Dunia
hukum dihebohkan dengan “dibebaskannya” Abu Bakar Baasyir (ABB) dari penjara.
Polemik kemudian menguatkan. Apakah “dibebaskannya AAB” berkaitan dengan
politik atau cuma “urusan kemanusiaan”. Selain itu juga tema yang menarik
adalah mekanisme terhadap bebasnya ABB dari penjara.
Dalam
diskusi group WA, para advokat muda di Jambi secara serius membahasnya. Baik
menggunakan pendekatan politik, pendekatan hukum dan pendekatan kemanusiaan.
Ranah pendekatan politik tidak dapat dilepaskan dari “suasana menjelang
pilpres” atau suasana di Kota Solo.
Namun
dalam diskusi lebih intensif, pendekatan politik “untuk sementara” diabaikan.
Selain sebagai praktisi hukum, pendekatan hukum lebih menarik untuk
didiskusikan. Sekaligus untuk “menguji” pengetahuan dasar didalam melihat
relasi hukum Negara dalam implementasikan yang dilakukan oleh Jokowi.
Membaca
ABB tidak dapat dilepaskan dari kewenangan Presiden “sebagai kepala Negara”. Secara
prinsip, Presiden mempunyai hak untuk memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti
dan abolisi (Pasal 14 UUD 1945).
Amandemen
UUD kemudian mempertegas “Presiden
memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
(amandemen Pertama). Selain itu “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan rakyat”.
Dalam
kamus hukum, Pada prinsipnya, amnesti “Pernyataan umum (diterbitkan melalui
atau dengan undang-undang) yang memuat pencabutan semua akibat pemidanaan dari
suatu perbuatan pidana (delik) tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana
(delik) tertentu, bagi terpidana, terdakwa yang dinyatakan bersalah melakukan
delik-delik tersebut.
Abolisi “Penghapusan tuntutan oleh Presiden terhadap seseorang atau sekelompok
orang yang telah melakukan tindak pidana. Atau “hak yang dimiliki kepala negara
yang berhak untuk menghapuskan hak tuntutan pidana dan menghentikan jika telah
dijalankan. Hak abolisi diberikan dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Rehabilitasi “Hak seseorang untuk mendapat pemulihan nama baik karena proses hukum
tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena terjadi kekeliruan mengenai
orang atau hukum yang diterapkan. Atau “hak seorang untuk mendapat pemulihan
haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan
pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan,
dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (pemulihan,
pengembalian kepada keadaan semula). Kepala negara juga berwenang memberi
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
Mengenai
amnesti dan Abolisi telah diatur didalam UU No. 11 Tahun 1954 menyebutkan “bahwa presiden, atas kepentingan negara,
dapat memberi amnesti kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan
pidana. Presiden memberi amnesti setelah mendapat nasihat tertulis dari
Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan menteri kehakiman.
Sedangkan
grasi telah diatur didalam UU No. 2 Tahun 2002 dan UU No. 5 Tahun 2010.
Sebagaimana
diketahui, ABB divonis 15 tahun penjara pada tahun 2011. Putusan ini kemudian
dikuatkan hingga tingkat kasasi.
Menilik
“hak Presiden”, maka “rehabilitasi” dan abolisi” tidak tepat diterapkan dalam
kasus ini. Selain sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, negara sama sekali
tidak “menghapuskan” tuntutan” maupun menghapuskan nama baik” dari ABB. Proses
hukum yang telah dijalani sudah tepat. Sehingga Presiden menghormati proses
yang sudah dijalani.
Sedangkan
apabila secara sekilas, maka ABB dapat “habis masa tahanan” hingga akhir 2026. Namun
ada perumpamaan yang menarik untuk didiskusikan. Apabila mengikuti “hak remisi”
maka ABB cukup menjalani 13 tahun 5 bulan. Atau “grasi” dapat diberikan setelah
menjalani 2/3 dari 13 tahun 5 bulan. Demikian maka cukup sudah menjalani 9
tahun. Sehingga ABB memang dapat keluar dari tahanan setelah menjalani pidana
penjara. Sehingga tidak diperlukan dari pertimbangan Presiden.
Namun
argumentasi ini mudah dipatahkan dengan merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 99
Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Pemasyarakatan..
Korupsi dan Teroris Tidak dapet Remisi Kecuali JC.
Selain
itu mekanisme Grasi diajukan berdasarkan prinsip “pengampunan”. Sehingga “persyaratan”
mengakui kesalahan merupakan prinsip dipertimbangkan untuk diterapkan mekanisme
“grasi”.
Sebagaimana
sering diwartakan di media massa, ABB sama sekali tidka mengakui perbuatannya.
Sehingga mekanisme “Grasi” tidak tepat untuk membebaskan ABB.
Mekanisme
terakhir adalah amnesti. Amnesti lebih sering disebutkan sebagai “pengampunan
hukuman”. Pengampunan lebih tepat dikategorikan “sebagai ampunan” tanpa
mengotak-atik kesalahan yang dilakukan, atau masa tahanan yang sudah dijalani.
Atau
dengan kata lain, negara sama sekali tidak membenarkan segala perbuatan yang
sudah dilakukan. Namun Presiden dengan mengutamakan kemanusiaan kemudian dapat
“mencabut” akibat pemidanaan kepada seseorang.
Dengan
demikian, maka “polemic” amnesti lebih tepat digunakan Presiden sebagai Kepala
Negara. Mekanisme ini tepat dilakukan tanpa harus “mengganggu pandangan” negara
yang tetap tegas anti terorisme. Pendekatan ini semata-mata berangkat dari
“urusan Kemanusiaan”. Prinsip hukum yang menempatkan “manusia” sebagai tujuan
hukum diciptakan.
Dimuat di www.jamberita.com, 21 Januari 2019
https://jamberita.com/read/2019/01/21/5947127/cara-membaca-kasus-abu-bakar-baasyir--%C2%A0--%C2%A0/
Dimuat di www.jamberita.com, 21 Januari 2019
https://jamberita.com/read/2019/01/21/5947127/cara-membaca-kasus-abu-bakar-baasyir--%C2%A0--%C2%A0/