28 Desember 2002

opini musri nauli : Potret Kampanye Walhi Jambi


Potret Kampanye Walhi Jambi 
DISKUSI REFLEKSI AKHIR TAHUN 2002 

Bahan Bacaan Sebagai Potret Kampanye Walhi Jambi 
 DESTRUKSI LINGKUNGAN MELESAT LEBIH JAUH DARIPADA KESADARAN KITA AKAN LINGKUNGAN LESTARI DAN BERKELANJUTAN 

Walhi Jambi sepanjang tahun 2002 aktif melakukan Diskusi Multi Pihak dengan main-stream persoalan Perkebunan Kelapa Sawit Skala Besar. 

Diskusi ini tidak hanya dimaksudkan untuk membangun sebuah pemahaman bersama berbasiskan pengalaman subyektif-obyektif para pihak, tetapi juga untuk mempetakan persoalan perkebunan kelapa sawit di Propinsi Jambi sebagai bahan, yang secara relatif, diharapkan dapat menjawab persoalan-persoalan dengan spectrum kepentingan banyak pihak. 

Kertas ini berisi resume rangkaian proses Diskusi Multi Pihak tersebut. 

Paling tidak akan menjadi bahan refrensi bagi para pihak yang pernah terlibat untuk menjadi bahan perekam ulang ataupun, bahan renungan bagi kita semua tentang kompleksitas persoalan Perkebunan Kelapa Sawit Di Jambi : ternyata persoalan Sawit bukan hanya persoalan Menanamnya saja, tapi lebih sebagai Bias dari Paradigma Pembangunan. 
SAATNYA RAKYAT MENJADI PELAKU UTAMA 

Salah satu strategi pembangunan pemerintah untuk menjawab krisis ekonomi, dengan meningkatkan penyerapan tenaga kerja serta memanfaatkan sumber daya alam tanpa tergantung komponen impor yang dapat meningkatkan devisa adalah dengan mengembangkan sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit, karena produk CPO merupakan salah satu industri yang efisien dalam memanfaatkan sumber daya domestik. 

Bahkan dengan menjiwai Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004, ditetapkan oleh pemerintah visi dan misi pembangunan perkebunan, yang meletakkan kebijakan dasar pembangunan perkebunan dalam uraian kata, “memberdayakan di hulu dan memperkuat di hilir guna menciptakan peningkatan nilai tambah dan daya saing usaha perkebunan, dengan partisipasi penuh dari masyarakat perkebunan serta penerapan organisasi modern yang berlandaskan kepada penerapan ilmu pengatahuan dan teknologi”. 

Pada diskusi rutin yang dilakukan oleh Walhi Jambi didukung oleh DFID - UK (Department For International Development - United Kingdom) terdapat banyak rumusan yang didapatkan dari berbagai pihak, baik itu pemerintah, pengusaha, petani perkebunan dan juga petani yang hidup serta harus menerima konsekuensi dari pembangunan kelapa sawit. 

Selain itu, juga hadir beberapa NGO yang memang berkonsentrasi terhadap persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit. Pada diskusi pertama yang diadakan pada tgl 8 Mei 2002 di Hotel Mega Indah dihadiri oleh Kadis Perkebunan Propinsi Jambi dan Direktur Yasayan Keadilan Rakyat sebagai nara sumber. 

Ir. Muhammad Aman pada diskusi pertama mengatakan bahwa konsentrasi pengembangan perkebunan kelapa sawit kedepan adalah menempatkan rakyat sebagai pelaku utama. 

Sebab, kebijakan ini adalah salah satu strategi pemerintah dalam menjawab bencana krisis ekonomi yang tengah melanda negara Indonesia. Dan juga diharapkan dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit dapat menyerap tenaga kerja sehingga dapat mengatasi jumlah pengangguran. 

Selain Pak Aman, panggilan akrab Kadis Perkebunan, juga hadir sebagai pembicara kedua, Musri Nauli dari Yayasan Keadilan Rakyat (YKR). 

