Peristiwa
Pertama
“Li,
kita sidang ?”, kata seniorku. Sidang di Pengadilan Jambi.
“Bang,
saya sudah pesankan ke teman. Dia yang sidang. Aku ke Bangko”, kataku.
“Lha,
kapan pula ke Bangko. Tadi di Pengadilan. Semua orang tau, tadi di Pengadilan”,
kata seniorku tidak percaya.
Peristiwa
kedua
“saya
sudah di tembesi, bang. Buru-buru, kejar mau ketemu orang”, kataku menegaskan.
Dan
sore hari kemudian akhirnya sampai sesuai jadwal. Bertemu sore hari.
Membicarakan sesuai janji yang disepakati.
Nah.
Peristiwa pertama saya memberikan istilah. Kebenaran factual.
Terhadap
peristiwa pertama, Hampir semua teman-teman yang melihat aku berada di Pengadilan,
pasti mengatakan aku di Pengadilan Negeri Jambi. Dan tidak perlu pembuktian
saya memang berada di Pengadilan Negeri Jambi. Dan saya tidak perlu membuktikan
apakah saya di pengadilan Negeri Jambi atau tidak.
Dan
saya tidak perlu juga membuktikan apakah saya di Bangko. Selain memerlukan
pembuktian (dengan saya kirimi posisi saya melalui google map di WA), keyakinan
dari senior saya susah untuk dijelaskan.
Keyakinan
yang didasarkan dari pengetahuan “saya berada di Pengadilan Jambi” selain
berdasarkan dari seluruh para senior yang melihat saya berada di Pengadilan,
jarak juga mempengaruhi cara pandang untuk menerima penjelasan. Dan itu akan
menimbulkan problematic untuk mendiskusikan lebih lanjut.
Dalam
hukum pidana, kebenaran factual maka tidak perlu dibuktikan.
Misalnya
hari minggu. Semua orang mengetahui itu hari libur. Dan tidak perlu juga ada
pembuktian “apakah hari minggu itu libur atau tidak”.
Sedangkan
peristiwa kedua. Kebenaran hakiki. Kebenaran “yang sebenar-benarnya”.
Saat
ditelephone memang berada di Tembesi” menuju ke Bangko. Sehingga “peristiwa
pertama” merupakan peristiwa lampau. Kebenaran yang tidak perlu dibuktikan. Maka
“kebenaran factual” menjadi tidak relevan ketika saya ditelephone.
Peristiwa
kedua adalah kebenaran hakiki. Kebenaran “memang sudah di Tembesi” sedang
menuju Ke Bangko.
Sehingga
cara pandang dari sang senior yang mengatakan “saya di Jambi” menjadi peristiwa
lampau untuk menilai “perjalanan tengah menuju Bangko”.
Dalam
hukum, kebenaran factual belum tentu menjadi kebenaran hukum. Kebenaran factual
tidak boleh dijadikan alasan untuk menolak “kebenaran hakik”.
Dalam
interaksi dunia hukum, kebenaran factual tidak dapat dijadikan menilai
kebenaran hakiki. Kebenaran hakiki adalah kebenaran menurut hukum.
Sehingga
kebenaran factual yang dijadikan penilaian oleh senior saya tidak dapat menilai
kebenaran hakiki. Kebenaran yang memang saya sedang menuju Bangko dan sedang
berada di Tembesi.
Sehingga
pernyataan saya “sedang di Tembesi menuju Bangko” adalah kebenaran hakiki.
Bagaimana
dalam praktek dunia hukum ?
Dalam
kisah yang lain, saya pernah didatangi seorang ojek yang hendak mengurusi
masalah pekerjaan. Dia seorang supir. Diberhentikan oleh majikan. Dan hendak
mengurusi masalah pesangon.
Saya
kemudian meminta dia menyiapkan surat-surat yang diperlukan.
Keesokan
harinya diapun datang. Menyerahkan surat-surat.
Alangkah
kagetnya saya. Ternyata “walaupun sehari-hari” dia adalah supir majikan yang
sehari-hari cuma bertugas mengantar urusan majikan “seperti mengantar anak
sekolah” atau pekerjaan lain namun saya menemukan kenyataan yang mengejutkan.
Salah
satu dokumen yang berisikan “akte notaris”, dia disebutkan sebagai komisaris
dari sebuah CV (comanditer vennotschap). CV tersebut berdiri tahun 1990-an.
Bergerak mengadakan barang dan jasa. Salah satunya pengadaan computer.
Dan
baru saja memenangkan tender “pengadaan computer’ disalah satu instansi
pemerintahan.
Memang
di rezim Soeharto, kelompok China sama sekali tidak boleh menjadi komisaris
atau menjadi pemilik dari perusahaan. Kebijakan diskriminasi paska G-30 S/PKI. Kebijakan
ini sudah dicabut dari Gusdur.
Maka
untuk mengelabui “maka kemudian” sang supir dijadikan para pendiri dan menjadi
Komisaris dari CV tersebut. Dan “sang supir” kemudian memberikan kuasa kepada
sang pemilik untuk menjalankan roda perusahaan.
Praktek
yang kemudian dijalani dalam kehidupan sehari-hari.
Sang
supir sama sekali tidak menyadari. Bahkan sama sekali tidak tahu. Karena memang
selama ini dia cuma mengetahui sebagai “supir” dari majikan.
Sang
supir yang bertugas mengantar “urusan” majikan sama sekali tidak diterangkan
posisinya di CV. Bahkan sebagai pendiri dan komisaris.
Pikiran
sebagai “supir” adalah kebenaran factual. Kebenaran yang diyakini karena memang
“sehari-hari” sebagai supir. Semua lingkungan kemudian menempatkan “diri”
sebagai supir. Tidak perlu dibantah. Memang kenyataan seperti itu.
Namun
kebenaran factual berbeda dengan dokumen pendirian CV. Walaupun sehari-hari
sebagai “supir” namun didalam akte, posisinya “jelas-jelas” menunjukkan sebagai
pendiri dan komisaris. Sehingga “sang supir” lebih berhak dari sang majikan.
Sebagai
komisaris dan pemilik perusahaan, maka “sang supir” lebih berhak untuk mengatur
asset perusahaan, mengadakan lelang bahkan menentukan arah perusahaan.
Bahkan
“sang supir” sebagai pemilik perusahaan berhak untuk “mencabut kuasa Direktur”
ataupun “memberhentikan Direktur” terhadap majikannya.
Hak-hak
yang melekat sebagai komisaris atau pemilik perusahaan.
Dan
itu sah menurut hukum.
Kebenaran
itulah yang kemudian dikenal sebagai “kebenaran hakiki” atau kebenaran hukum, Demikianlah
hukum mengatakan.
Dalam
praktek hukum acara perdata, menentukan domisili tergugat harus menyatakan
secara hukum. Bukan “kenyataan factual” sehari-hari tergugat berada. Baik
tempat tinggal ataupun tempat berada.
Kesalahan
menempatkan domisili tergugat selain akan berdampak secara hukum juga kemudian “gugatan”
tidak dapat diterima.
Berbagai
putusan kemudian mengajarkan. Esensi inilah yang menjadi titik focus dari
perkara-perkara di Pengadilan.
Dimuat di www.jamberita.com, 17 Januari 2019
https://jamberita.com/read/2019/01/17/5947054/kebenaran-faktual-dan-kebenaran-hakiki
Dimuat di www.jamberita.com, 17 Januari 2019
https://jamberita.com/read/2019/01/17/5947054/kebenaran-faktual-dan-kebenaran-hakiki