Riuh,
gemuruh, berdengung bak lebah. Itulah suasana dunia maya di Indonesia. Berbagai
tema, issu, bisik-bisik terus mewabah, mewarnai bahkan menimbulkan polemic.
Berbagai
tema, issu dimulai dari Raisa yang dilarikan ke luarnegeri, Via Vallen sedang
umroh, gossip panas Ayu Tingting, Ariel Peterpan, Young Lex, Raditya Aditya.
Dunia
politikpun tidak ketinggalan issu politik. Entah dimulai dari berbagai hoax
yang kemudian ditertawakan, tracking pernyataan yang berbeda dengan yang
diucapkan sebelumnya, counter hoax bahkan para netizen mampu membongkar
berbagai kebohongan.
Tentu
yang paling hangat issu hoax yang paling panas 2018. Operasi plastic (oplas)
yang kemudian menimbulkan huruhara dan kemudian menjadi tema “pemukulan”.
Pembongkaran
dimulai oleh Dr. Tompi. Dengan melihat keanehan dinding dibelakang Ratna
Sarumpaet (Wallpaper), Dr Tompi mampu membuka mata public.
Dengan
jeli, Dr Tompi mampu menguraikan, bagaimana mungkin wallpaper yang begitu rapi
ada diruangan UGD sebuah rumah sakit.
Publik
kemudian tracking. Pihak kepolisian kemudian turun mendatangi bandara di
Bandung. Kemudian keliling Jakarta.
Akhirnya
ditemukan. Ternyata wallpaper yang awal kecurigaan adalah dinding dari Rumah Sakit
Kecantikan. Bahkan ditemukan daftar nama pasien. Ternyata Ratna Sarumpaet
ternyata habis “oplas”. Bukan digebukin sebagaimana “dikoar-koar” di media
massa.
Ratna
Sarumpaet kemudian diseret ke kantor kepolisian. Dituduh membuat huruhara
paling heboh Indonesia 2018. Sekarang sedang menunggu persidangan. Ratna
Sarumpaet kemudian “Dicampakkan”. Menjalani proses hukum seperti Buni Yani.
Sendirian. Tanpa ada supporter yang selama ini mendukungnya.
Begitu
juga memasuki awal tahun 2019. Dunia politik dihebohkan dengan “hoax” 70 juta
suara yang sudah dicoblos. Diteriakkan hingga memenuhi beranda dunia maya.
Disambut politisi murahan di berbagai forum. Bahkan kemudian menjadi wacana public.
Merusak mood memasuki tahun 2019.
Lihatlah.
Hoax kemudian disambut para petinggi negeri distatus twitter. Entah yang
mengaku “ulama” atau politisi yang langsung main sambar. Tidak melakukan
verifikasi dilapangan (croschek), menanyakan kepada instansi yang berwenang,
melakukan identifikasi kebenara hoax hingga memastikan kabar yang beredar.
Padahal
“suasana” tahun baru masih begitu menggema. Menikmati “suasana liburan” panjang
setelah jenuh tahun 2018. Menikmati hari-hari memasuki tahun baru 2019.
KPU
dan Kepolisian bergerak cepat. Mendatangi TKP, membongkar sindikat dan mengejar
mengejar pelaku. Dalam hitungan hari, Kepolisian kemudian menangkap pembuat
hoax. Dan kemudian menggelandang ke kantor Kepolisian.
Nasib
sang pembuat hoax semakin menggenaskan. Selain tidak diakui oleh Tim kampanye,
surat pemecatan tertanggal 24 Juli 2018.
Tapi
public mana percaya dengan “orang-orang” yang sudah sering melakukan hoax.
Dengan
teliti, netizen memperhatikan detail surat. Membandingkan dengan antara surat
yang “diakui” tertanggal 24 Juli 2018 dengan kop, membandingkan antara surat
yang dibuat dengan satu peristiwa dengan peristiwa lain. Membandingkan
rangkaiannya. Kemudian akhirnya menemukan kejanggalan. Ya. Antara surat yang
dibuat memang tidak sesuai dengan kenyataan.
Akhirnya
“hoax” kemudian terbukti. Kop surat yang menggunakan symbol dengan tanggalnya
tidak singkron (matching).
