Dalam catatan penulis, pergantian pucuk Pimpinan aparatur penegak hukum diharapkan membawa harapan angin segar terhadap penegakan hukum di Jambi.
Namun pertanyaan yang timbul, Apakah harapan itu merupakan angin segar ataupun utophia?.
Menurut penulis terlalu dini untuk memberikan tanggapan terhadap pertanyaan tersebut.
Untuk memudahkan memahami alur pemikiran terhadap catatan hukum 2006, Penulis mencoba mengklasifikasikan peristiwa hukum dan kriminal dalam subtema yaitu Tindak pidana kehutanan, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkoba dan tindak pidana umum.
Dan tentu saja beberapa peristiwa menarik yang terjadi di tahun 2006.
TINDAK PIDANA KEHUTANAN
Tahun 2006 dibuka dengan peristiwa penting. 49 tronton tertangkap di Banyu Lincir (daerah hukum Sumsel).
Peristiwa ini ternyata berdampak tidak hanya daerah namun mempunyai implikasi secara nasional.
Peristiwa ini menarik perhatian secara nasional. Kasus ini kemudian membuat Menteri Kehutanan memberikan atensi dan porsi yang lebih besar untuk melihat kasus ini dalam bingkai “pemberantasan illegal logging”. Ini dapat ditandai dengan beberapa kali kedatangan Menteri Kehutanan di Jambi.
Walaupun tertangkapnya 49 tronton di daerah hukum Sumsel, namun seluruh pelaku disidangkan di Propinsi Jambi (seluruhnya di Pengadilan Negeri Jambi kecuali 1 orang di Pengadilan Negeri Bangko).
Peristiwa ini ternyata menimbulkan pertanyaan hukum yang cukup serius. Dimanakah tindak pidana itu terjadi. Apabila ditangkapnya (penulis sengaja menulis istilah “ditangkap”, istilah ditengah masyarakat. istilah ini kurang tepat. Istilah ditangkap terhadap benda didalam KUHAP adalah “disita”) di Banyu Asin, maka seharusnya diproses di wilayah hukum Banyu Asin.
Namun ketika proses hukum di Polda Jambi dan diteruskan di pengadilan Negeri Jambi dan Pengadilan Negeri Bangko, maka dapat ditafsirkan bahwa tindak pidana ini hanyalah mampu mengungkapkan tindak pidana “pemalsuan surat” ataupun membuat SKSHH tidak sebagaimana mestinya (tidak sesuai dengna ketentuan yang berlaku).
Proses hukum ternyata tidak menjangkau tindak pidana “pengguna SKSHH” yang menyebut-nyebut keterlibatan supir dan pengusaha yang menggunakan SKSHH tersebut. Kegagalan mengungkapkan fakta tentang keterlibatan supir dan pengusaha yang menggunakan SKSHH tersebut, ternyata hanya memberikan catatan kecil,
BAGAIMANA TINDAK PIDANA “ILLEGAL LOGGING” HANYA MENJANGKAU YANG HULU. TIDAK MAMPU MENJANGKAU YANG HILIR.
Peristiwa 49 tronton juga menghadirkan tokoh partai yang kritis sebagai terdakwa. Tokoh yang merupakan wacana politik lokal di Jambi yang sering mengkritisi terhadap pembangunan di Jambi.
Namun tokoh tersebut kemudian tidak dapat menjalani proses di muka persidangan karena meninggal dunia. Dan berdasarkan ketentuan pasal 83 KUHP, kasus ini tidak dapat diteruskan.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada proses peradilan yang sedang bergulir, pelaku yang dituduh terlibat ternyata tidak menjawab pertanyaan di tengah masyarakat.
Siapakah Pelaku sebenarnya. Mengapa Nama-nama yang disebut-sebut kemudian ternyata tidak diproses (dalam istilah yang biasa dikenal adalah istilah DPO – Daftar Pencarian Orang).
Kasus ini kemudian menjadi misteri.
Atau dengan kata lain, yang disidangkan di muka pengadilan, hanyalah para pejabat penerbit SKSHH minus supir ataupun pengusaha yang terlibat.
