23 Januari 2003

PLN YANG UTANG - PELANGGAN YANG HARUS BAYAR.




Tarif Dasar Listrik (baca TDL) telah naik. 
Hampir seluruh media massa mencantumkan judulnya secara headline. 
Perhatian publik terhadap kenaikan TDL sudah melengkapi kenaikan sector-sektor publik lainnya seperti BBM, Telepon dan sebagainya. 

 Kenaikan TDL tersebut memancing reaksi publik yang luar biasa. Publik yang masih menghitung belanja bulanannya akibat kenaikan pada pertengahan tahun 2001 haruslah “dipaksa” untuk menerima kenaikan TDL. 

Kenaikan TDL oleh PLN ada dua patokan pokok yang dipakai. Pertama tingkat kerugian PLN yang pada tahun 2002 ini dihitung akan mencapai Rp. 11 Trilyun. Kedua target peningkatan pendapatan PLN sebesar Rp 16 % atau senilai Rp 5,4 trilyun untuk menutupi kerugian tersebut. (Zaim Saidi, Tarif Dasar Listrik tidak layak Naik, Tempo, 11 Januari 2002). Dengan informasi sepotong inilah PLN menjelaskan kepada masyarakat tentang formula kenaikan TDL. Kenaikan presentase rata-rata TDL menurut Direktur Utama PLN Eddie Widiono hanya 6%. (Kompas, 4 Januari 2002) 

 Tentunya ditambah bumbu-bumbu kedalamnya seperti pengurangan subsidi dan beban APBN. 

Bahkan dinyatakan bahwa kenaikan TDL 2002 untuk menjaga pasokan listrik. Pendeknya kalau TDL tidak naik, maka PLN akan bangkrut. Pembahasan ini akan penulis uraikan berdasarkan pemikiran rasional. 

 Padahal menurut Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), angka itu dianggap menipu publik. Dalam siaran Pers PIRAC yang ditanda tangani Ketua Pelaksana harian PIRAC, Zaim Saidi disebutkan bahwa PLN tidak memberikan informasi yang sesungguhnya sehingga masyarakat memandang kenaikan TDL relatif sangat kecil. 

Padahal pelanggan rumah tangga bisa merasakan kenikan 12% - 71%. Misalnya bahwa untuk golongan rumah tangga pemakaian daya 450 volt ampere (R-I/450 VA) mengalami kenaikan 71%, R-I/900 VA kenaikan 52%, R-I/1.300 VA mengalami kenaikan 33,9%, R-I/2.200 VA mengalami kenaikan 35,3% dan R-2/6.600 VA naik sebesar 12,4%. 

Dengan demikian justru masyarakat miskin terbebani kenaikan lebih besar dari golongan kaya walaupun besaran rupiahnya masih lebih rendah jika dibandingkan tariff pelanggan yang memakain daya besar tersebut. 

TDL juga tidak sesuai dengan sosialisasi yang dilakukan PLN tahun 2001 bahwa tidak ada kenaikan untuk golongan R-1/450 VA yang menggunakan listrik dibawah 30 KWh. 

Alasan yang dikemukakan bahwa kenaikan tersebut sudah selayaknya karena jumlah pemakai sebanyak 19,2 juta yang sejak tahun 1994 tidak mengalami kenaikan. 

 Dalam berbagai kesempatan, alasan rasional kenaikan TDL, PLN optimis meraup tambahan pendapatan sebesar Rp 10 trilyun. 

Uang sebesar itu dapat untuk dapat mengurangi kerugian PLN tinggal menjadi Rp 1 Trilyun dengan asumsi kurs Rp 9.000,- perdollar AS. 

Artinya tanpa kenaikan TDL pada tahun 2002 kerugian PLN bisa mencapai Rp 11 Trilyun, tetapi karena ada kenaikan TDL maka kerugiannya dapat ditekan. Bandingkan pada tahun 2000, TDL mampu menekan kerugian PLN sebesar Rp 9 trilyun dan subsidi pemerintah hanya Rp 4,1 trilyun. Dan tahun 2001, ketika TDL dinaikkan PLN menjadi Rp 2,3 trilyun. Dana segar yang diambil dari rakyat itu dibagi Rp 1,1 Trilyun untuk menutupi kenaikan BBM, sisanya Rp 1,2 trilyun untuk menutupi perbedaan kurs. 

Selain juga tentunya membayar hutang PLN kepada Paiton 4 juta dollar AS selama 30 tahun. Namun selain itu juga besarnya biaya operasional timbul karena adanya selisih biaya sewa PLN dengan Paiton I. Menurut Dr. ING Nengah Sudja, mantan Direktur Perencanaan PT. PLN, mengatakan bahwa kesepakatan harga listrik antara Direksi PT PLN dengan Paiton I sebesar 4,93 sen dollar/kwh di Indonesi terlalu kemahalan. 

Bandingkan di Malaysia kontrak yang sejenis dengan Paiton I harga yang disepakati berkisar 3,19 sen dollar AS/kwh – 3,2 sen dollar AS/kwh. Dengan demikian kita bisa menghemat biaya sebesar 17 sen dollar AS/kwh atau 150 juta dollar AS/tahun equivalen Rp 1,5 trilyun pertahun. Atau minimal tiap sen dollar berarti selisih US$ 89,4 juta/tahun. Artinya kenaikan listrik tidak akan sebesar saat ini. 