Menurut Nauli, Pemerintah harus melakukan transparansi dalam pengembangan perkebunan besar kelapa sawit, “Selama ini, tidak ada sanksi yang tegas dari pemerintah daerah kepada pengusaha-pengusaha perkebunan yang tidak konsisten menjalankan izin operasional mereka”, papar Nauli, hal ini pada gilirannya mengakibatkan lahan-lahan terlantar, karena pengusaha biasanya hanya mengambil kayunya saja di lahan konversi. 

Beberapa gagasan muncul dalam forum diskusi tersebut, bahkan diantara pihak LSM dan pemerintah terdapat kesamaan dalam memandang strategi pengembangan perkebunan sawit skala besar kedepan, diantaranya dengan menitikberatkan pembangunan infrastruktur perkebunan, semisal jalan karena ini berkaitan dengan kualitas Tandan Buah Segar (TBS), juga melakukan penggalian mendalam tentang pembangunan industri hilir, seperti mengembangkan industri turunan hasil olahan sawit. 

“Oleh karena itu, Pemda, dalam hal ini Gubernur berusaha keras agar dapat dibangun pelabuhan, agar mempermudah proses ekspor produk-produk sawit”, kata Pak Aman. 

Tapi yang menjadi catatan kemudian adalah, bahwa rakyat adalah pelaku utama sehingga terdapat posisi yang seimbang antara pengusaha dan pemerintah. 

Dan kebijakan yang berpihak kepada rakyat yang kemudian menjadi penentu dari terbukanya ruang partisipasi rakyat dalam pengelolaan perkebunan. 

KEBIJAKAN HARUS MEMBERIKAN PELUANG PARTISIPASI BAGI RAKYAT 

Pada diskusi selanjutnya 20 Mei 2002, forum diskusi tersebut menghadirkan nara Sumber dari Bapemproda dan Walhi. 

Dalam diskusi tersebut dikupas bagaimana strategi kebijakan perkebunan besar kelapa sawit dan strategi modal internasional dalam perkebunan kelapa sawit. 

Untuk kasus Jambi ditemukan bahwa 45 % luas perkebunan, dikuasai oleh swasta. Dan terlihat jelas dominasi swasta dalam sektor ini, yang kemudian dipermudah dengan kebijakan negara dalam pemberian izin dan penguasaan lahan. 

Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah besarnya dominasi luar negeri dalam perkebunan besar kelapa sawit, misalnya dalam hal investasi, banyak sekali penanam modal asing yang menanamkan modalnya tapi sedikit sekali masyarakat adat yang bisa mencicipi hasilnya. 

Dominasi dan monopoli juga ditandai dengan adanya pemain-pemain lama dalam hal ini Raja Garuda Mas, Sinar Mas, Salim yang menjadi pemain utama dalam perkebunan besar kelapa sawit, ada kebijakan yang harus dirubah baik itu ditingkat investor maupun ditingkat pemangku kebijakan sehingga kepentingan rakyat dan masyarakat adat juga turut diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan, terutama dalam kebijakan perkebunan skala besar. 

OTONOMI DAERAH JANGAN MENJADI ALAT EKSPLOITASI HUTAN UNTUK MEMBANGUN KEBUN SAWIT 

Pada diskusi berikutnya pada tgl 10 Juni 2002, lebih memandang kepada Otonomi Daerah dan potensinya dalam eksploitasi Sumber daya Alam. 

Otonomi selain dipandang sebagai wadah untuk PAD, ternyata juga mengandung potensi penghancuran bagi Sumber Daya Alam. 

Kelapa sawit menjadi produk primadona diberbagai daerah, khususnya daerah Jambi, keseriusan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di Propinsi Jambi, selain dari kebijakan pemerintah pusat melalui Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 107/Kpts-II/1999 (No. 645/Kpts-II/1999 sekarang) juga didorong dengan konsep otonomi daerah yang memberikan keleluasaan bagi daerah untuk memanfaatkan dan mencari sumber penghasilan untuk pembangunan didaerah, sehingga konsep otonomi menjadi begitu penting dan bermakna dimata pemerintah daerah. 

