17 Januari 2019

opini musri nauli : KEBENARAN FAKTUAL DAN KEBENARAN HAKIKI


 Peristiwa Pertama

“Li, kita sidang ?”, kata seniorku. Sidang di Pengadilan Jambi.
“Bang, saya sudah pesankan ke teman. Dia yang sidang. Aku ke Bangko”, kataku.
“Lha, kapan pula ke Bangko. Tadi di Pengadilan. Semua orang tau, tadi di Pengadilan”, kata seniorku tidak percaya.

Peristiwa kedua

“saya sudah di tembesi, bang. Buru-buru, kejar mau ketemu orang”, kataku menegaskan.

Dan sore hari kemudian akhirnya sampai sesuai jadwal. Bertemu sore hari. Membicarakan sesuai janji yang disepakati.  

Nah. Peristiwa pertama saya memberikan istilah. Kebenaran factual.

Terhadap peristiwa pertama, Hampir semua teman-teman yang melihat aku berada di Pengadilan, pasti mengatakan aku di Pengadilan Negeri Jambi. Dan tidak perlu pembuktian saya memang berada di Pengadilan Negeri Jambi. Dan saya tidak perlu membuktikan apakah saya di pengadilan Negeri Jambi atau tidak.

Dan saya tidak perlu juga membuktikan apakah saya di Bangko. Selain memerlukan pembuktian (dengan saya kirimi posisi saya melalui google map di WA), keyakinan dari senior saya susah untuk dijelaskan.

Keyakinan yang didasarkan dari pengetahuan “saya berada di Pengadilan Jambi” selain berdasarkan dari seluruh para senior yang melihat saya berada di Pengadilan, jarak juga mempengaruhi cara pandang untuk menerima penjelasan. Dan itu akan menimbulkan problematic untuk mendiskusikan lebih lanjut.

Dalam hukum pidana, kebenaran factual maka tidak perlu dibuktikan.

Misalnya hari minggu. Semua orang mengetahui itu hari libur. Dan tidak perlu juga ada pembuktian “apakah hari minggu itu libur atau tidak”.

Sedangkan peristiwa kedua. Kebenaran hakiki. Kebenaran “yang sebenar-benarnya”.

Saat ditelephone memang berada di Tembesi” menuju ke Bangko. Sehingga “peristiwa pertama” merupakan peristiwa lampau. Kebenaran yang tidak perlu dibuktikan. Maka “kebenaran factual” menjadi tidak relevan ketika saya ditelephone.

Peristiwa kedua adalah kebenaran hakiki. Kebenaran “memang sudah di Tembesi” sedang menuju Ke Bangko.

Sehingga cara pandang dari sang senior yang mengatakan “saya di Jambi” menjadi peristiwa lampau untuk menilai “perjalanan tengah menuju Bangko”.

Dalam hukum, kebenaran factual belum tentu menjadi kebenaran hukum. Kebenaran factual tidak boleh dijadikan alasan untuk menolak “kebenaran hakik”.

Dalam interaksi dunia hukum, kebenaran factual tidak dapat dijadikan menilai kebenaran hakiki. Kebenaran hakiki adalah kebenaran menurut hukum.

Sehingga kebenaran factual yang dijadikan penilaian oleh senior saya tidak dapat menilai kebenaran hakiki. Kebenaran yang memang saya sedang menuju Bangko dan sedang berada di Tembesi.

Sehingga pernyataan saya “sedang di Tembesi menuju Bangko” adalah kebenaran hakiki.

Bagaimana dalam praktek dunia hukum ?

Dalam kisah yang lain, saya pernah didatangi seorang ojek yang hendak mengurusi masalah pekerjaan. Dia seorang supir. Diberhentikan oleh majikan. Dan hendak mengurusi masalah pesangon.

Saya kemudian meminta dia menyiapkan surat-surat yang diperlukan.

Keesokan harinya diapun datang. Menyerahkan surat-surat.

Alangkah kagetnya saya. Ternyata “walaupun sehari-hari” dia adalah supir majikan yang sehari-hari cuma bertugas mengantar urusan majikan “seperti mengantar anak sekolah” atau pekerjaan lain namun saya menemukan kenyataan yang mengejutkan.

Salah satu dokumen yang berisikan “akte notaris”, dia disebutkan sebagai komisaris dari sebuah CV (comanditer vennotschap). CV tersebut berdiri tahun 1990-an. Bergerak mengadakan barang dan jasa. Salah satunya pengadaan computer.

Dan baru saja memenangkan tender “pengadaan computer’ disalah satu instansi pemerintahan.

Memang di rezim Soeharto, kelompok China sama sekali tidak boleh menjadi komisaris atau menjadi pemilik dari perusahaan. Kebijakan diskriminasi paska G-30 S/PKI. Kebijakan ini sudah dicabut dari Gusdur.

Maka untuk mengelabui “maka kemudian” sang supir dijadikan para pendiri dan menjadi Komisaris dari CV tersebut. Dan “sang supir” kemudian memberikan kuasa kepada sang pemilik untuk menjalankan roda perusahaan.

Praktek yang kemudian dijalani dalam kehidupan sehari-hari.

Sang supir sama sekali tidak menyadari. Bahkan sama sekali tidak tahu. Karena memang selama ini dia cuma mengetahui sebagai “supir” dari majikan.

Sang supir yang bertugas mengantar “urusan” majikan sama sekali tidak diterangkan posisinya di CV. Bahkan sebagai pendiri dan komisaris.

Pikiran sebagai “supir” adalah kebenaran factual. Kebenaran yang diyakini karena memang “sehari-hari” sebagai supir. Semua lingkungan kemudian menempatkan “diri” sebagai supir. Tidak perlu dibantah. Memang kenyataan seperti itu.

Namun kebenaran factual berbeda dengan dokumen pendirian CV. Walaupun sehari-hari sebagai “supir” namun didalam akte, posisinya “jelas-jelas” menunjukkan sebagai pendiri dan komisaris. Sehingga “sang supir” lebih berhak dari sang majikan.

Sebagai komisaris dan pemilik perusahaan, maka “sang supir” lebih berhak untuk mengatur asset perusahaan, mengadakan lelang bahkan menentukan arah perusahaan.

Bahkan “sang supir” sebagai pemilik perusahaan berhak untuk “mencabut kuasa Direktur” ataupun “memberhentikan Direktur” terhadap majikannya.

Hak-hak yang melekat sebagai komisaris atau pemilik perusahaan.

Dan itu sah menurut hukum.

Kebenaran itulah yang kemudian dikenal sebagai “kebenaran hakiki” atau kebenaran hukum, Demikianlah hukum mengatakan.

Dalam praktek hukum acara perdata, menentukan domisili tergugat harus menyatakan secara hukum. Bukan “kenyataan factual” sehari-hari tergugat berada. Baik tempat tinggal ataupun tempat berada.

Kesalahan menempatkan domisili tergugat selain akan berdampak secara hukum juga kemudian “gugatan” tidak dapat diterima.

Berbagai putusan kemudian mengajarkan. Esensi inilah yang menjadi titik focus dari perkara-perkara di Pengadilan. 

Dimuat di www.jamberita.com, 17 Januari 2019

https://jamberita.com/read/2019/01/17/5947054/kebenaran-faktual-dan-kebenaran-hakiki