Memasuki
dunia baru, dunia asing atau dunia yang sama sekali berbeda dengan alam pikiran
sebelumnya, membuat pikiran harus “dikosongkan”. Pikiran yang mampu menampung
alam pikiran baru, cara pandang baru bahkan dunia baru.
Pikiran
dipengaruhi nilai-nilai yang diyakini, pendidikan, pekerjaan, sejarah hidup,
pengalaman bahkan pergumulan pemikiran sebelumnya.
Cara
pandang petani berbeda dengan cara pandang pedagang. Cara pandang kelas
menengah berbeda dengan cara pandang nelayan. Cara pandang politisi berbeda
dengan cara pandang anak muda. Demikian seterusnya.
Namun
untuk memahami cara pandang yang berbeda selain dibutuhkan “memahami” cara yang
pandang berbeda, mendengarkan, juga dibutuhkan “kebeningan hati” untuk
menerimanya. Cara inilah yang paling sulit dan sukar diterapkan.
Kelas
menengah yang dibesarkan dalam tradisi “logis-sistematis” kemudian berhadapan
dengan petani yang berangkat dari alam pikiran “irrasional-magis” cenderung
untuk “berargumentasi” dan menyalahkan komunitas diluarnya.
Tuduhan
seperti “masyarakat penyebab kebakaran hutan”, “masyarakat peladang berpindah
penyebab kerusakan hutan”, “masyarakat tidak mampu mengelola hutan” adalah
tuduhan-tuduhan yang sering kita dengarkan didalam berbagai kesempatan. Belum
lagi mengangggap kelasnya sebagai “identitas” dan struktur social yang berbeda
dengan masyarakat.
Bukankah
dalam setiap kesempatan masih kita dengar untuk memulai pembicaraan selalu
dimulai dengan “saya ini tamatan..
(sambil menyebutkan kampus-kampus terkenal)” untuk meyakinkan audience ?
Ditengah
masyarakat, struktur social juga mempengaruhi relasi social. Bukankah
segelintir elite Desa sering mendominasi pembicaraan, mengarahkan, menuduh
masyarakat sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang sebuah persoalan ?
Dalam
dimensi yang lain, revolusi Hijau kemudian mengajarkan pelajaran penting
didalam pertanian di Indonesia. Dengan dukungan politik rezim Soeharto,
berbagai bibit, pupuk, teknologi kemudian “memaksa” Indonesia masuk agrarian zaman
modern. Mengabaikan bibit-bibit local, menghancurkan tradisi pertanian, mengabaikan
pola pertanian yang menempatkan tanah sebagai “ibu”.
Secara
Politik, Indonesia “memang berhasil” menjadi negara swasembada beras tahun 1984.
Bahkan FAO menyerahkan penghargaan medali Emas dengan gambar timbul disatu sisi
dan gambar petani sedang menanam padi beserta tulisan “From Rice Importer to
Self Sufficiency” di keeping yang lain lain.
Apakah
Indonesia kemudian memang menjadi negara yang mandiri untuk padi ?
Berbagai
fakta kemudian membuktikan sebaliknya. Tidak hanya “lips servise” swasembada
padi hanya sampai tahun 1986, peradaban pertanian Indonesia kemudian menjadi
hancur lebur. Bahkan proyek mega raksasa “Sejuta hektar gambut” untuk
mengembalikan swasembada Padi gagal. Meninggalkan luka mendalam akibat
kehancuran ekosistem. Menyebabkan kebakaran yang sulit dipadamkan.
Selain
itu, revolusi Hijau juga menyebabkan Bibit local banyak yang hilang dan tinggal
nama. Cerita yang hanya bisa dituturkan ke generasi selanjutnya.
Bukankah kita juga mendengarkan
cerita tentang “hilangnya” ikan-ikan khas didaerah tertentu. Atau hilangnya
tanaman khas tertentu (Biodiversity).
Namun
“daya lenting” masyarakat untuk menjaga “kekuatan” peradaban petani masih tetap
dilakukan. Bibit-bibit local padi seperti Renik Kanal, Pulut Mantung, Silang
Jambu, Silang Kudung, Pulut Turun Daun (Desa Tanjung Alam), Seringin Tinggi,
Kuning Besar, Pulut Putih, Pulut Hitam (Desa Gedang), Padi rias, Padi Sunggut,
Padi Dayang, Padi Lumut, Padi Seribu Naik, Padi Kasar (Lubuk Mandarsyah) adalah
nama-nama padi local yang tetap dirawat hingga sekarang.
Masyarakat juga mempunyai
pengetahuan tentang “ilmu perbintangan”, tentang membaca angin, tanda-alam
alam, tanda memasuki musim hujan atau musim kemarau.
Bukankah ketika “banyaknya” ikan
tertentu akan menanda datangnya musim hujan atau memasuki musim kemarau.
Bukankah “laron” menunjukkan proses alam yang hendak dilewatkan. Bukankah “Putik
buah-buahan” akan menanda kedatangan musim hujan ?
Bahkan masyarakat mampu menghitung
kedatangan hujan, halilintar yang akan menerpa perahunya, membaca arah tanpa
menggunakan kompas, bahkan mengetahui dimana tempat ikan yang hendak ditangkap.
Lalu mengapa kita begitu angkuh
untuk mengakui kegagalan cara pandang kita melihat persoalan alam ?
Mengapa kita tidak malu, hutan yang
dikelola oleh industry atau dikelola oleh negara malah tidak mampu menjaga
kelestariannya ? Bukankah kita seharusnya malu dengan masyarakat yang mampu
menjaga hutannya. Merawatnya hingga tetap terjaga baik ?
Sudah saatnya kita meninggalkan
teori-teori usang yang memandang hutan, memandang alam, memandang bumi dan
kembali belajar dari masyarakat.
Mari kita tinggalkan cara pandang
kita. Kita kosongkan kepala. Kita dengarkan. Kita simak. Kita tundukkan kepala.
Sembari mendengarkan dengan tekun
setiap tutur yang disampaikan. Sembari menuliskannya dalam lembaran-lembaran
kita.
Kita tidak cukup mempunyai
pengetahuan untuk menilai. Kita tidak mampu memotret “cara pandang” masyarakat apabila
kita tidak mengosongkan pikiran kita. Meletakkan “otak” kita dirumah. Sembari
menerima pengetahuan-pengetahuan baru yang dituturkan oleh masyarakat.
Mari kita kosongkan “pikiran” kita.
Kembali belajar sembari menundukkan kepala. Seraya berkata. “Saya ingin belajar”.
Dimuat di www.jamberita.com, 14 Januari 2019.
Dimuat di www.jamberita.com, 14 Januari 2019.