Sungguh aneh dan tentu saja tidak mudah dimengerti oleh masyarakat banyak. Bagaimana mungkin, 49 tronton (yang tentu saja benda besar dan bergerak) tanpa supir dan pengusaha tidak diseret dimuka persidangna untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terhadap proses pemeriksaan terhadap terdakwa yang mengalami proses dimuka persidangna dalam 49 tronton hanyalah memberikan “lips servise” terhadap kasus yang menarik perhatian publik.
Namun prestasi Polda Jambi haruslah diberi apresiasi. Diprosesnya pengusaha yang selama ini sering menjadi perhatian kalangan LSM yang peduli terhadap hutan dan lingkungan merupakan prestasi Polda Jamb.
Pengusaha ini sering disebut-sebut merupakan tokoh penting terhadap ‘illegal logging” di Jambi dan dianggap sulit “disentuh”.
Prestasi ini merupakan prestasi tersendiri.
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pergantian Kajati Jambi yang sebenarnya membawa harapan baru bagi penegakkan hukum terutama di dalam tindak pidana Korupsi. Kasus Water boom yang semulanya macet, (walaupun adanya desakan dari mahasiswa) ternyata di periode Kajati yang baru berhasil di buka kembali dan disidangkan beberapa orang menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Jambi. Prestasi ini membangun harapan publik terhadap kinerja Kajati Jambi.
Namun Para terdakwa yang disidangkan ternyata bukanlah nama-nama tokoh penting dalam kasus korupsi water boom. Tokoh-tokoh kunci dan ternyata di persidangan disebut-sebut tidak mengalami proses hukum dan dihadirkan dimuka persidangan.
Sehingga prestasi ini kemudian membuat harapan publik menjadi utophia.
Dengan demikian, lagi-lagi kasus water boom memberikan “lips servise” terhadap kasus yang menarik perhatian publik.
Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri juga menyidangkan terhadap kasus di Kanwil Departemen Agama Propinsi Jambi.
Begitu juga Pengadilan Negeri Sungai penuh terhadap anggota DPRD Kabupaten Kerinci dan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal terhadap anggpta DPRD Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
TINDAK PIDANA NARKOBA
Dalam tindak pidana Narkoba, hampir praktis setiap hari media massa memaparkan tentang persidangan yang berkaitan dengan tindak pidana narkoba. Namun peristiwa penting yang menarik perhatian masyarakat adalah beberapa pejabat penting yang menjadi terdakwa.
Seorang pejabat penting di Pemerintahan Propinsi Jambi dan seorang perwira Polda Jambi. Kasus ini menarik perhatian, karena selain pejabat tersebut merupakan pejabat penting, perwira Polda Jambi tersebut mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jambi terhadap penangkapan dan penyitaan dalam proses hukum di tingkat penyidikan (walaupun praperadilan tersebut ditolak).
Peristiwa ini selain memberikan catatan penting tahun 2006, juga merupakan peristiwa disidangkannya personil Polri di Pengadilan Umum.
Padahal masih segar di ingatan publik, pada tahun 2003, Pengadilan Negeri Jambi juga menyidangkan anggota Polri yang terlibat dalam kasus TJWI gate (Catatan Hukum 2003, Jambi Ekspress, 27 Desember 2003).
Catatan ini setidak-tidaknya menambah daftar anggota Polri yang disidangkan di Pengadilan Negeri (berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002. Sebelumnya Polisi diletakkan pada peradilan militer).
Namun yang menjadi catatan kelam di tubuh Kepolisian adalah peristiwa “meninggalnya” perwira di Poltabes Jambi di sebuah tempat hiburan di Jambi.
Catatan ini masih misteri terhadap “meninggalnya” perwira tersebut.
PERISTIWA PENTING 2006
Peristiwa penting tahun 2006 juga mencatat terhadap penerapan pasal 170 KUHP dalam berbagai kerusuhan massal. DI Kerinci sendiri, penerapan pasal ini diperlakukan terhadap pelaku pengrusakan di dalam kerusuhan di Sungai Penuh.
Seluruh terdakwa mengalami proses di persidangan akibat peristiwa tersebut. Catatan penting yang dapat kita pelajari dari peristiwa tersebut, bahwa aparat hukum masih menggunakan cara-cara represif dalam menghadapi sebuah peristiwa.
