Max Weber
Pernyataan Ketua DPRD Kota Jambi Zulkifli Somad, SH yang menyatakan tidak sependapat “dengan pandangan yang menyebut upaya Pemkot mendongkrak PAD telah membebani rakyat dengan tameng Perda”.
Menurut Zulkifli dengan adanya Perda yang keberadaannya mengatur soal pendapatan daerah, maka Kota Jambi makin tertib (Jambi Ekspress, 16 Juli 2002).
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Ketua DPRD tersebut, menurut penulis ada dua pemikiran dasar yang menjadi titik perhatian kita.
Pertama tentang pendapat yang membantah bahwa PAD telah membebani rakyat. Dan yang kedua dengan adanya keberadaan Perda, maka Kota Jambi makin tertib.
Dari dua pendapat itu maka penulis akan membahasnya.
Yang pertama pendapat yang menyatakan yang menyatakan PAD tidak membebani rakyat. Artinya ketua DPRD Kota menyatakan tidak benar bahwa PAD membebani rakyat. Sebagai sebuah pernyataan politik menurut hemat penulis tidak tepat.
Pertama bahwa pernyataan itu adalah sikap dari birokrat tulen yang sehari-hari bertugas menjalankan roda pemerintahan birokrasi.
Maka pernyataan itu haruslah disampaikan oleh birokrat yang menjalankan tugas birokrasi. Dalam hal ini adalah Walikota Jambi dengan aparatur jajarannya.
Kedua. Porsi itu tidak etis disampaikan oleh ketua DPRD yang notabene mewakili rakyat didalam merumuskan kebijakan politiknya bersama pemerintah.
Ketiga. Ukuran apa yang digunakan oleh Ketua DPRD - yang “seharusnya mewakili rakyat” – yang menyatakan bahwa PAD tidak membebani rakyat. Apa ukurannya ?. Apakah ketua DPRD tidak mendengar (atau pura-pura) tidak mendengar protes yang disampaikan oleh berbagai kalangan.
Sebagai contoh bahwa PAD yang “mengeruk duit” rakyat melalui parkir menimbulkan reaksi yang beragam di dalam masyarakat. Publik sendiri tidak pernah dilibatkan dalam proses pembuatan perda parkir.
Baik itu parkir per-jam-jaman yang marak akhir-akhir ini, areal publik yang kemudian dijadikan arena parkir, pertanggungjawaban penggunaan pendapatan dari sektor Parkir, pelayanan yang diberikan terhadap pengguna parkir dan berbagai setumpuk problema yang berkaitan dengan parkir.
Publik tiba-tiba disodori karcis parkir di daerah tepi jalan sekalipun yang seharusnya merupakan areal publik menikmati pelayanan dari negara.
Atau publik harus membayar karcis memasuki kawasan umum yang kemudian dijadikan areal parkir tersebut.
Paradigma ketua DPRD Kota ini menurut penulis adalah eforia otonomi yang berpendapat bahwa PAD-lah yang menjadi titik sentral otonomi. Bahkan hakekat otonomi itu sendiri menjadi diabaikan.
Pelayanan terhadap publik dan pelibatan partisipasi publik didalam merumuskan peraturan yang menjadi perjuangan didalam era otonomi hanyalah issue politik dan lips servise kepada rakyat. Oleh karena itu gugatan penulis sendiri terhadap PAD yang tidak membebani rakyat sudah semestinya menimbulkan diskusi panjang. Sungguh ironis sekali pernyataan Ketua DPRD tersebut.
Namun dalam berbagai kesempatan, penulis sering memaparkan bahwa apapun yang disampaikan penulis, menurut penulis pernyataan Ketua DPRD itu sendiri merupakan paradigma birokrat dalam makna Pangreh Praja. Pamong selaku mengemban birokrat (dalam pemikiran feodalistis – sering diungkapkan bahwa Pamong juga merupakan titisan dari Tuhan) berhak mengambil “upeti” dari rakyatnya.
Lihat Tabel 1.
Tabel 1. Dinamika Birokrasi di Indonesia dari masa Ke masa
NO MASA KEBERPIHAKAN KETERANGAN
1 BIROKRASI KERAJAAN NUSANTARA
• Aktornya adalah abdi dalem
• Abdi dalem tidak melayani wong cilik yang menjadi rakyat kawulo-nya, tetapi sebaliknya wong cilik diharuskan melayani dan taat secara pasif terhadap abdi dalem
• Secara khusus menyelenggarakan pelayanan kepada raja dan keluarganya
• Abdi dalem memperoleh monopoli kelasnya (gelar, atribut, pangkat), dan ajaran kepatuhan kepada raja • Gejala ini dikenal sebagai sistem patrimonial.
