04 Januari 2019

opini musri nauli : KABAR BURUNG


Entah mengapa, istilah “kabar burung” semakin menarik perhatianku. Istilah kabar burung dilekatkan kepada issu-issu yang belum dapat dibuktikan kebenarannya. Istilah “konon katanya” lebih banyak diceritakan dalam novel-novel silat.

Cenderung mitos, mistis dan cenderung sulit diterima akal. Namun kebenarannya banyak diyakini.

Ya. Istilah kabar burung mulai kehilangan maknanya. Kabar burung yang hendak dikabarkan kemudian mengalami ledakan. Menjadi berita fitnah, berita sampah namun kemudian terus berproses menjadi Hoak. Kabar bohong.

Kabar burung, berita fitnah, berita sampah, kabar bohong, “konon katanya” kemudian mengalami fase mengerikan. Hoax. Sebuah istilah yang kemudian menghantui setiap peristiwa apapun yang terjadi di negeri ini.

Sang pemberi kabar tidak kapok-kapok. Entah dengan “kesulitan” tidak mampu melihat muka lebam akibat pemukulan atau cuma hasil operasi plastic, atau berita-berita sampah yang terus bersilewaran terus menerus.

Sang Pemberi kabar justru terus memproduksinya. Padahal sudah banyak yang mengalami proses hukum. Lihatlah Obor Rakyat, Buni Yani, Jonru, ataupun oknum guru atau oknum dosen yang harus menanggung derita. Dipenjara sebagai proses hidup yang harus dijalani.

Namun Sang Pemberi kabar justru banyak berkiblat kepada Hitler. Tokoh yang paling kejam di abad Modern. Bukankah Hitler dengan bangga menjelaskan “bahwa jika kebohongan diulangi secara terus-menerus, maka pikiran manusia akan mempercayainya. Kebohongan pun diterimanya sebagai kebenaran. Pengulangan adalah metode hypnosis. Apa yang diulangi secara terus-menerus itu akan terukir pada dirimu. Inilah yang menyebabkan ilusi dalam hidup.

Lihatlah. Mulai dari issu bencana, tuduhan komunis, antek PKI, issu rush (penarikan uang besar-besaran). Bahkan semakin menggila dengan issu seperti selang cuci darah yang dipakai 40 x dan terakhir isu tuduhan 7 kontainer. Sungguh keji.

Padahal perangkat hukum sudah mengintai. Undang Undang nomor 11 tahun 2008 yang kemudian diperbarui UU No. 19 Tahun 2016 justru akan menangkap siapapun penyebar hoak. Entah kemudian terhadap Buni Yani, Jonru dan terakhir Ratna Sarumpaet.

Lalu mengapa masih ada ketololan masih mau memproduksi hoak. Atau kemudian menyebarkan hoax ? Sungguh. Sampai sekarang saya tidak mengerti.

Entah apa sesungguhnya yang ada didalam pikirannya. Membuat tidak nyaman negeri ini. Menyebarkan kabar bohong. Menyebarkan issu yang tidak bertanggungjawab.

Namun yang mengganggu nurani saya. Mengapa masih banyak percaya dengan hoak. Mengapa mereka dengan bangga menceritakan, mendiskusikan berita-berita sampah ?

Apakah ini yang dinamakan sebagai “Ilusi” atau “hypnosis” sebagaimana dikatakan oleh Hitler.

Mengapa manusia lebih percaya “kabar burung” ?. Mengapa manusia begitu tolol lebih percaya burung daripada kebenaran ?

Ah. Susah sekali merawat kewajaran. Menjaga nalar tetap jalan di zaman sekarang.

Dibutuhkan “energy besar” untuk merawat dan menjaga nalar agar tetap normal.