangkan. Keluarga korban sedang duka cita menerima kabar justru membaca berita kemudian malah bertambah dukanya.

Terbayang dengan ketidakrelaan keluarga besarnya yang menerima kenyataan putrinya kemudian meninggal dunia ?

Bukankah berita kecelakaan cukup disampaikan. Tanpa menimbulkan kerancuan yang menimbulkan kesesatan dari pembaca.

Bukankah cukup judul “Mahasiswi tewas kecelakaan lalulintas” ?

Kesalahan Keenam. Menimbulkan tafsir ambigu.

Ini mudah kita temukan didalam ucapan selamat merayakan peristiwa tertentu. Misalnya Ucapan Perayaan Kemerdekaan Indonesia

Contoh “HUT Kemerdekaan RI ke 73  “.

Secara sekilas kita perhatikan tidak ada yang keliru. Namun apabila kita telusuri lebih teliti, maka menimbulkan kesalahan yang fatal.

Pertanyaannya. Apakah kita memang mengucapkan HUT kemerdekaan untuk RI ? Atau kita mengucapkan HUT Kemerdekaan RI yang ke 73 ?

Apakah RI itu cuma satu atau memang ada RI yang ke 73 (atau memang ada RI 73).

Apabila tujuan ucapannya adalah untuk RI maka penempatan ke 73 bukanlah setelah RI namun disisipkan (diletakkan) sebelum kata RI.

Jadi yang tepat adalah HUT ke 73 RI.

Tidak lazim. Ya, itulah kaidah Bahasa Indonesia yang tidak menimbulkan ambigu.

Lalu bagaimana dengan suasana akhir-akhir ini di Jambi.  Ucapan yang berseliweran didunia  maya. Seperti HUT Jambi ke 62 ? 

Dimuat di www.jambizone.id, 7 Januari 2019 

https://jambizone.id/post/sepele