 Namun PLN lupa bahwa tuntutan yang semakin tinggi masyarakat akan melakukan penyesuaian pemakaian. Artinya konsumen baik perorangan maupun rumah tangga akan mengurangi daya beli listrik dari PLN, sehingga penerimaan yang diharapkan bisa diambil dari kantong rakyat tak pernah terjadi. 

Kenaikan PLN akan dibayar dengan jerit tangis rakyat yang disuruh memikul beban dari sebuah kerja yang tidak professional, penuh nuansa KKN, dan kekonyolan kerja sama dengan swasta asing maupun local yang tidak diperhitungkan secara matang resiko jangka panjangnya. Belum lagi kinerja PLN sebagai BUMN yang masih jauh dari memberikan profit kepada negara dan memberikan pelayanan kepada publik. 

Ini masih dapat dilihat dari ineffisiensi menyangkut pelaksanaan proyek Total Maintenance Contract (TMC) atau kontrak perawatan peralatan PLN selama 2001. Proyek TMC merupakan proyek pemeliharaan dan pengoperasian atas pembangkit bertenaga diesel milik PLN di seluruh Indonesia. 

Bahkan yang parah adalah justru belum dapat dipertanggungjawabkan pelaksanaan proyek tersebut, Direksi PLN malah menambah pekerjaan TMC dari 7 proyek menjadi 14 proyek. (Tempo, 22 November 2001). 

 Kalaulah dengan kenaikan TDL 2002 tersebut, PLN berharap dapat menekan kerugian sebesar Rp 11 trilyun, angka yang disodorkan itu terlalu besar dampak sosialnya dibandingkan “kelakuan birokrat” yang menikmati kekuasaan. Seperti Hutang Indonesia Rp. 1,376 Trilyun Rupiah yang terdiri 74,164 Milyar AS (53,9%) merupakan utang luar negeri Pemerintah dan 63,438 milyar AS (46,1%) utang sector swasta. Saat ini ada kecendrungan pemerintah sengaja mengambil alih dan membayar (bail out) utang swasta di antaranya utang dalam jumlah besar beberapa perusahaan swasta yang ditangani oleh BPPN. Bahkan menurut Sadi Soesastro (CSIS) dan Emil Salim justru “Sponsor” pengambilan utang swasta tersebut adalah pejabat pemerintahan sendiri. 

Seharusnya pemerintah hanya bertanggung jawab pada utang pemerintah (public debt) saja, sementara utang swasta (private debt) merupakan tanggung jawab swasta. Bahkan kalau perlu kita mengikuti jejak Argentina untuk sementara tidak akan membayar utang dimana yang semestinya uang yang digunakan untuk membayar itu menggerakan sector riil. Juga diikuti meminta pengurangan utang luar negeri, menindak para koruptor dan pengusaha yang terlibat kredit macet (bad debt) serta memasukkan dana non-neraca (off budget) kedalam anggaran. (Lihat lebih lengkap Konferensi 120 LSM yang tergabung dalam Asia-Pasifik Research Network (APRN). 

Atau setidak-tidaknya utang publik tersebut hendaknya diputihkan untuk digunakan mengatasi kemiskinan structural di masyarakat yang naik setelah krisis berjumlah 40% dimana sebelum krisis hanya 11%. (Hasil Konferensi Nasional Kemiskinan yang diselenggarakan oleh Kelompok Masyarakat Sipil yang terdiri dari OXFAM GB Indonesia, INFID, Yappika, Kikis, CPSM, dan ASPPUK). 

Bahkan direncanakan pada pertemuan Paris Club III mendatang, Pemerintah merencanakan untuk meminta penjadwalan pokok utang beserta bunganya sekaligus sebesar Rp 27,241 trilyun atau sekitar 3 milyar AS. Belum lagi adanya pelarian uang (Capital fight) 10 Milyar US/Tahun Atau penyelundupan minyak yang mengakibatkan kerugian negara Rp 56 trilyun pertahun atau penebangan liar (illegal logging) sebesar 30 Trilyun pertahun. 

 Maka sudah semestinya kenaikan TDL membuktikan bahwa kebijakan publik kian compang camping. 

 Sudah semestinya Pola penyelesaian listrik terlalu sederhana dengan melakukan kenaikan TDL. 

Alasan seperti mengurangi subsidi merupakan pemikiran yang salah kaprah, karena ternyata negara telah mendapatkan dari sector pajak yang semestinya haruslah dinikmati rakyat. 

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa. Realisasi penerimaan pajak termasuk PPh Migas, periode 1 Januari 2001 hingga 30 November 2001 telah mencapai Rp 143,181 trilyun. (Kompas, 18 Desember 2001). 

Untuk target 2002, penerimaan pajak sebesar Rp 184,675 trilyun terdiri dari PPh Rp 104,497 trilyun, PPN dan PPnBM Rp 70,099 trilyun, PBB Rp 5,9 trilyun, BPHTB Rp 2,205 Trilyun dan pajak lainnya Rp 1,949 trilyun. 

Padahal 11 perkara tindak pidana pajak senilai Rp. 1,3 trilyun masih “ngendon” di Kejagung. Mengapa duit pajak yang telah disetor rakyat tersebut tidak dikeluarkan sedikit untuk memberikan bukti kepada rakyat bahwa negara tidak hanya menerima upeti tapi juga memberikan sedikit