‘Dimanapun mereka membakar
buku,
pada
akhirnya mereka akan membakar manusia.’ – Heinrich Heine
Saat kejayaan kerajaan Aceh
Darussalam sebagai pusat perdagangan, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang
berhasi memukul mundur Portugis dari Aceh dan kemudian memperluas pengaruh Aceh
hingga ke Selat Malaka dan Semenanjung Melayu.
Kemenangan yang diraih kemudian
membangun kejayaan dilapangna ilmu pengetahuan. Ulama sekaligus ilmuwan yang
menekuni lmu tasawuf seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani.
Keduanya kemudian dikenal sebagai tokoh yang karya-karya masih dinikmati hingga
sekarang.
Hamzah Fansuri kemudian dikenal ‘aqidah-shari’at-tashawwuf. Model bertasawuf
seperti ini, misalnya, dapat mengambil bentuk ittitad, al-wujud, fana’ wa al baqa” juga dikenal disebut sebagai model
tasawuf “wujudiyah.
Ajaran dan paham tasawufnya telah membawa implikasi
luas terhadap perkembangan tasawuf wujudiyah di Nusantara. Di Jawa
dikenal Manunggaling Kawulo Gusti. Keduanya disebut sebagai tasawuf panteistis.
Bukankah Ronggowarsito dapat menghasilkan
karya-karyanya disaat diberikan kesempatan oleh Pakubuwono di Kasunan Surakarta
?
Belum lagi kitab-kitab yang
dihasilkan Sunan Kalijaga, Syaikh Muhammad Arsyad Banjari, syekh Yusuf Al
Makassari. Literatur sering menyebutkan sebagai Kitab Sufi Islam Nusantara.
Dari berbagai sumber disebutkan Ibnu
Rusyd dikenal justru ketika ditugaskan untuk menerangkan tafsir Aristoteles. Oleh
Khalifah Abu Yaqub Yusuf (Muwahidun yang menguasai sebagian Spanyol dan Afrika
Magribi). Ibnu Rusyd kemudian tidak hanya karya Aristoteles namun juga menulis
Filsafat, Teologi, Kedokteran, Hukum, Filsafat
Aristoteles dalam tradisi pemikiran Islam, Hubungan
antara Islam dan filsafat, Politik, Bukti keberadaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, Keberadaan
alam semesta pada masa lampau. Selain
itu juga menulis Astronomi, Fisika, Psikologi dan Kedokteran.
Karyanya
mencapai 78 kitab. Dan dituliskan dalam Bahasa Arab. Sehingga tidak salah
kemudian dikenal ilmuwan yang komplit. Selain sebagai seorang ahli filsafat,
ia juga dikenal pakar di bidang kedokteran, sastra, logika, ilmu pasti, dan
ilmu agama. Sehubungan dengan itu, ia sangat menguasai ilmu tafsir al-Quran dan
hadis, juga ilmu hukum dan fikih.
Pada masa Abbasiyah, perpustakaan
Bait Al-Hikmah sebagai perpustakaan pribadi kemudian menjadi pusat kajian.
Khalifah Al-Ma’mum kemudian memberikan perhatian dan dukungan ilmu pengetahuan
sertai mengundang para ilmuwan dari
berbagai disiplin ilmu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Bukankah
kita mengenal Abu Abdullah Al-Battani yang menentukan tahun matahari dengan
perincian rumit 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik. Penghitungan yang
masih digunakan hingga sekarang. Kita
juga mengenal Al-khwarizmi yang mengeluarkan
teori matematika yang masih digunakan sampai sekarang. Aljabar.
Kita juga
mengenal kitab seperti Odyssey (Homeros, Abad 8 SM),Iliad (Homeros, abad 8 SM), Euripides (480-406 SM), Hippocrates (460-370 SM), Aristophanes (446-386 SM), Plato (424-348 SM), Euclid (sekitar 300 SM) atau Archimedes (287-212 SM) masih tersimpan rapi
dan masih dibaca.