Penerapan pasal-pasal ini selain tidak memberikan jalan keluar terhadap berbagai persoalan di tengah masyarakat, penerapan pasal ini masih bisa menjadi kajian kritis di kalangan akademis.
Apakah penerapan pasal yang merupakan “warisan kolonial” masih layak digunakan di alam kemerdekaan ini ?.
Penerapan pasal ini sering digunakan berbagai kasus-kasus yang bersinggungan dengan konflik pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Pada masa peristiwa dalam tahun 1999 – 2004,
Bahkan di tahun 2006, penerapan pasal ini masih digunakan terutama didalam konflik masyarakat Singkut yang berhadapan dengan PT. DIPP.
Namun yang sangat ironis, penerapan pasal ini juga diperlakukan terhadap mahasiswa yang menentang pembangunan water boom (padahal nyata-nyata pembangunan water boom bermasalah) .
Peristiwa penting yang menarik perhatian publik adalah diterapkan tindak pidana perpajakan yang melibatkan Direktur perusahan yang bergerak di bidang sawit. Menurut catatan penulis, penerapan tindak pidana perpajakan merupakan kasus pertama yang terjadi di Jambi.
Peristiwa tahun 2006 juga mencatat terhadap sidang pemeriksaan Pengajuan kembali dalam kasus pembunuhan SAD. Peristiwa ini penting dicatat, karena hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa pembunuhan SAD adalah hukuman mati.
Penulis termasuk orang yang menolak diterapkan hukuman mati dari perspektif HAM.
Selain bertentangan dengan HAM dan kemanusiaan, juga bertentangan dengan UUD 1945.
Dan tentu saja penulis menghormati perbedaan pandangan sebagian kalangan yang tetap setuju diterapkan hukuman mati. (lihat HUKUMAN MATI DARI PERSPEKTIF HAM, JE, 12 Oktober 2006, Sdr. Erdianto yang kemudian memberikan pandangannya yang berjudul “Sekali Lagi, Soal Pidana Mati – Tanggapan atas Opini Musri Nauli”, JE, 2 November 2006, dan tanggapan penulis, KEKELIRUAN PENAFSIRAN HUKUMAN MATI - Otokritik Terhadap Hukuman Mati, JE, 9 November 2006)
Selain itu yang menarik perhatian masyarakat, adalah beberapa perdebatan terbuka antara Kajati dengan berbagai pihak terhadap berbagai persoalan. Yang pertama adalah perdebatan tentang Jaksa dengan majelis hakim dalam beberapa perkara.
Yang pertama perdebatan mengenai barang bukti dalam perkara tindak pidana kehutanan terutama dalam barang bukti kendaraan yang digunakan dalam tindak pidana tersebut.
Didalam hukum acara pidana, kita mengenal alat bukti sebagaimana diatur didalam pasal 184 KUHAP. Alat bukti itu terdiri dari saksi, saksi ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Y
ang dimaksudkan dengan barang bukti yaitu barang mengenai delik dilakukan (obyek) delik dan barang dengan mana delik dilakukan, yaitu alat yang dipakai melakukan delik. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik (Andi Hamzah, Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981). Untuk menjadi barang bukti dalam suatu perkara pidana tidak disyarat¬kan bahwa barang itu disebut dalam surat tuduhan. Barang bukti harus diperlihatkan kepada saksi (Putusan MA 125 K/Kr/1960 tanggal 13 November 1960. Lihat juga115 Kr/K/1972. 23 Mei 1973), juga terdakwa dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenai benda itu.
Tentunya juga diperlihatkan bukti diam (silent evidence) seperti jejak jari, benda-benda yang menjadi barang bukti. Alasan yang disampaikan oleh saksi untuk memberi keterangan. Apakah keterangan itu dapat atau tidaknya dipercaya berdasarkan pasal 302 R.I.B terserah kepada kebijaksanan hakim. Dan hakim berwenang untuk tidak usah mendengar semua saksi apabila pengadilan negeri berpendapat, bahwa dalam pemeriksaan di persidangan telah terdapat cukup alat-alat pembuktian untuk menghukum terdakwa.
