Entah
mengapa, istilah “kabar burung” semakin menarik perhatianku. Istilah kabar
burung dilekatkan kepada issu-issu yang belum dapat dibuktikan kebenarannya. Istilah
“konon katanya” lebih banyak diceritakan dalam novel-novel silat.
Cenderung
mitos, mistis dan cenderung sulit diterima akal. Namun kebenarannya banyak
diyakini.
Ya.
Istilah kabar burung mulai kehilangan maknanya. Kabar burung yang hendak
dikabarkan kemudian mengalami ledakan. Menjadi berita fitnah, berita sampah
namun kemudian terus berproses menjadi Hoak. Kabar bohong.
Kabar
burung, berita fitnah, berita sampah, kabar bohong, “konon katanya” kemudian
mengalami fase mengerikan. Hoax. Sebuah istilah yang kemudian menghantui setiap
peristiwa apapun yang terjadi di negeri ini.
Sang
pemberi kabar tidak kapok-kapok. Entah dengan “kesulitan” tidak mampu melihat
muka lebam akibat pemukulan atau cuma hasil operasi plastic, atau berita-berita
sampah yang terus bersilewaran terus menerus.
Sang
Pemberi kabar justru terus memproduksinya. Padahal sudah banyak yang mengalami
proses hukum. Lihatlah Obor Rakyat, Buni Yani, Jonru, ataupun oknum guru atau
oknum dosen yang harus menanggung derita. Dipenjara sebagai proses hidup yang
harus dijalani.
Namun
Sang Pemberi kabar justru banyak berkiblat kepada Hitler. Tokoh yang paling
kejam di abad Modern. Bukankah Hitler dengan bangga menjelaskan “bahwa
jika kebohongan diulangi secara terus-menerus, maka pikiran manusia akan
mempercayainya. Kebohongan pun diterimanya sebagai kebenaran. Pengulangan
adalah metode hypnosis. Apa yang diulangi secara terus-menerus itu akan terukir
pada dirimu. Inilah yang menyebabkan ilusi dalam hidup.
Lihatlah.
Mulai dari issu bencana, tuduhan komunis, antek PKI, issu rush (penarikan uang
besar-besaran). Bahkan semakin menggila dengan issu seperti selang cuci darah
yang dipakai 40 x dan terakhir isu tuduhan 7 kontainer. Sungguh keji.
Padahal
perangkat hukum sudah mengintai. Undang Undang nomor 11 tahun 2008 yang
kemudian diperbarui UU No. 19 Tahun 2016 justru akan menangkap siapapun
penyebar hoak. Entah kemudian terhadap Buni Yani, Jonru dan terakhir Ratna
Sarumpaet.
Lalu mengapa masih ada ketololan
masih mau memproduksi hoak. Atau kemudian menyebarkan hoax ? Sungguh. Sampai
sekarang saya tidak mengerti.
Entah apa sesungguhnya yang ada
didalam pikirannya. Membuat tidak nyaman negeri ini. Menyebarkan kabar bohong.
Menyebarkan issu yang tidak bertanggungjawab.
Namun yang mengganggu nurani saya.
Mengapa masih banyak percaya dengan hoak. Mengapa mereka dengan bangga
menceritakan, mendiskusikan berita-berita sampah ?
Apakah ini yang dinamakan sebagai “Ilusi”
atau “hypnosis” sebagaimana dikatakan oleh Hitler.
Mengapa manusia lebih percaya “kabar
burung” ?. Mengapa manusia begitu tolol lebih percaya burung daripada kebenaran
?
Ah. Susah sekali merawat kewajaran.
Menjaga nalar tetap jalan di zaman sekarang.
Dibutuhkan “energy besar” untuk merawat
dan menjaga nalar agar tetap normal.