Membicarakan
pembakaran kitab tidak dapat dipisahkan dari buku “Penghancuran Buku dalam
Sejarah Umat Manusia (Fernando Baez).
Kisah
pembakaran kitab dapat dilihat dari Sumeria Kuno (4000 SM), Dinasti Qin (213
SM), zaman Romawi periode Kaisar Agustus (410 M). Bahkan kekuasaan gereja juga
membakar karya Uskup Macedonia, karya milik Eunomius, dan kitab-kitab
sekte Nestorianisme.
Abad
11 juga di Damaskus dimusnakan 3 juta buku. Tripoli kembali menghancurkan 100
ribu buku.
Sehingga
tidak salah kemudian kitab ditulis Imam
Nawawi adalah al Adzka (Kitab
yang berisi kumpulan doa) justru tersimpan di Dublin Finlandia. Atau kitab
Fawa’id fi Naqd al Asanid, karya Hafidz as Shuri yang ada di Perpustakaan Museum
Inggris di London. Atau Majmu’ Al Fatawa, karya Ibnu Taimiyah
yang merupakan manuskrip yang berada di Perpustakaan Nasional Berlin di Jerman.
Kekejian
terhadap buku yang paling mutkahir yang dicatat dalam sejarah adalah penjarahan
yang diikuti dengan pembakaran dan penghancuran National Library of Bagdad, Irak yang terjadi pada hari-hari
penjatuhan Saddam antara tanggal 9-10 April 2003. Lebih dari satu juta koleksi
hilang dan dibakar. Ini belum termasuk koleksi-koleksi lain yang musnah
terbakar di Museum Arkeologi, Arsip Nasional dan kantor-kantor kementerian.
Sehingga
tidak salah kemudian peperangan kemudian menghapuskan sejarah, memori, bahkan “hubungan’
antara sejarah dari satu periode dengan periode selanjutnya.
Di
Jambi sendiri sejarah terputus dengan Budha, Hindu dan kedatangan Islam dapat
disematkan didalam buku “Naskh Undang-undang Tanjung Tanah” (Uli Kozok). Naskah Undang-Undang Tanjung
Tanah" yang ditemukan Kozok merupakan naskah pertama yang menggunakan
aksara Pasca-Palawa dan memiliki kata-kata tanpa ada satupun serapan ‘berbau'
Islam.
Begitu
juga mengatur wilayah. Wilayah yang kemudian ditetapkan oleh Raja Jambi biasa
dikenal “Piagam”.
Namun
didalam buku “Kajian Dan Analisa Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri
Jambi, hanya menyebutkan “Jebus, Pemayung, Maro Sebo, Petajin, Tujuh Koto, Sembilan Koto, Awin,
Penagan, Mestong, Serdadu, Air Hitam, Pinokawan. Biasa
juga disebut ”Batangnyo Alam
Barajo” yaitu daerah Teras Kerajaan 12 Suku/Bangso”.
Konstitusi kemudian sudah mengatur.
Kewenangan pelarangan buku (UU Nomor 4/PNPS/1963) telah dicabut oleh MK. Berdasarkan
Putusan MK Nomor
6-13-20/PUU-VIII/2010, UU Nomor 4/PNPS/1963 bertentangan dengan UUD.
Sehingga penyitaan buku-buku sebagai
salah satu barang cetakan tanpa melalui proses peradilan, sama saja dengan
pengambilalihan hak pribadi secara sewenang-wenang yang dilarang Pasal 28H ayat
4 UUD 1945.
Lalu mengapa kita mau mengulangi
kesalahan pada masa Sumeria Kuno, Dinasti
Qin, Kaisar Agustus. Bahkan mengulangi
ketotolan paska penjatuhan Saddam Husein ?
Atau
memang ada upaya sistematis untuk menghapuskan sejarah panjang
Indonesia ?
Data dari berbagai sumber.
Advokat. Tinggal di Jambi