Pola birokrasi kerajaan agraris ini tampaknya mempunyai pengaruh kuat ditiru oleh Pemerintah Orla dan Orba
2. BIROKRASI KOLONIAL BELANDA •
Aktornya adalah pangreh praja atau ambtenaar, priyayi keturunan bangsawan
• Birokrasi bentukan kolonial memiliki peran ganda (disatu sisi merupakan pelayan publik sebagai mediator dan disisi lain mengawasi, mengontrol dan mematai aktivitas masyarakat yang bersifat politik) • Belanda mewariskan beambtenstaat (alat negara /pegawai negara)
3 BIROKRASI ZAMAN JEPANG
• Pangreh Praja cenderung berpihak kepada Jepang dan bersaing dengan kelompok nasionalis dan Islam • Pemerintah Jepang mempertahan korp pangreh praja
4 BIROKRASI ZAMAN SOEKARNO
• Aktornya adalah pegawai negeri yang berpihak kepada partai induknya
• Tampak gejala politisasi birokrat oleh partai politik • Profesionalisme dan kinerja birokrasi tidak dapat berjalan baik
• Setiap departemen dikuasai oleh partai politik
5 BIROKRASI ZAMAN SOEHARTO
• Aktornya adalah para Menteri, pegawai negeri sipil yang terhimpun di Korpi
• Korpri cenderung berpihak kepada Golkar • Terjadi gejala Bureaucratic polity dan Birokratik patrimonial
6 BIROKRASI TRANSISI/TUNTUTAN REFORMASI
• Birokrasi yang profesional, netralitas politik/non partisan
• Adanya pemisahan antara jabatan politis dengan jabatan administratif. Tidak diperbolehkan jabatan rangkap sebagai anggota pengurus parpol.
• Ide agar sekjen dan irjen merupakan jabatan administratif bukan jabatan politis. • Ada gerakan yang menginginkan agar PNS bersikap netral
• Misi birokrasi adalah pelayanan terhadap publik non diskriminatif
• Ide agar semua pejabat politik di semua departemen bekerja sesuai platform
7 BIROKRASI GUSDUR - MEGAWATI
• Gusdur menerapkan prinsip debirokrasi pola Osborn dan Tedler (lihat pembubaran Depsos dan Deppen) • Birokrasi diorentasikan menjadi profesional
Sumber : Forum Keadilan, No. 45, 24 Februari 2002
dan diolah oleh Yayasan Keadilan Rakyat, 2002
Dari data tabel 1 maka ada yang harus kita rumuskan bersama. Bahwa birokrat menurut teori bertugas melayani kepentingan umum, Ia bersifat legal rasional, profesional, memiliki jenjang kewenangan, Pembagian kerja, tata kerja, dan sistem pengupahan yang berlandaskan peraturan.
Pendapat yang dikemukakan Max Weber ini ketika diterapkan di negara berkembang mengalami banyak hambatan. Sebab ia berbenturan dengan budaya politik tradisional yang sulit dilepaskan. Yang muncul kemudian adalah birokrasi patrimonial, yang ditandai menonjolnya sistem patron dan klien yang bersifat pribadi dan khas. Model birokrasi ini menimbulkan masalah seperti hubungan antara pegawai bawahan dan atas didasarkan atas pertukaran antara loyalitas politik serta sumber ekonomi. Model ini dikenal bureaucratic polity (birokrasi politik). Model ini dapat dilihat di negara seperti Thailand, Pakistan, Bangladesh, dan Brazil. Namun yang berbeda antara negara tersebut Indonesia menduduki peringkat terjelek kualitas birokrasi dengan skor 8,33. Bandingkan dengan Singapura yang mendapat prestasi kualitas birokrasi terbaik.
Begitu juga dengan negara Jepang.
Aparatur birokrasi pemerintah harus bersifat loyal kepada konstitusi dan konvensi.
Sebagai aparat pemerintah, birokrat tak akan memihak kepada pemerintah yang berkuasa, bila pemerintah itu mengalami kepercayaan di parlemen atau di tingkat publik.
Birokrat juga tak mudah diintimidasi oleh desakan politik dari kelompok kepentingan.
Kemudian pendapat kedua yang menyatakan bahwa “dengan adanya Perda maka kota Jambi makin tertib”. Penulis sendiri bingung tentang pernyataan tersebut. Perda apa yang membuat semakin tertib.
Dalam berbagai literatur penulis kesulitan mencari jejak yang mendukung pernyataan Ketua DPRD Kota Jambi tersebut. Apakah tidak sebaliknya justru dengan adanya Perda yang didalam pelaksanaannya melambangkan pemikiran akan peningkatan PAD semakin tidak tertib.
Sebagai contoh Perda Parkir yang sekarang ini marak diperdebatkan. Taruhlah Perda tersebut telah diatur dan disahkan.
Lantas apa bukti bahwa parkir akan semakin tertib ?. Justru areal parkir sekarang yang nyata-nyata telah memakan badan jalan didalam hak publik menikmati jalan umum terganggu. Perda tersebut memberikan tugas kepada instansi teknis untuk memenuhi pundi-pundi kas daerah dengan mengorbankan rakyat.
Lalu lintas menjadi sembrawut dan masyarakat harus menahan dongkol terhadap petugas parkir yang seenaknya mengatur arus lalu lintas. Apakah itu semakin tertib. Penulis sendiri tidak bisa menjawabnya.
Jadi menurut hemat penulis, kedua pendapat yang disampaikan oleh Ketua DPRD Kota Jambi tidaklah tepat dan harus dikoreksi ulang.
Sudah saatnya fungsi anggota parlemen dikembalikan pada perannya. Baik sebagai legislasi, budgettting dan kontrolling.
Apabila fungsi itu disadari maka pernyataan tersebut tidaklah mesti terjadi.