Tidak mungkin
mengalahkan musuh dengna satu jurus yang sama
(Pepatah Tiongkok)
Gegap gempita Politik Indonesia
tidak dapat dilepaskan dari Basuki Tjahaja Purnama (BTP). Polemik,
kontroversial, gaduh bahkan hingga memaksa adrenalin public terpacu. Kisah,
perjalanan, setiap perkataan hingga nasib yang berujung ke “proses hukum”
bahkan dipenjara.
Setiap perkataannya ditunggu
public di televise setiap pagi. Disediakannya “tempat pengaduan”, system
keuangan yang langsung dimonitor pubik, akses pengaduan melalui aplkasi terkini
adalah prestasi-prestasi yang ditorehkan. Membuat warga Jakarta nyaman dan
senyum-senyum menikmatinya. Sembari mengontrol kelakuan pejabat, kenikmatan
sebagai warga kota metropolitan membuat warga kota lain iri melihatnya.
Semuanya kemudian punah. Hilang
bersamaan dengan angin.
Hampir semua lembaga negara
dihadapinya. Entah dengan issu reklamasi berhadapan dengan berbagai instansi,
tuduhan korupsi berhadapan dengan BPK, laporan entah berapa banyak. Namun
akhirnya kemudian “terpelesent”. Jatuh dalam proses tuduhan hukum. Menjadi
penista agama. Itu kata hukum. Proses hukum yang harus dijalani.
Diapun tegak memasuki penjara.
Namun walaupun dipenjara, hampir
setiap hari, namanya tetap dituduhkan dengan berbagai issu. Entah dituduh “agen
asing”, “susupan”, atau issu-isu lain yang kemudian membuat dahi berkerut.
Apakah begitu ditakuti sehingga walaupun “badannya” dipenjara, namun masih
dikait-kaitkan ?
Sekarang dia “menjadi kuat”.
Setelah “mematangkan ilmu kanuragan, mengolah jiwa, menentramkan batin, dia
kemudian dia keluar dari kawah candradimuka. Dengan kekuatan penuh untuk
kembali bertarung.
Membicarakan BTP adalah keunikan.
DItengah semakin kuatnya arus kekuatan konservatif, fundamental yang semakin
condong kekanan, issu identitas yang semakin sempit, BTP mewakili tipologi
minoritas. Tiongkok dan Nasrani. Sebuah labeling yang menyesakkan dada.
Tidak cukup dihadapi dengan
“proses hukum”. Berbagai hujatan kemudian mengajarkan banyak pelajaran penting.
“saya tidak memilih saya menjadi
apa “”. Sebuah kodrati insani yang hakiki dalam dunia pemikiran. Bukankah
“manusia diciptakan” sang pencipta sebagai hak yang universal ? Menikmati semua
hak sebagai manusia ? Bukankah itu esensi manusia sebagaimana telah dicanangkan
dalam berbagai sikap PBB ?. Pondasi penting dari HAM.
BTP kemudian menghadapi semuanya.
Termasuk juga menghadapi pengagung dan pejuang HAM itu sendiri.
Semua cerita itu tidak akan usai.
Diceritakan dari berbagai sudut. Entah kekaguman atau kesinisan. Namun sebuah
keniscayaan. Sosoknya telah mewarnai politik kontemporer.
Setelah “bersemedi”, mengumpulkan
kekuatan, mengolah ilmu kanuragan, dia kembali. Dia “menantang”. Dia
mengobrak-abrik kandang lawan.
Tentu saja dengan jurus yang
berbeda. Sebagaimana pepatah Tiongkok “Tidak
mungkin mengalahkan musuh dengna satu jurus yang sama.
Selamat datang, BTP. Dibalik
barisanmu. Masih banyak yang rindu akan sepak terjangmu.