Pengelolaan sumber daya alam secara sentralisasi telah membuat pemerintah merasakan bebas mengelola dan mengekspolitasi SDA ketika konsep desentralisasi didengungkan. 

“Sebenarnya konsep otonomi daerah bukanlah untuk mengeksploitasi SDA secara besar-besaran, tapi justru adalah bagaimana meningkatkan kreatifitas pemerintah daerah dalam mengelola SDA dan lingkungan”, ungkap Sudirman, salah satu nara sumber dalam Diskusi Dwi Mingguan yang dilaksanakan di Hotel Mega Indah 10 Juni 2002 dengan tema “Otonomi Daerah dan Relevansinya dengan Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit”. 

Misalnya kebijakan pemerintah dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit, sebenarnya tidak lagi relevan dengan kebutuhan masyarakat di Jambi, yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana mengembangkan tempat pengelolaan hasil (industri hilir), mengingat luasnya perkebunan kelapa sawit dipropinsi Jambi, sambung Sudirman yang juga sekretaris PSHK-ODA. 

Menurut Rudi Syaff, Direktur Warsi, menyatakan bahwa banyak sekali persoalan dalam perkebunan kelapa sawit, selain persoalan konflik sosial juga persoalan kerusakan hutan, akibat konversi hutan menjadi kebun sawit. 

Dan persoalan memuncak ketika perusahaan yang memiliki izin kebun tapi tidak merealisasikan kecuali hanya mengambil kayunya saja. Izin perkebunan yang dikeluarkan semuanya melakukan konversi terhadap hutan alam. 

Menurut Rudi lagi, bahwa izin konversi hutan menjadi kebun harus dihentikan karena akan mengancam keberadaan hutan di Jambi, dan pengembangan perkebunan kelapa sawit harus melihat kondisi daerah dan kebutuhan masyarakat, tidak memaksakan kelapa sawit menjadi penghasilan utama, berikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih. 

 Otonomi daerah bukanlah untuk memeras rakyat dengan peraturan-peraturan yang sebenarnya tidak diketahui oleh masyarakat. 

Otonomi daerah adalah partisipasi publik, kreatifitas pemerintah, serta bukan ajang pencarian PAD sebesar-besarya sehingga mengorbankan masyarakat dan lingkungan. SAWIT TIDAK MENJADI JAMINAN HIDUP RAKYAT Perkebunan kelapa sawit adalah jalan lain bagi pemiskinan masyarakat adat/lokal. 

Implikasi strategi PAD tidaklah menyentuh masyarakat lokal karena memang PAD tidak untuk dinikmati oleh masyarakat lokal, dan hanya dinikmati oleh sebagian pengusaha dan pemerintah. 

Kita dapat melihat dalam realita bahwa kemiskinan sangat kental sekali dengan masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit, walaupun masyarakat lokal memiliki kebun sawit, tapi tetap saja mereka tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dihadapan pabrik dalam menjual TBS. Karena TBS hanya akan dikatakan segar jika masih dalam 8 jam sejak panen, lebih dari itu buah sawit hanya menjadi onggokan sampah yang tak ada gunanya lagi. 

Demikian paparan Eddy HS, Direktur Yayasan Gita Buana dalam diskusi pada tgl 1 Juli 2002. 

Selain itu hadir pula Bapak Zulkifli Alamsyah dari BAPPEDA Prop. Jambi. Dalam diskusi ini muncul pernyataan dari Bapak Zulkifli dan Eddy, bahwa yang paling ideal bagi masyarakat adalah memberikan ekonomi alternatif bagi masyarakat yang memang bernilai ekonomis dan memberikan konstribusi yang jelas bagi masyarakat serta ramah lingkungan, dengan tetap membudayakan potensi-potensi lokal seperti karet, dan tanaman masyarakat lokal lainnya, dengan tidak melupakan untuk tetap meberdayakan masyarakat lokal pengguna hutan dengan cara alternatif seperti pola Community Forestry, dan mungkin ini salah satu jalan untuk meminimalisir konflik-konflik sosial yang terjadi. 

