Jakarta, 1945. Suasana ibu kota yang baru merdeka masih dipenuhi dentuman meriam dan gema pekik "Merdeka atau Mati!". Namun, di sebuah ruangan yang sederhana, lima tokoh bangsa duduk berhadapan. Bukan meriam yang mereka siapkan, melainkan peluru kata-kata. Bukan penjajah yang mereka lawan, melainkan pandangan-pandangan mereka sendiri tentang bagaimana Indonesia yang baru lahir ini harus melangkah. Topik perdebatan mereka adalah tentang harga diri bangsa yang merdeka, tidak sudi tunduk pada asing, apalagi pada komprador–istilah yang mengacu pada antek-antek asing.
Soekarno: "Genta dan Gema Revolusi"
Bung Karno membuka polemik dengan tatapan mata yang tajam dan sorot mata yang berapi-api. Suaranya menggelegar, namun terkontrol, penuh dengan karisma seorang orator ulung.
"Saudara-saudara! Kita telah merebut kemerdekaan dengan cucuran darah dan air mata. Apakah kita akan mengorbankan harga diri bangsa ini hanya demi secuil bantuan dari asing? Tidak! Bangsa kita adalah bangsa yang mandiri, yang berdiri di atas kaki sendiri! Kita harus berani mengatakan 'tidak' kepada siapapun yang ingin mendikte kita. Kita harus berdikari!"
Bung Karno tak mau kompromi. Menurutnya, berunding dengan Belanda, apalagi menerima bantuan asing dengan syarat yang mengikat, sama saja kembali ke dalam cengkeraman penjajahan. Ia mengingatkan semua yang hadir, bahwa kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan yang tidak tergantung pada siapa pun, kecuali pada kekuatan diri sendiri.
Hatta: "Logika dan Realisme"
Di seberang Bung Karno, duduk seorang negarawan yang pendiam namun pemikirannya begitu cemerlang, Bung Hatta. Ia mendengarkan dengan seksama, sesekali merapikan kacamata bundarnya. Ketika tiba gilirannya, suaranya tenang, penuh dengan logika dan realisme.
"Bung Karno, perjuangan kita belum usai. Kita memang harus berdikari, tapi kita harus realistis. Diplomasi bukan berarti kita tunduk, melainkan cara kita untuk mendapatkan pengakuan dari dunia. Kita butuh amunisi, kita butuh pangan, kita butuh obat-obatan. Dan untuk mendapatkan itu, kita butuh bantuan. Bantuan itu tidak datang begitu saja. Kita harus pandai-pandai berunding, berdiplomasi, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar kemerdekaan kita. Kita bisa bergaul dengan bangsa lain, asal jangan sampai kehormatan kita tergadaikan."
Hatta mengingatkan bahwa menjaga harga diri bangsa tidak hanya dengan pekikan keras, tetapi juga dengan strategi yang matang. Ia ingin Indonesia dikenal sebagai bangsa yang bermartabat dan rasional, bukan sebagai bangsa yang gegabah.
Tan Malaka: "Massa Aksi dan Perjuangan Tanpa Kompromi"
Tiba-tiba, dari sudut ruangan, suara lantang Tan Malaka memotong. Dengan tatapan mata yang tajam dan pandangan yang tak gentar, ia langsung menyentuh inti permasalahan.
"Tuan-tuan! Kenapa kita masih berdebat? Kita sudah tahu siapa musuh kita! Imperialisme adalah musuh kita yang sejati! Mau itu imperialisme Belanda, Inggris, atau Amerika, semuanya sama saja!"
"Kita tidak butuh bantuan mereka! Kita hanya butuh massa aksi, perjuangan tanpa kompromi! Biarkan rakyat yang menjadi tulang punggung revolusi ini! Rakyat tidak butuh perundingan yang bertele-tele, rakyat butuh kemerdekaan seutuhnya! Perjuangan kita adalah perjuangan kelas, antara rakyat yang tertindas melawan kaum penjajah dan antek-anteknya!"
Tan Malaka melihat setiap bentuk perundingan sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat. Baginya, harga diri bangsa adalah ketika rakyat berkuasa penuh atas nasibnya sendiri, tanpa campur tangan dari pihak asing.
Sutan Syahrir: "Sosialisme dan Perjuangan Revolusi"
Syahrir, dengan tenang namun penuh keyakinan, menanggapi pernyataan Tan Malaka. Sebagai tokoh yang memiliki pandangan sosialisme, ia melihat masalah ini dari sudut pandang yang berbeda.
"Bung Tan, kita tidak bisa hanya mengandalkan massa aksi. Revolusi kita adalah revolusi kemanusiaan, revolusi intelektual. Kita harus menempatkan perjuangan kita dalam konteks dunia. Kita harus menunjukkan kepada dunia, bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beradab dan berjuang untuk kemerdekaan yang sejati, bukan hanya kemerdekaan dari penjajah, tetapi juga kemerdekaan dari kemiskinan dan kebodohan."
"Kita memang harus berdiplomasi dengan dunia internasional, tapi bukan untuk menjadi komprador. Kita harus berdiplomasi untuk menunjukkan bahwa cita-cita sosialisme kita adalah cita-cita kemanusiaan yang universal. Kemerdekaan kita tidak hanya untuk kita, tapi untuk seluruh umat manusia yang tertindas. Harga diri bangsa kita adalah ketika kita bisa berdiri sama tinggi dengan bangsa lain dalam sebuah peradaban yang setara."
Syahrir berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia harus selaras dengan semangat sosialisme dan kemanusiaan yang universal.
Agus Salim: "Diplomasi Lisan dan Akhlak"
Sebagai tokoh paling senior, Agus Salim memberikan pandangannya yang bijaksana.
"Saudara-saudara, mari kita tenangkan pikiran kita. Kita tidak boleh terjebak dalam emosi. Perjuangan kita adalah perjuangan yang dilandasi akhlak. Kita harus berdiplomasi dengan bahasa yang santun, tetapi tegas."
"Harga diri bangsa kita bukan hanya soal kekuasaan, melainkan juga soal martabat dan akhlak yang luhur. Kita harus menjadi bangsa yang berani, tetapi juga bijaksana. Kita bergaul dengan dunia, tetapi jangan sampai kehilangan identitas kita sebagai bangsa yang berbudaya. Kita harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang terhormat."
Salim, dengan pandangannya yang diplomatis namun penuh nilai-nilai Islam, mencoba menengahi perdebatan. Ia menekankan bahwa perjuangan merebut kemerdekaan tidak boleh mengorbankan moralitas.
Perdebatan itu berlanjut hingga malam, tanpa ada yang mau mengalah. Namun, satu hal yang jelas: meski berbeda pandangan, mereka semua memiliki satu tujuan yang sama, yaitu menjaga harga diri bangsa yang baru merdeka. Mereka adalah lima bapak bangsa yang melahirkan Indonesia, dengan segala perbedaan pandangannya, namun disatukan oleh tekad yang sama: Indonesia Merdeka!