09 November 2006

opini musri nauli : Kekeliruan Penafsiran Hukuman Mati




(Otokritik Terhadap Hukuman Mati)
M. Musri Nauli, SH *
Jambi Ekspres, 9 November 2006

Sungguh merupakan kehormatan bagi penulis, disaat penulis menawarkan sebuah pemikiran yang berjudul “Hukuman Mati dari Perspektif HAM” yang dimuat pada tanggal 12 Oktober 2006, ternyata menarik perhatian dari Saudara Erdianto yang kemudian memberikan pandangannya yang berjudul “Sekali Lagi, Soal Pidana Mati – Tanggapan atas Opini Musri Nauli” yang diterbitkan pada tanggal 2 November 2006. Kehormatan itu sengaja penulis sampaikan, karena tema yang ditawarkan oleh penulis ternyata memberikan pandangan yang beragam setelah dimuatnya tulisan tersebut.
Sebelum Sdr Erdianto memberikan tanggapannya di harian Jambi Ekspres tanggal 2 November 2006 tersebut, sebenarnya penulis juga menerima tanggapan baik melalui short message servise (sms), diskusi ataupun pembicaraan di berbagai tempat. Sebagaimana telah menjadi sebuah sikap yang berusaha memaparkan pandangan itu secara lebih teknis dan jelas dimana tulisan yang dipaparkan tersebut belum melambangkan pemikiran yang komprehensif, penulis bertanggung jawab menjabarkan pandangan sesuai dengan media dimana penulis bertemu dengan berbagai kalangan. Apabila tanggapan tersebut disampaikan melalui sms, maka penulis menanggapi melalui sms juga. Apabila ditawarkan di forum diskusi, maka penulis menanggapi melalui forum diskusi. Begitu seterusnya.

Berangkat dari pemikiran itulah, maka penulis menyampaikan tanggapan saudara Erdianto di media yang sama.

Ada beberapa kekeliruan penafsiran yang disampaikan oleh sdr. Erdianto terhadap tema yang ditawarkan oleh penulis.

Yang pertama, bahwa saudara Erdianto masih meyakini diperlukannya pidana mati untuk menakut-nakuti para penjahat. Untuk memahami tulisan yang penulis sampaikan, maka kajian yang harus digunakan adalah kajian yuridis – normatif. Dimana “pisau bedah” yang digunakan adalah Prinsip-prinsip HAM yang berlaku secara universal.
Prinsip-prinsip HAM yang merupakan nilai-nilai yang bersifat universal ini sebenarnya dalam ranah kajian filsafat hukum. Artinya nilai-nilai ini haruslah dikongkritkan dalam bentuk norma yang bersifat yuridis yang termuat didalam peraturan perundang-undangan. Saat kemudian nilai tersebut telah berbentuk norma maka kajian tersebut sudah masuk dalam pemikiran positivisme yang harus kita terapkan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.

Nilai-nilai HAM ini kemudian bersandarkan kepada KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK yang telah diratifikasi berdasarkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK).

Apabila pemikiran itu sudah kita pahami, maka terhadap prinsip-prinsip yang telah diatur didalam berbagai kovenan PBB, kemudian tentu saja berlaku secara normatif sebagaiaman telah diatur didalam Pasal 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Dalam analisi lebih lanjut, bahwa Penerapan hukuman mati bertentangan dengan ketentuan hukum hak asasi manusia (HAM) internasional. 

Hukum HAM internasional secara tegas menyatakan hukuman mati bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang pada tahun 2005 telah diratifikasi Pemerintah Indonesia. 

Lebih dari itu, kebijakan itu jelas kontras dan bertentangan dengan semangat dalam Amandemen UUD 45 yang berusaha menjamin dan menjunjung tinggi hak untuk hidup sebagai hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable right) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28 Ayat I Huruf I UUD 45.

Begitu pentingnya perlindungan terhadap HAM yang berkaitan dengna hukuman mati, maka pasal 4 UU No. 26 Tahun 2000 menggarisbawahi bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Dari pisau bedah inilah, penulis melakukan identifikasi terhadap UU yang memuat pidana mati sebagaimana telah dipaparkan pada tulisan sebelumnya.

Dari ranah pemikiran ini, sebenarnya Saudara Erdianto tidak tepat menolak pemikiran penulis yang dengan alasan bahwa hukuman mati masih diperlukan untuk menakut-nakuti para penjahat. 