Pemerintah serta elemen-elemen masyarakat, baik itu NGO di Jambi, punya tugas penting untuk itu. 

SAWIT MELAKUKAN PENYINGKIRAN TERHADAP HAK MASYARAKAT ADAT 

Pengingkaran terhadap hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam telah terjadi ketika pemberlakuakn UU No 5/79 tentang pemerintahan desa. Sawit, yang nota bene adalah salah satu produk modern, yang menurut pemerintah adalah salah satu alternatif yang mampu menjawab persoalan kemiskinan, ternyata tidak memberikan konstribusi produktif dalam meningkatkan taraf kehidupan rakyat, malah membuat rakyat dan masyarakat adat semakin tersingkir dan bahkan mereka tidak memiliki hak atas SDA yang secara turun temurun telah dikelola dengan kearifan sendiri. 

Penyingkiran masyarakat adat ditandai dengan banyaknya tindakan refresif dari negara melalui aparatnya, dan juga tindakan oppressif pemerintah yang menafikan keberadaan masyarakat adat. 

Pada diskusi 10 Juli 2002 ini membawa kita melihat bahwa degradasi adat beriringan dengan degradasi SDA. 

Ketika pemerintah mengeksloitasi SDA, maka sama halnya pemerintah juga turut menghancurkan masyarakat adat, karena keterikatan keduanya sangat erat. Jadi tidak ada istilah bahwa perkebunan sawit skala besar turut meningkatkan hidup masyarakat adat. karena jelas bahwa perkebunan sawit skala besar adalah salah satu bentuk ekspoitasi SDA. 

Pada diskusi 22 Juli 2002 dengan tegas Datok Zein, nara sumber dari Aman menyatakan bahwa menolak pembangunan perkebunan kelapa sawit dari pemodal mana saja, karena, kehadiran perkebunan kelapa sawit tersebut tidak mensejahterakan masyarakat adat dan cenderung juga turut mendestruksi mereka sebagai buruh. 

“Selama ada kebun sawit, tidak ada yang aman di Jambi ini, masyarakat saling berebut SDA, berebut minta jadi buruh dikebun, konflik berkepanjangan. Sawit membuat kita miskin," ungkap Datok Zein, sesepuh Aman di Jambi. 

Sedangkan Fahruddin Saudagar, budayawan Jambi menuntut dikembalikannya pengelolaan SDA pada marga, karena sejak dahulu SDA terpelihara karena dalam pengawasan marga, “Kini, ketika negara mengambil alih semuanya, maka terjadilah kerusakan hutan”. 

KEMBALIKAN PENGELOLAAN SDA KEPADA MASYARAKAT ADAT 

Masyarakat adat adalah masyarakat yang punya keterikatan dengan SDA, karena memang pembentukan adat adalah karena faktor SDA. 

Kenyataan ini membuat rentannya masyarakat adat terhadap persoalan SDA, karena memang ketidak adanya pengakuan oleh pemerintah, karena tidak adanya kebijakan yang memihak kepada hak masyarakat adat. 

Hak masyarakat adat kembali dikupas lebih jauh pada diskusi yang diadakan oleh Walhi diHotel Mega Indah kemaren. 

Dengan tema : Hak Tenurial Adat Sebagai Langkah Pemberdayaan Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. 

Masyarakat adat sebenarnya telah diakui oleh hukum International, ini tercantum dalam hak-hak masyarakat adat untuk pengelolaan hutan dalam Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 disebutkan bahwa diakui hak-hak kepemilikan atas tanah yang secara tradisional telah mereka diami dan mereka akui, masyarakat adat dilindungi haknya dalam pengelolaan, pemanfaatan, dan pelestarian SDA. 

Selain itu juga diakui secara legalis formal di UU Nomor 10/1992 tentang pekembangan Kependudukan dan Keluarga Sejahtera. 

