Secara prinsip, hak milik merupakan “hak asasi” yang dijamin oleh berbagai prinsip dunia yang kemudian diatur didalam konstitusi. Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 telah menegaskan “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.
Dengan rumusan “setiap orang berhak mempunyai hak milik” dan kalimat “tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang” maka hak ini merupakan hak yang mendasar yang segala sesuatunya bersandarkan kepada hukum.
Dengan mengikuti rumusan “hak milik tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang”, maka terhadap “perampasan” hak milik harus diatur dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam praktek hukum acara pidana, hak milik yang kemudian dijadikan “barang bukti” dalam perkara harus mendapatkan “persetujuan” Pengadilan. Dalam pasal Pasal 38 ayat (1) KUHAP ditentukan “Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Sedangkan ayat (2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Rumusan pasal 38 KUHAP merupakan “perlindungan” terhadap hak milik. Hak milik haruslah dilindungi. Terhadap “penyitaan” haruslah diatur diatur oleh hukum.
Bahkan hukum kemudian menyiapkan “keberatan” terhadap sah atau tidaknya “penyitaan” di proses pengadilan. Upaya ini kemudian dikenal dengan istilah “praperadilan”. Pengadilan kemudian dapat memutuskan apakah “penyitaan” itu sah atau tidak.