Apabila alasan ini digunakan untuk menakut-nakuti penjahat, sebenarnya merupakan kajian dari yuridis –sosiologis, dimana hukum dapat mempengaruhi orang untuk tidak berbuat sesuatu. Tentu saja, pertanyaan kritis akan timbul. Apakah dengan adanya hukuman mati, para penjahat menjadi takut ? Atau tingkat kejahatan menurun.

Wacana ini sudah ditawarkan oleh AL ARAF, Koordinator Peneliti Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor), Kompas, Jumat, 7 April 2006. 

Pertama, dari efektivitasnya, hukuman mati yang diharapkan memberi efek jera akan mengurangi angka kejahatan. 

Alasan ini patut dipertanyakan sebab kenyataannya penerapan hukuman mati tidak berbanding lurus dengan naik atau turunnya tingkat kejahatan. Ilusi bahwa tujuan hukuman untuk mengurangi kejahatan harus dibuang jauh karena naik-turunnya kejahatan tidak dipengaruhi besarnya hukuman yang diberikan.

Apabila kita lihat hukuman mati yang termuat di UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotripika, UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Narkotika, UU No. 5 Tahun 2003 Tentang Terorisme, ternyata tingkat kejahatan yang diancam dengan UU tersebut tidak memberikan efek jera baik kepada para pelaku maupun maasyarakat umum. 

Hampir setiap hari apabila kita baca di berbagai media massa baik terbitan daerah maupun nasional, masih saja para penjahat diancam dengan UU tersebut. Bahkan para pelaku bom Bali I (Imam Samudra cs) yang dijatuhi hukuman mati berdasarkan UU terorisme, ternyata tidak jera dan menganggap bahwa hukuman mati merupakan jihad (dalam perspektif pelaku).

Secara sosiologis, sumber utama kejahatan dan kriminalitas adalah kemiskinan, ketidakadilan, dan hubungan timbal balik antara penguasa dan preman/kriminal. Maka alasan yang disampaikan oleh Sdr. Erdianto bukanlah alasan yang tepat untuk menolak pemikiran penulis.

Yang Kedua, yang berkaitan dengan menangkap, memenjarakan, menghukum. 

Secara litterlijk, wewenang seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan merupakan pelanggaran HAM yang kemudian sah berdasarkan undang-undang. 

Apabila alasan ini digunakan oleh saudara Erdianto untuk membenarkan pelanggaran HAM dengan alasan UU, maka tidak tepat.

Disebutkan, bahwa pada dasarnya, setiap upaya paksa (enforcement) dalam penegakan hukum mengandung nilai HAM yang sangat asasi. Oleh karena itu, harus dilindungi dengan seksama dan hati-hati, sehingga perampasan atasnya harus sesuai dengan “acara yang berlaku (due process) dan “hukum yang berlaku (due to law).

Ditinjau dari standar universal maupun dalam KUHAP, tindakan upaya paksa, merupakan perampasan HAM atau hak privasi perseorangan (personel privacy right) yang dilakukan penguasa (aparat penegak hukum) dalam melaksanakan fungsi peradilan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang dapat diklasifikasikan meliputi (a) Penangkapan (arrest); (b) Penahanan (detention); (c) Penggeledahan (searching); (d) Penyitaan, perampasan, pembeslahan (seizure)
Bertitik tolak dari asumsi kemungkinan terjadinya penyimpangan di luar batas, terhadap pelanggaran dapat diajukan ke forum pra peradilan, baik yang berkenaan dengna tuntutan ganti kerugian maupun yang berkenaan dengan sah atau tidaknya upaya paksa tersebut. 

Dengan demikian upaya paksa yang sesuai dengan acara yang berlaku (due process) dan hukum yang berlaku (due to law) bukanlah pelanggaran HAM. Lihat Yahya Harahap didalam bukunya “PEMBAHASAN PERMASALAHN DAN PENERAPAN KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali”, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 6.

Atau dengan kata lain, penulis nyatakan, bahwa alasan yang disampaikan oleh saudara Erdianto “tidak tepat” untuk menolak pemikiran yang disampaikan oleh penulis.

Namun terlepas dari apa yang telah penulis sampaikan, bahwa ternyata tema yang penulis tawarkan masih menarik untuk diperbincangkan. Quo vadis