Dengan
dikeliling benteng yang dipagari perempuan, Kabinet Jokowi mempunyai keunikan. Menempatkan
Susi Puji Astuti (Susi), Siti Nurbaya Bakar (SN) dan Rini Suwandi (Rini).
Menteri Susi kemudian menempatkan posisi sebagai Menteri kelautan dan
Perikanan. SN menjabat Menteri Lingkunan Hidup Dan Kehutanan (KLHK) dan Rini
Menjabat menteri BUMN. Terakhir kemudian masuk Sri Mulyani setelah “balik kampong”
dari IMF menjadi Menteri Keuangan.Strategi yang semula belum saya perhatikan.
Dimulai
dari kisah heroic Susi Puji Astuti, Menteri Kelautan dan Perikanan. Diremehkan.
Dimulai dari ijazah cuma tamaatan SMP hingga persoalan tato dikaki hingga
berbagai pemberitaan miring.
Apalagi
memimpin laut yang terkenal ganas, tanpa kompromi hingga kesulitan menertibkan
persoalan laut. Banyak yang kemudian mencibirnya. Selain ijazah yang sempat
dipersoalkan, dunia yang digelutinya kemudian lekat dengan dunia maskulin.
Namun
pelan tapi pasti. Susi menunjukkan “kehandalannya”. Tanpa kompromi, kapal-kapal
asing yang bebas berseliweran di laut Indonesia kemudian disikat. Tanpa ampun.
Slogan-nya
“Tenggelamkan” menjadi momok menakutkan terhadap kapal-kapal asing. Susi
kemudian menjadi bintang. Mengalahkan para menteri sebelumnya yang berijazah
tinggi.
Sedangkan
SN terkenal kalem. Berlatar belakang “perencanaan”, pelan-pelan kemudian menyatukan
dua institusi yang berbeda dalam satu naungan, Mendesain ulang, merumuskan
agenda hutan untuk rakyat, membenahi institusi yang rawan dengan penyimpangan.
Program
SN yang dikenal dengan perhutanan social seperti Hutan adat, Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman rakyat hingga kemitraan kehutanan
menjadi salah satu program yang paling banyak dibicarakan ditingkat basis.
Perhutanan social kemudian menunjukkan jatidirinya. Menempatkan masyarakat
sebagai pemilik dan penguasa hutan. Sebuah mimpi yang jauh dari bayangan
sebelumnya.
Sementara
Rini yang mendesain format ulang terhadap kinerja BUMN yang sering dijadikan “sarang
sapi perahan” menjadi badan usaha negara yang kemudian leading diberbagai sector.
Rini dengan kalem membenahi hingga kemudian mampu menjadi sumber utama dalam
pembiayaan negara dalam sector infrastruktur. Sektor yang abai selama ini
diurus oleh petinggi negeri.
Belum
usai membicarakan mereka, kedatangan Sri Mulyani memperkuat jajaran
mengelilingi Jokowi.
Setahap
demi setahap kemudian mereka memperkuat barisan para punggawa. Menopang
program-program negara untuk mengebut ketertinggalan pembangunan.
Puncaknya
adalah mereka yang kemudian menjadi penopang Jonan (Menteri ESDM) bernegosiasi
langsung dengan Freeport. “Mbah korporate” yang tidak disentuh sejak tahun
1970-an.
Memaksa
Freeport untuk bernegosiasi ulang. Menawarkan saham hingga kemudian Indonesia
mampu mengambil 51% saham.
Pesta
akhir tahun kemudian ditutup dengan ditanda tanganinya pembelian saham dari
Indonesia di Freeport. Indonesia kemudian menjadi pemegang saham. Sebuah
pencapaian yang tidak terpikirkan para negosiator ulung sebelumnya.
Ketika
saya melihat photo-photo selama proses negosiasi, melihat Menteri SN, Menteri
RIni dan Menteri Sri Mulyani mengelilingi Menteri Jonan bernegosiasi, pikiran
saya langsung terbayang. Bagaimana suasana berunding dengan perempuan yang
kukuh bernegosiasi.
Kebayang
khan ?
Tidak
?
Nah.
Mari saya ceritakan teknik bernegosiasi dari istri saya. Perempuan minang yang
kukuh bertahan dengan negosiasi.
Apabila
belanja di pasar-pasar, pasti dengan enteng istri saya menawarkan barang. Kadangkala
sesukanya menawarkan. Nah. Sang penjual sering kesel dengan tawaran istri saya.
Sambil merengut (tau merengut ?), dia berujar “jangan gitu, bu. Kalau nawar
kira-kira dong “. Sambil tersenyum istri saya cuma bilang. “Ya, Kalau mau.
Kalau tidak mau ya, sudah”, sambil mengeloyor pergi.
Kadang-kadang
justru saya yang kasihan dengan sang penjual. Dalam hati “kok tega amat.
Menawarkan kok tidak kira-kira”.
Biasanya
saya kemudian complain. “Mama nih. Bagaimana ?”.
Cuma
dijawab “Biar. Nanti kalo yang ditawarkan yang masuk akal, baru kita beli”. Waduh.
Ampun nian.
Jangan
ikuti sarannya. Bisa berabe. Mana kaki pegal lagi.
Nah.
Yang repot apabila kalau belanja bahan untuk dapur. Bisa 2 atau 3 tempat. Entah
beli daging di pasar angso duo (pasar tradisional), kemudian mampir lagi ke
Pasar Simpang Pulai (pasar yang sejak lama menjadi langganan) beli ikan atau
bumbu dapur.. Eh. Malah mampir beli kelapa didekat rumah. Coba bayangkan.
Mengapa tidak sekalian.
Dengan
enteng kemudian dia memberikan alasan. Beli ikan di pasar simpang Pulai
biasanya sudah dibersihkan. Sedangkan beli kelapa dekat rumah, karena kelapanya
masih bagus, santannya banyak. Dan mau “dikocek” (diparut). Waduh. Tidak
terbayang bagaimana repotnya.
Nah.
Kebayangkan. Bagaimana Jonan dikelilingi ibu-ibu rumah tangga yang rela mau
mampir satu persatu ke pasar cuma mendapatkan harga murah, barang bagus namun
repot ?
Pasti
Menteri Jonan pusing menghadapi “cara bernegosiasi ala-ala ibu rumah tangga”.
Pasti
semuanya dihitung oleh para menteri-menterinya. Entah analisis yang rumit ala
menteri Sri Mulyani, daya gertak dari Menteri SN ataupun tawaran ekonomi dari
Menteri Rini.
Saya
membayangkan. Bagaimana serunya Menteri Jonan menghadapi semuanya. Pasti lebih
rumit menghadapinya dibandingkan bernegosiasi dengan Freeport.
Paling-paling
Menteri Jonan cuma bilang. “Ya, terserahlah”. Sambil bersandar di kursi. Capek
menghadapi cerewet negosiasinya.
Lihatlah.
Semuanya menunjukkan kegembiraan setelah bertemu Jokowi. Cuma wajah masam
Menteri Jonan yang keki.
Ha..
ha.. ha..
Baca : Perempuan Memimpin Indonesia