“DiJambi terjadi penyingkiran hak-hak adat dalam pengelolaan SDA, karena hadirnya perkebunan sawit, transmigrasi, HTI, HPH. Produk modernisasi yang dipaksakan kepada masyarakat adat untuk menerimanya, walau sebenarnya masyarakat adat itu sendiri tidak mengerti”, demikian ungkap H. Prof. Muntholib, Guru Besar IAIN Jambi. 

Sedangkan menurut Rivani aktivis Walhi Jambi, “Bahwa penyingkiran hak masyarakat adat dalam pengelolaan SDA adalah karena sesat fikir dan sesat laku rezim SDA yang memandang SDA dari segi ekonomis. 

Sesat fikir dan sesat laku rezim SDA terlihat dari munculnya kemudahan pembangunan kelapa sawit skala besar, yang hanya dimiliki oleh puluhan orang saja yang akhirnya ternyata memiskinkan ribuan orang rakyat. 

Terlihat dari luasan perkebunan kelapa sawit swasta dan negara (141.578 Ha) sedangkan rakyat (160.301 Ha) dan diperebutkan oleh ribuan orang. Inilah yang saya katakan terjadi sesat fikir dan sesat laku oleh rezim SDA”. 

“Kami sudah kehilangan hak mengelola hutan dan lahan, ini karena tidak adanya kejelasan pada kami tentang hak-hak kami, sedangkan kami sudah memiliki lahan dan hutan adat, yang sudah kami kelola secara adat, tapi sekarang kami tidak memilikinya lagi, karena sudah diambil oleh PT KDA, salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kami hanya ingin ada pengakuan dari pemerintah, tentang hak-hak kami”, ujar Hasanuddin, pembicara dari masyarakat Lidung-Sarolangun. 

Pada diskusi ini terjadi perdebatan yang menarik, selain peserta yang hadir dari multi pihak : pemerintah,pengusaha, NGO, perguruan tinggi, masyarakat, ternyata hadir juga Pak Gatot, Kepala Dinas kehutanan. 

Dan ini menunjukkan bahwa ada kepedulian yang tinggi terhadap persoalan-persoalan yang muncul di sekitar masyarakat adat diJambi. APENDIX : DESTRUKSI vs KESADARAN 

Dari berbagai diskusi yang dilakukan terdapat beberapa persamaan persepsi tentang “kejahatan” yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit skala besar, baik itu kejahatan terhadap lingkungan dan sosial. 

Dan juga terdapat persamaan fikiran untuk kembali mengubah situasi yang ada dengan mencoba mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, sebagai langkah awal. 

Melalui dialog dan refleksi 2002 ini kami mengetuk hati semua pihak, bahwa ternyata kita tidak perlukan kesepakatan-kesepakatan tanpa aksi, semakin banyak kesepakatan yang dibuat akan semakin banyak pula kesepakatan lain yang akan menutupi kesepakatan awal. 

Seperti kesepekatan tentang perlunya mengikut sertakan masyarakat adat dalam kebijakan pengelolaan SDA. 

Tapi apa yang terjadi? Ternyata tetap saja ada kesepakatan lain yang berusaha merubah fikiran kita. 

RUU Perkebunan yang sempat membuat kita “klimpungan” dipenghujung tahun ini, menjadi bahan refleksi menarik, betapa masih compang-campingnya negara dan pasar memandang masalah perkebunan. 

Dan, secara logis, membuat kita sadar mengapa perkebunan tetap eksis melakukan destruksi lingkungan dan sosial. 

 Alhirnya, apa yang akan kita lakukan? Ketika kerusakan alam berlari kencang, diselingi tepukan semangat orang-orang rakus, sementara kesadaran akan lingkungan lestari dan upaya membuka ruang partisipasi publik makin tertinggal jauh? Berdiam atau Bergerak?! 

Demi Rakyat dan Lingkungan Lestari Telanaipura-Jambi, 28 Desember 2002 “sebenarnya di mana-mana di dunia, kantong-kantong perlawanan terhadap kelakukan buruk modernitas sedang tumbuh” (Jean Chesneaux) http://groups.yahoo.com/group/infosawit/message/369