Padahal
sudah jamak diketahui. Pengambilan nomor urut Pilpres tanggal 21 September
2018. Sedangkan didalam surat malah tertanggal 24 Juli 2018.
Masa
tanggal 24 Juli 2018 sudah ada kop bersimbolkan nomor urut pilpres ?
Hoax ini
yang membuat “rangkaian” untuk menyingkirkan sang pembuat hoax dari barisan
kampanye, ternyata tidak matching. Lagi-lagi berbagai kejanggalan mampu
dibongkar para netizen.
Kejelian dari
netizen selain “rasa curiga” dari sang pembuat hoax dan koar-koar sang penyebar
hoax mampu membongkar. Sehingga tidak salah kemudian. Teori klasik dalam ilmu
kriminologi semakin kokoh. “Kejahatan apapun meninggalkan jejak”.
Rasa
penasaran dari netizen di Indonesia berangkat dari sikap masyarakat Indonesia
yang sering ngumpul, berdiskusi dan senang bercengkrama.
Lihatlah.
Hampir semua tempat ditemukan warung kopi. Mulai dari kopi pinggiran, warung
kopi, Café bahkan tempat-tempat mewah.
Warung
kopi masih bertahan. Gerai-gerai terus bermunculan. Semuanya ramai. Baik di jam
istirahat maupun hari-hari libur. Bergantian. Silih berganti pengunjungnya.
Warung
kopi cuma disaingi warung tenda “nasi uduk dan pecel lele” dan rumah makan
makan padang.
Selain
itu tempat-tempat nongkrong juga tidak bisa dilepaskan dari suasana bergosip.
Entah di pos ronda, tempat nongkrong secretariat organisasi ataupun rumah-rumah
yang sering dijadikan tempat nongkrong.
Sebagai
masyarakat yang senang bercengkrama, berdiskusi, rasa iseng, jahil, teliti,
menyimak setiap tema membuat manusia di Indonesia begitu peduli. Begitu
perhatian. Sehingga tidak salah kemudian, kesalahan kecil apapun mampu
dideteksi oleh masyarakat.
Gosip
merupakan menu sehari-hari. Manusia Indonesia memang senang bergosip. Entah gossip
yang gayeng untuk berdialog menghangatkan suasana hingga mendiskusikan hal-hal
serius dengna gaya guyon.
Istilah
gossip merupakan istilah yang masih bertahan. Istilah gossip mengalami istilah
pada kurun-kurun tertentu.
Dahulu
istilah gossip sering dikemas menjadi istilah “ngerumpi”. Sehingga ada tayangan
televise yang kemudian sampai membuat acara. “Lenong rumpi’. Namun istilah ini
kemudian tenggelam bersamaan semakin bergeser generasinya.
Istilah
gossip kemudian digantikan. Anak-anak muda sekarang mengenal istilah “Kepok”.
Kepo kemudian dimaknai sebagai “keingintahuan” dari pihak yang dianggap tidak
berkepentingan.
Istlah
“kepo” adalah bentuk sikap dari “halangan” dari luar pihak yang tidak
berkepentingan. Tidak termasuk kedalam komunitas yang tidak diinginkan.
Istilah
kepo juga menggambarkan sikap “tidak
perlu tahu urusan kami”.
Berbagai
peristiwa yang terjadi disekitar kita menjadi perhatian dari masyarakat.
Entahlah peristiwa bom di Sarinah, kebakaran, kecelakaan bahkan berbagai
peristiwa lainnya.
Masih
ingatkan saat peristiwa bom sarinah. Belum 10 menit, para pedagang sate sudah
berjualan ? Padahal, para teroris masih “tembak-menembak” dengan kepolisian.
Namun
gossip, ngerumpi atau kepo adalah sikap “peduli” tipologi masyarakat Indonesia.
Dengan gossip, ngerumpi atau kepo mampu menjadi penangkal hoax. Mampu
membongkar berbagai “keanehan’ yang menjadi pembicaraan public.
Bukanlah
warung kopi merupakan awal dari revolusi Perancis ?
Dimuat di www.jamberita.com, 11 Januari 2019
https://jamberita.com/read/2019/01/11/5946930/gosip
Dimuat di www.jamberita.com, 11 Januari 2019
https://jamberita.com/read/2019/01/11/5946930/gosip