Akhir-akhir
ini pembicaraan perempuan mendominasi public. Bisik-bisik tetangga kemudian
berkembang menjadi “daya paksa” oleh negara.
Entah
darimana “wewenang” yang diberikan oleh konstitusi (atribusi), wewenang dari
negara (delegasi) maupun mandate yang diberikan oleh Pemerintah untuk
menentukan tentang kedaulatan perempuan terhadap tubuhnya.
Membicarakan
perempuan dengan paradigm menempatkan tubuh perempuan sebagai obyek dari
pembahasan oleh negara memantik diskusi menarik.
Dimulai
dari berbagai peraturan yang kemudian mengatur tentang “duduk perempuan”, “perempuan
tidak boleh keluar malam”, hingga pengaturan tentang pakaian perempuan.
Kisah
bermula melihat tingginya tingkat kejahatan terhadap perempuan (baca
pemerkosaan). Namun bias gender kemudian menghasilkan kesimpulan mengerikan. “Perempuan”
dianggap sebagai biang terjadinya kejahatan pemerkosaan. Bahkan yang lebih
sadis, kejahatan pemerkosaan disebabkan karena pakaian perempuan.
Bias
ini kemudian mulai menghinggapi berbagai pemangku kepentingan dari negara yang
kemudian menghasilkan berbagai peraturan, surat edaran bahkan himbauan terhadap
pengaturan terhadap perempuan.
Tidak
cukup mengatur tentang “perempuan dilarang keluar malam”, “cara duduk perempuan”
hingga mengatur perempuan.
Menempatkan
perempuan selain bias gender juga didasarkan cara pandang struktur social yang
menempatkan perempuan sebagai obyek. Paradigma yang sudah jauh ditinggalkan perkembangan
zaman.
Namun
yang menarik dan memantik diskusi tematik adalah “apakah negara” mempunyai
wewenang untuk mengatur “pakaian perempuan”. Apakah perempuan berpakaian seksi
yang dituduh sebagai penyebab terjadinya kejahatan pemerkosaan ?
Melihat
rumusan wewenang yang diberikan oleh konstitusi kepada negara (atribusi) dapat
dilihat berbagai rumusan didalam konstitusi. Apakah negara kemudian mendapatkan
wewenang untuk mengatur “pakaian perempuan”. Baik makna yang tersurat (tertulis
didalam konstitusi) maupun makna yang tersirat (tafsiran “content issu”).
Secara
harfiah, rujukan yang paling sering digunakan adalah “melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darai Indonesia.. “Lalu apakah makna ini kemudian
dirumuskan sebagai alibi untuk mengatur “pakaian perempuan” ?
Didalam
pasal-pasal didalam konstitusi, “sama sekali” tidak terdapat “perintah” atau “pembagian
kewenangan” dari konstitusi kepada negara untuk mengatur tentang pakaian
perempuan.
Lalu
apakah ketika tidak ada cantelan hukumnya kemudian “negara” yang mengaku
mendapatkan wewenang bersifat atribusi kemudian mempunyai kewenangan untuk
mengatur “pakaian perempuan”.
Lalu
ketika sama sekali tidak ada “atribusi”, UU ataupun peraturan
perundang-undangan kemudian memberikan kewenangannya kepada daerah (wewenang
yang bersifat delegasi).
Rumusan
delegasi (pendelegasian wewenang dari Pemerintah kepada Pemerintah daerah)
dapat dilihat didalam UU Pemda. Disanalah kemudian rumusan itu dilihat. Atau
dengan kata lain, wewenang apa saja yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada
Pemerintah Daerah (delegasi).
Problem
hukum kemudian muncul.
Ketika
pengaturan tentang “tubuh perempuan” yang sama sekali tidak diatur baik didalam
konstitusi maupun kewenangan yang dberikan oleh UU Pemda, lalu mengapa
Pemeritah daerah kemudian malah mengatur
yang berkaitan dengan tubuh perempuan.
Terutama mengatur tentang pakaian perempuan ?
Mengapa
seruan mengatur perempuan terutama “pakaian perempuan” yang seharusnya menjadi
ranah social ataupun norma agama kemudian “masuk” negara untuk mengaturnya ?.
Mengapa negara begitu “bersemangat” untuk mengatur tentang “pakaian perempuan”
? Mengapa negara menggunakan “daya paksa” mengatur “pakaian perempuan”.
Atau
issu ini sengaja dikemas untuk menutupi kegagalan kewajiban dari negara untuk
melindungi masyarakat dari persoalan sebenarnya ?
Saya
cuma bergumam. Negara tidak ada kerjaan.
Dimuat di www.serujambi.com, 10 Januari 2019
https://www.serujambi.com/2019/opini-kedaulatan-perempuan-terhadap-tubuh/
Dimuat di www.serujambi.com, 10 Januari 2019
https://www.serujambi.com/2019/opini-kedaulatan-perempuan-terhadap-tubuh/