Siapa ?
Siapa Sesungguhnya, Engkau wahai Perupa ?
Datang mengabarkan.
Hutan Lindung. Hutan Konservasi.
Apakah engkau lebih peduli daripada mereka disini ?
Siapakah Engkau ?
Datang membawa kitab asing.
Kemudian mengabarkan peradaban baru ?
Siapakah Engkau, Sang pembawa kabar ?
Kemudian lebih jumawa daripada mereka disini ?
Siapakah, Engkau yang sok tahu.
Katanya bisa mengelola alam. Bisa mengelola gambut ?
Mengapa Engaku begitu angku, sombong dan jumawa ?
Apakah Engkau tidak tahu mereka lebih mengenal alam, air, tanah dan
hutan.
Teluk sakti, Rantau betuah, Gunung Bedewo
Rimbo sunyi “tempat harimau bermain. Tempat ungko berebut tangis”
Rimbo keramat, rimbo puyang.
Itulah tugasmu. Bukan tugasku untuk belajar dari mereka.
Pergilah. Bawalah kitabmu.
Bawahlah kabarmu,
Sebelum engkau kualat dan menerima kutukan dari alam.
Tanjung Raden, Jambi, 18.00 wib, 2
Februari 2019.
Dalam
perjalanan menuju ke Berbak, saya ditelephone bang Sakti Alam Watir (Sakti). “Bang, bisa membuka acara pembukaan “Mengaji
Puisi Hendri Nursal” ?, kata bang sakti diujung telephone.
Saya
kaget. “Kok saya bang, “, ujarku
mengelak. Terlalu penting terhadap diri saya kemudian membuka acara.
Selanjutnya
“bla..bla..blaa..”, terang bang
Sakti.
Akupun
terdiam. Tidak enak sampai tiga kali mendesak.
Sepanjang
jalan aku memikiran. Mengapa aku diminta “tolong” untuk membuka acara ? Apakah
saya “pejabat” atau “orang penting” ?. Siapakah saya ?
Ah.
Pikiran saya buang jauh-jauh. Tidka enak menolak undangan.
Setelah
“menghadiri” acara di sebuah kecamatan di Batanghari, malampun aku meluncur ke
acara. Sesuai jadwal yang dijanjikan.
Acara
“mengaji Puisi Hendri Nursal” juga berbarengan dengan Pameran Photo “Makam
Rangkayo Hitam”. Pameran Photo-photo dari bang Sakti.
Seorang
seniman yang memotret kehidupan sehari-hari dari gambar. Sebuah cara untuk
memotret kehidupan sehari-hari. Tidak berhenti.
Potretnya
terpajang diberbagai tempat public. Entah di dinding-dinding hotel,
perkantoran. Beliau lebih suka menyebutkan “Mengisi ruang kosong”. Ungkapan “rendah
hati”.
Namun
saya lebih suka menyebutkan “membuat puzzle’. Menyambung dari alam pikiran saya
dan memindahkan ke gambar.
Sayapun
kemudian menempatkan sebagai “kepak
rambai hulubalang”. “Menjemput yang
tinggal. Mengangkat yang berat. “Kermit”,
kata orang uluan Batanghari.
Kalaupun
saya tetap membuka acara, saya masih menempatkan diri sebagai “penjaga lampu togok”. Agar cahaya redup
tetap hidup. Berkejaran waktu untuk merangkainya.
Sebagai
orang yang ditugaskan “kepak rambai
hulubalang” atau “Kermit”, tugas
saya cuma “memayungi” payung kawan-kawan.
Untuk membuka acara.
Keren
untuk Hendri Nursal dan Bang “Sakti”.
Tugas
malam itu berhasil saya tunaikan. Menjaga lampu togok agar tetap hidup.
Jambi,
3 Februari 2019