Ditengah-tengah
masyarakat Melayu Jambi, dalam menyusuri setiap tempat yang dilalui, berbagai
kisah tentang Raja Jambi mewarnai pembicaraan. Entah sebagai bahan refleksi,
berkaitan dengan Pilkada hingga tanda-tanda alam yang memayungi kampong mereka.
Dalam
setiap ujaran melihat kepemimpinan, Nilai agung Raja Jambi ditempat sebagai
alam cosmopolitan yang melindungi kehidupan mereka. Raja Jambi begitu mulia dan
menjadi bagian dari cara pandang dan sikap hormat kepada penguasa Jambi.
Seloko
seperti “Alam Sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” adalah nilai yang hidup dan
terus menjadi bagian dari alam pikiran. Menempatkan “alam sekato rajo” adalah
keputusan Rajo adalah keputusan yang dihormati, ditaati hingga dihormati. Tidak
ada satupun keputusan Rajo yang akan merugikan ataupun menyengsarakan rakyat
Jambi.
Menempatkan
Raja Jambi sebagai alam cosmopolitan dan terus hidup, disebabkan, Raja Jambi
akan memberikan kebahagiaan, kemakmuran dan kedamaian. Seloko seperti “Padi
menjadi, gerbau gepuk, air jernih, ikan jinak, ke aek cemeti keno. Ke darat
durian gugur” adalah lambang dari alam terhadap melimpahnya kekayaan dan
memberikan kemakmuran ditengah masyarakat. Dalam alam pikiran yang hidup di
Jawa seloko ini seperti perumpamaan “gemah ripah. Loh Jinawi, tata tentram.
Kerto raharjo”.
Keputusan
Rajo sebagaimana seloko “alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” sebagai bentuk
penghormatan dan menempatkan Rajo yang dihormati, juga dilatarbelakangi
terhadap Raja yang akan setia kepada rakyat Jambi. Rakyat Jambi kemudian
meyakini Raja akan setia kepadanya.
Keyakinan
ini kemudian akan memberikan tanggungjawab kepada Rajo Jambi. Rajo Jambi
kemudian harus mempunyai sikap seperti Jujur dan adil, Cerdik, Pandai,
Menjunjung kebenaran, Arif dan Bijaksana dan sebagai suluh (obor).
Jujur
dan adil ditandai dengan seloko “tinggi cupak dan gantang ; Sedekuk bak batu di
pulau, Sedencing bak besi dipalu, Seilmu bak kuaw lanting, Tudung-menudung bak
dawn sirih, Jahit menjahit bak daun petai, jangan bak tanduk diikat silang
siur”.
Cerdik ditandai dengan “cerdik idak membuang kawan, gemuk idak
membuang lemak, tukang idak membuang kayu, gedang idak melando, panjang idak
melilit”.
Pandai disebutkan sebagai “Orang buto peniup lesung, Orang pekak pelepas
bedil, orang lumpuh penunggu rumah, Orang patah pengejut ayam, Orang buruk
pelantun dune, Kain baju peneding miang, Emas perak peneding malu, Idak ado
bergs atah dikisai”.
Sedangkan menjunjung kebenaran disebutkan
sebagai “Bekato benar
bejalen lurus, Memakai suci memakan halal”.
Sifat Arif dan bijaksana disampaikan didalam
seloko “Bejalan dulu selangkah, Bekato dulu sepatah, netak mutus, Makan
ngabisin”.
Sifat suluh ditandai dengan “Tempat Betanyo,
artinya pergi tempat betanyo, Balik tempat beberito”
Namun
apabila sifat kepemimpinan dan berkhianat kepada kepercayaan yang diberikan,
selain ditandai dengan seloko “rajo alim rajo disembah. Rajo lalim Rajo
disanggah”, juga dikenal sebagai “kutukan Datuk Paduko Berhalo” [1].
Alam cosmopolitan Rakyat Jambi begitu melekat mengenal Kutukan Datuk Paduko
Berhalo.
Didalam Buku Sejarah Nasional
Indonesia III – Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia”
disebutkan keturunan Datuk Paduko Berhalo kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam,
Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran dan Orang Kayo Gemuk.
M. Nasir Didalam bukunya Keris
Siginjei Mengenal budaya daerah Jambi menyebutkan Orang Kayo Hitam adalah
anak bungsu dari Datuk Paduko Berhalo dan Putri Pinang Masak (Putri Selaras
Pinang Masak).
