08 Januari 2019

opini musri nauli : Kupu-kupu Malam atau Pramuria



Musri Nauli

Siapa yang masih ingat lagu Titik Puspa yang berjudul “Kupu-kupu Malam”, tahun 1977. Atau Lagu “Kisah Seorang Pramuria” (The Mercys), era tahun 1970-an yang kemudian didaur ulang oleh Boomerang tahun 1999 ?


Lihatlah bait-bait lagu Titik Puspa. Ada yang benci dirinya. Ada yang butuh dirinya. Ada yang berlutut mencintanya. Ada pula yang kejam menyiksa dirinya.

Namun dengarkan bait-bait selanjutnya “Dosakah yang dia kerjakan. Sucikah mereka yang datang.

Atau The Mercys “Kisah seorang Pramuria”, “Mengapa di dunia ini. Selalu menertawai. Hidupku yang hina ini. Berteman dengan seorang gadis.  Mengapa semua manusia. Menghina kehidupannya. Mencari nafkah hidupnya. Mencari nafkah hidupnya”

Lagu “Kupu-kupu Malam” merupakan kisah nyata yang ditemukan oleh Titik Puspa. “Seorang istri yang ditinggal suaminya. Dia banyak hutang, nggak bisa bayar, harus dengan tubuhnya. Dia ketemu saya, dia nangis karena, 'itu bukan pekerjaan saya,"

Setelah bertemu, bersama Titiek Puspa wanita malam itu lantas berdoa bersama-sama. Dengan iman dan kepercayaan masing-masing, Titiek Puspa pun ikut mendoakan agar perempuan tersebut bisa keluar dari lembah kelam yang membelenggu kehidupannya.

Sedangkan cerita lagu “Kisah Seorang Pramuria” dengan bait-bait “Mengapa semua manusia menghina kehidupannya ?

Apabila kita lihat bait-bait lagu “Dosakah yang dia kerjakan. Sucikah mereka yang datang” atau “Mengapa semua manusia menghina kehidupannya” melambangkan hipokrit masyarakat.

Norma social yang memandang rendah kehidupan dunia malam berbenturan dengna kenyataan social terhadap skandal-skandal petinggi negeri yang kemudian terlibat.

Baik OTT maupun kehidupan social yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan malam. Baik dengna cara memberikan fasilitas maupun adanya “transaksi terselubung” dunia malam.  

Istilah “kupu-kupu malam” adalah istilah yang sulit diketahui mulai kapan digunakan. Menurut Remy Sylado, istilah itu merupakan sebuah perumpamaan “kupu-kupu itu kan indah tapi hidupnya pendek, cuma semalam dinikmatinya.

Selain itu, gaya Orde baru yang sering menghaluskan istilah, kemudian menyebabkan istilah “kupu-kupu malam” kemudian menjadi ingatan kolektif tahun 1970-an ketika Lagu Titik Puspa kemudian memberikan judul “Kupu-kupu Malam”.

Sedangkan istilah “Pramuria” sebuah istilah yang merujuk Karyawati kelab malam yang bertugas melayani dan menemani tamu. Ada juga menyebutkan “hostes”. Sedikit mengalami polemic dibandingkan dengan istilah “kupu-kupu Malam”.

Berbeda kisah “Kupu-kupu Malam”, kisah lagu “Pramuria” menggambarkan seorang pemuda yang jatuh cinta dengan “perempuan” yang hidup didunia malam.

Kisah klasik yang juga ditemukan dalam roman percintaan seperti kisah “Nyai Dasima” dalam pergundikan masa Kolonial. Kisah yang kemudian menjadi buku “Cerita Nyai Dasima, S.M. Ardan,

Dalam dunia terkini, buku “undercover”, Moammar Emka (2006) kemudian menjadi film “Jakarta Undercover” (2006 dan 2017).

Namun Istilah “kupu-kupu malam” atau istilah “pramuria”  sudah tenggelam dengna perkembangan zaman. Istilah ini kemudian mengalami metamorfosa dengan istilah terkini. “Prostitusi online”.

Sebuah penggantian makna tanpa menghilangkan makna sesungguhnya.

Namun yang unik adalah syair dari Titik Puspa. “Dosakah yang dia kerjakan. Sucikah mereka yang datang, adalah gugatan, ketidakmengertian dunia malam, ambigu, hipokrit bahkan kehinaan terhadap “yang dia kerjakan” dibandaingkan “sucikah mereka yang datang”.

Lihatlah bagaimana “masih dianggap mulia atau suci” tokoh agama dari partai Islam yang tertangkap bersama perempuan bukan muhrimnya. Bahkan masih dipuja-puja para pendukungnya. Bahkan kemudian menuduh ada “desain’ yang menghancurkannya.

Suara Titik Puspa didalam bait-baitnya ““Dosakah yang dia kerjakan. Sucikah mereka yang datang”, melambangkan sikap hipokrit.

Yang kemudian menempatkan “manusia datang” yang kemudian dianggap suci. Manusia yang tidak berdosa. Dan kemudian menempatkan “dosakah yang dia kerjakan” sebagai manusia pendosa. Membandingkan antara langit dan bumi.

Sikap hipokrit ini juga melambangkan anomali social. Sebuah anomali yang susah ditangkap oleh nurani kemanusiaan.

Bukankah agama kemudian menempatkan “sesama pendosa’ dalam satu lingkup dosa besar. Bukankah agama tidak memisahkan antara perempuan dan lelaki dalam perbuatan dosa ? 

Dimuat di www.jambizone.id, 10 Januari 2019


https://jambizone.id/post/kupu-kupu-malam-atau-pramuria