05 Juli 2002

opini musri nauli : Teleconference dan Pemeriksaan saksi di Pengadilan


Pada hari Selasa yang lalu, dunia hukum “di-heboh-kan” dengan diselenggarakan pemeriksaan saksi Presiden B. J. Habibie melalui teknologi konferensi jarak jauh (teleconference) dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Kantor Konsulat Jenderal (Konjen) RI di Hamburg, Jerman. 
Pemeriksaan dengan menggunakan teknologi yang menghubungkan ribuan kilometer ini menimbulkan perdebatan di kalangan ahli hukum. 

Lagi-lagi dunia hukum menimbulkan kegegeran dan memancing reaksi pro dan kontra tentang keabsahan pemeriksaan tersebut. 

Didalam KUHAP sendiri terutama pasal 162 KUHAP “Jika saksi sesudah memberikan keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikan itu dibacakan”. 

Maka berdasarkan ketentuan pasal 162 KUHAP ini apabila diperhatikan kepada panggilan terhadap Presiden Habibie tidak terpenuhi. 

Presiden Habibie sendiri masih hidup bertempat tinggal di Jakarta dan alasan yang digunakan bahwa Presiden Habibie tidak bisa meninggal Jerman karena sakit istrinya. 

Apabila kita perhatikan ketentuan pasal 162 KUHAP tersebut, maka terhadap Presiden Habibie tidak memenuhi ketentuan syarat-syarat sebagaimana diatur didalam Pasal 162 KUHAP sehingga Berita Acara Pemeriksaan di tingkat Penyidik harus dibacakan. Artinya secara hukum Habibie harus datang ke Jakarta dan memberikan keterangan di muka persidangan. 

Alasan inilah yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Perkara ini. Namun Hakim ternyata berpendapat lain. 

Dengan alasan kemanusiaan Presiden Habibie tidak dapat meninggalkan Jerman karena mendampingi istrinya yang sakit, dan tentunya tidak menghilangkan prinsip hukum pidana yang bertujuan mencari kebenaran materiil, artinya kebenaran yang sebenar-benarnya, maka langkah Majelis Hakim tersebut luar biasa dan melakukan terobosan yang baru didalam praktek hukum acara pidana di Indonesia. 

Langkah ini kemudian menimbulkan reaksi yang beragam di tengah masyararakat. Harkrisnatuti dan Ahmad Ali menolak langkah tersebut dengan alasan tidak mempunyai dasar hukum. 

Bandingkan dengan Yusril Ihza Mahendra yang menyambut gembira langkah ini dan diharapkan dapat menjadi yurisprudensi terhadap pemeriksaan saksi (Tempo, 03 Juli 2002). 

Terlepas pro dan kontra pelaksanaan teleconference ini, ada hal yang menarik yang dilakukan oleh Majelis Hakim. Pertama bahwa Majelis hakim memandang perlu bahwa perkembangan teknologi harus memberikan kontribusi nyata terhadap perkembangan hukum yang jauh tertinggal dan terseok-seok langkahnya. 

Majelis hakim menyadari bahwa hukum yang tertinggal dari percepatan teknologi ini haruslah dilakukan dengan melakukan terobosan-terobosan. 

Kedua bahwa majelis hakim sendiri menerapkan tujuan hukum pidana yang mencari kebenaran materiil, kebenaran yang sebenarn-benarnya. 

Ketiga bahwa pelaksanaan teleconference ini tidak diatur didalam KUHAP. Majelis hakim berpendapat bahwa apabila tidak diatur didalam KUHAP maka pelaksanaan ini tidak dilarang. 

Keempat. Majelis Hakim menerapkan peradilan yang cepat, mudah walaupun berbiaya mahal. 

Sehingga publik dapat mengontrol peradilan kasus ini dan dapat memberikan pemikiran nyata terhadap perkembangan hukum. 

 Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa percepatan teknologi di zaman globalisasi sekarang ini luar biasa. Hampir praktis tidak ada batas antara negara didalam berkomunikasi. 

Peristiwa yang terjadi di Eropa dalam hitungan detik seluruh dunia mengetahuinya. Maka salah satu kegagalan diplomasi Indonesia dalam memainkan issu Timor-Timur adalah pada diplomat kurang mampu menggunakan jalur-jalur komunikasi dan kampanye melalui teknologi. 

Begitu juga perlakuan TNI ketika zaman Soeharto. Dunia mengetahui bagaimana kejadian perebutan Kantor PDI tanggal 27 Juli 1996. Dunia juga mengetahui bagaimana mahasiswa Indonesia berhasil menduduki gedung parlemen dan memaksa Soeharto turun. 

Gerakan yang dilakukan di Indonesia ternyata mampu mempengaruhi gerakan mahasiswa di berbagai negara lainnya. 

Salah satunya negara jiran kita Malaysia yang kemudian memaksa Mahathir Muhammad melakukan pekerjaan lebih serius didalam mengamankan kekuasaannya. 

Dalam berbagai diskusi penulis dengan teman-teman yang memperhatikan perkembangan teknologi, Indonesia ketinggalan percepatan teknologinya hampir sepuluh tahun. Sedangkan Jambi sendiri ketinggalannya hampir lima tahun. 

Praktis hampir 15 tahun Jambi ketinggalan dari percepatan teknologi. Ukuran yang digunakan ada berbagai indikator. 