Cerita ini kemudian didukung oleh S.
Budisantoso didalam buku “Kajian dan Analisia Undang-undang Piagam dan Kisah
Negeri Jambi yang menerangkan tentang Orang Kayo Pingai merupakan anak dari
Datuk Paduko Berhalo yang beristrikan Putri Selaro Pinang Masak. Putri Selaro
Pinang Masak berasal dari Pagaruyung yang berdiri tahun 1345 masehi.
Namun ketika Adityawarman wafat 1375
masehi, maka Kerajaan Pagaruyung mulai lenyap dari catatan.
Hingga kemudian berdiri Kerajaan
Jambi. Kerajaan Jambi didalam Pemerintahan Datuk Paduko Berhalo, Orang Kayo
hitam hingga Sultan Thaha tidak berkaitan dengan Kerajaan Jambi atau Kerajaan
Melayu Jambi dalam perdebatan dengan kerajaan Sriwijaya. Selain memang
hancurnya Kerajaan Melayu Jambi atau Kerajaan Jambi yang ditandai dengan
ornamen candi-candi di Muara Jambi juga beragama Budha. Catatan I'tsing jelas
menggambarkan sebagai pusat agama Budha di Asia.
Namun Kerajaan Jambi yang dipimpin
oleh Datuk Paduko Berhalo, Orang Kayo Hitam beragama Islam. Dalam Majalah Warta
Ekonomi tahun 1997 menyebutkan Kerajaan Melayu II di bawah kepemimpinan Datuk
Paduko Berhalo.
Wilayah Kerajaan ini
memanjang dari Ujung Jabung hingga ke Muara Tembesi.
Didalam Sila-sila Keturunan Raja
Jambi kemudian berakhir di Sultan Thaha Saifuddin. Sultan
Thaha Saifuddin kemudian gugur dalam peperangan melawan Belanda tanggal 1 April
1904 di Muara Tebo.
Budhisantoso, didalam bukunya
“Kajian Dan Analisa Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi menyebutkan
“Kutukan Datuk Paduko Berhalo” adalah kutukan yang memberikan hukuman kepada
Raja Jambi yang berkhianat.
Kutukan
Datuk Paduko Berhalo berisikan “Barang siapa yang mengubahkan perbuatan
mengubahkan perbuatan itu yang tersebut itu atau bersuruk budi bertanam akal,
pepat diluar rencong didalam atau memasang ranjau di bendur atau menanjak kanti
seiring dan jika dikerjakan seperti yang tersebut itu maka dikutuki Quranul
Azim yang tigapuluh Juz, menghadap ke ulu keno kutuk dimakan bisa kawi, Yang
dipertuan di Pagaruyung, menghadap ke ilir keno kutuk bisa Datuk paduko
Berhalo.
Keatas
tidak berpucuk, kebawah tidak berakar. Ditengah ditarik kumbang padi, Padi
ditanam ilalang tumbuh. Dimana juga mungkirnya disanalah tinggallah sumpah itu.[2].
Seloko
“Keatas tidak berpucuk, kebawah tidak
berakar. Ditengah ditarik kumbang padi, Padi ditanam ilalang tumbuh. Dimana
juga mungkirnya disanalah tinggallah sumpah” atau “pepat diluar, rencong didalam” juga dikenal ditengah masyarakat.
Hukuman ini disebut “Plali”.
Dalam
hukuman “Plali” disebutkan didalam seloko
“Bapak
pado harimau, Berinduk pada gajah,
Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo.
Hukuman ”Plali” kemudian sering juga disebutkan
”hukuman buangan” atau ”hukuman bunian”. ”Sakit dak diurus. Mati dak
dikuburkan”. Manusia buangan yang tidak perlu
diteladani.
Namun Kutukan Datuk Paduko Berhalo lebih berat
daripada hukuman Plali atau ”hukuman buangan” atau ”hukum bunian”.
Kutukan Datuk Paduko Berhalo ditujukan kepada
Rajo Jambi. Yang memegang amanah ”alam sekato Rajo. Negeri Sekato batin”.
Sedangkan kesalahan dan hukuman seperti hukuman
Plali atau ”hukuman buangan” atau ”hukum bunian ditujukan kepada rakyat Jambi.
Yang melanggar pantang larang adat yang telah diatur.
Baca : Datuk Paduko Berhalo
Dimuat di www.serujambi.com, 6 Januari 2019
https://www.serujambi.com/2019/opini-kutukan-datuk-paduko-berhalo/