Baik jumlah oplah media cetak, media elektronik, penggunaan komputer, pemakaian internet, dan sebagainya. 

Sebagai catatan kecil, Jumlah oplah media cetak dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia maka perbandingannya adalah 1 : 7. Artinya satu media cetak dibaca oleh 7 orang penduduk Indonesia.

 Bandingkan dengan negara Jepang 4 : 1. Artinya satu penduduk Jepang membaca 4 buah media cetak. Belum lagi penggunaan komputer. Sebuah alat yang sebenarnya tidaklah lagi dapat dikatakan modern. 

 Lihatlah di berbagai instansi. Terutama aparatur penegak hukum. Baik itu di Kepolisian, Jaksa dan Pengadilan. 

Di Kantor Kepolisian, terutama di tingkat Kota, sistem pengoperasiannya masih menggunakan sistem word star. 

Bandingkan dengan kecepatan sekarang yang telah menggunakan Windows 2000 dengan kemampuan komputer Pentium IV. 

Jangan ditanya berapa jauh ketinggalan sistem tersebut. Itu baru yang kita bicarakan masih kantor Kepolisian kota. Bagaimana tingkat Polsek atau Polres yang jauh dari pusat kota. Wah. 

Penulis sendiri tidak dapat membayangkannya. Begitu juga di Pengadilan tidak jauh berbeda. 

Artinya penulis dapat menyimpulkan bahwa Indonesia sudah sangat jauh ketinggalan mengikuti perkembangan teknologi. 

Namun yang menarik perhatian penulis, Majelis Hakim melakukan terobosan yang keluar dari keterpurukan pengetahuan teknologi. 

Jejak yang diikuti oleh Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini sebenarnya mengikuti langkah serupa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

Majelis hakim Jakarta Pusat ternyata mengakui data elektronik sebagai alat bukti dalam perkara gugatan Microsoft Corp, Perusahaan software milik Bill Gates (Forum Keadilan, No. 17. 29 Juli 2001). 

Sidang gugatan terhadap lima toko komputer milik HJ Computer, Altec Computer, HM Computer dan Panca Putra Computer berlangsung Juli 2001. Toko komputer tersebut dituduh membajak program Komputer Microsoft Office 2000 dan Microsoft Windows dengan cara menginstal program tersebut ke komputer konsumen. 

Komputer yang telah diisi program hasil bajakan itu dijual seharga Rp 5 juta per unit. Padahal harga resmi sebuah komputer yang berisi program Microsoft asli sekitar Rp 12 juta. Microsoft mengakui mengalami kerugian sekitar US$ 9,3 juta atau sekitar Rp 103 milyar. 

Tentu saja, apa yang dilakukan oleh Microsoft cukup menarik jika dilihat dari sistem pembuktian di persidangan. 

Menurut Hafzan, pihaknya mengajuakn database komputer sebagai alat bukti karena didalamnya terdapat data dokumen dan sertifikat yang akan memperlihatkan informasi tentang keaslian perangkat lunak didalamnya. 

Database komputer akan menyajikan informasi tentang sipa sebenarnya pemilik software tersebut. 

Terlepas dari gugatan Microsoft tersebut, pemakain data elektronik sebagai alat bukti menarik untuk dicermati. 

Hal ini jelas merupakan hal baru yang menyangkut bidang hukum di Indonesia. Masalahnya secara hukum penggunaan data elektronik sebagai alat bukti tidak pernah diatur, baik didalam pasal 184 KUHAP maupun 164 HIR. 

Berkaitan dengan teknologi mutakhir sebagai alat bukti, sejauh ini Mahkamah Agung melalui fatwanya baru mengakui mikrofilm atau microfiche sebagai alat bukti dalam perkara pidana. 

 Penafsiran hakim atas kasus atau barang bukti serta alat bukti yang baru dikenal dan belum ada peraturan hukumnya itu bisa dilakukan dengan cara dianalogikan. Misalnya analogi hakim terhadap kasus pencurian listrik. 

Atau dengan penafsiran ekstenstif yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata dalam peraturan itu. 

Jika dibandingkan dengan aturan beracara pada Tribunal Internasional, seperti pada aturan mengenai prosedur dan bukti-bukti untuk tribunal Yugoslavia, penggunaan KUHAP sebagai hukum acara untuk pengadilan HAM di Indonesia belumlah memadai. 

Hal yang selayaknya diatur lebih rinci dan terdapat dalam UU adalah bagaimana memperlakukan saksi di pengadilan, sehingga dia benar-benar terlindungi keselamatannya serta bagaimana memperlakukan keterangan saksi yang tidak bisa hadir di pengadilan. 

Dalam aturan tribunal internasional hal-hal seperti itu diatur sangat rinci, misalnya bagaimana keterangan saksi bisa tetap diperoleh meski saksi secara fisik tidak hadir di pengadilan, yaitu dengan hanya menghadirkan suara saksi di pengadilan atau melalui video conference. 

Untuk melindungi saksi ini, bila perlu juga persidangan dilakukan secara tertutup yang dalam KUHAP pasal 153 ayat (3) persidangan tertutup itu hanya untuk perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak 

Mari kita tungguh langkah-langkah hakim dalam melakukan terobosan-terorosan hukum. 

Viva Hakim Jakarta Selatan.