Namun yang harus Penasehat Hukum perhatikan tentang barang bukti yang dihadirkan oleh Jaksa penuntut umum ditentukan haruslah sesuai dengan fakta-fakta persidangan.
Di KUHAP sendiri, status barang bukti dan Persoalan kepada siapa barang bukti harus dikembalikan adalah termasuk kebijaksanaan judex facti kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. (Putusan Mahkamah Agung No. 100 K/Kr/1974 Tanggal 6 Mei 1975). Apakah diserahkan kepada pihak yang paling berhak (saksi korban atau pihak ketiga), dilampirkan dalam berkas perkara yang terpisah atau dirampas untuk negara. UU No. 7 Tahun 1955 dan pasal 39 KUHP perampasan tidaklah diharuskan (Putusan Mahkamah Agung No. 22 K/Kr/1964 tanggal 22 Desember 1964). Namun Barang bukti yang terdiri dari barang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi harus dirampas untuk negara (Putusan Mahkamah Agung No. 20 K/Kr/1976 Tanggal 1 Juli 1978). Putusan pengadilan tentang status barang bukti merupakan wewenang judex facti majelis hakim. (Putusan Mahkamah Agung No. 107 K/Kr/1977 Tanggal 16 Oktober 1978)
Dalam hal terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum, maka semua barang bukti harus dikembalikan kepada terdakwa. (Putusan Mahkamah Agung No. 87 K/Kr/1970 Tanggal 3 Maret 1972).
Untuk menjadi barang bukti dalam suatu perkara pidana tidak disyaratkan bahwa barang itu disebut dalam surat tuduhan. (Putusan Mahkamah Agung No. 125 K/Kr/1960 Tanggal 13 November 1962)
Dari paparan diatas, maka terhadap barang bukti yang ternyata dipergunakan terhadap kejahatan terhadap pelanggaran UU No. 41 Tahun 1999 dapat merujuk kepada pasal 78 ayat (15).
Namun yang menjadi perhatian kita adalah, Apakah Hukum Pidana yang berfungsi untuk mencari kebenaran yang materiil, yaitu mencari kebenaran yang sebenar-benarnya akan memberikan rasa adil baik kepada pelaku ataupun pihak lain. Katakanlah alat angkut merupakan bukan milik terdakwa.
Pasal 39 KUHP telah memberikan ruang untuk mengatasi pertanyaan itu. Barang bukti yang merupakan “Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas”.
Didalam berbagai pendapat ahli, pasal 39 KUHP memberikan tafsiran “benda atau tagihan tersangka/terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana. Atau benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau mempersiapkannya.
Benda yang dipergunakan untuk menghalangi penyidikan tinda pidana. Benda yang khusus dibuat atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Sehingga ketentuan pasal 39 KUHP sejalan dengan pasal 78 ayat 15 UU No. 41 tahun 1999.
Perdebatan lainya adalah perdebatan tentang Hukum Acara Pidana antara Kajati dengan hakim yang mengadili perkara water boom.
Perdebatan tersebut adalah tentang perlu atau tidaknya Gubernur dihadirkan sebagai saksi dalam perkara tersebut.
Perdebatan tersebut berlanjut tentang sikap Hakim yang mengadili perkara water boom yang hanya mengakui Jaksa Penuntut Umum yang menanda tangani Surat dakwaan sebagaimana diatur didalam pasal 143 KUHAP. Secara jelas memang bahwa Surat dakwaan yang ditanda tangani oleh Jaksa Penuntut Umum yang berwenang menjadi pihak dalam perkara ini.
Pasal ini secara jelas mengaturnya. Sehingga argumentasi yang disampaikan oleh Kajati Jambi yang menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan tidak dapat diterima.
Apabila kita perhatikan UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, satu kesatuan yang dimaksudkan didalam UU tersebut didalam rangka koordinasi penuntutan yang bermuara di Jaksa Agung.
Pendapat ini sebenarnya bukanlah alasan mengeliminir pasal 143 KUHAP yang mengatur Jaksa yang menanda tangani surat dakwaan yang kemudian berwenang di muka persidangan. Atau dengan kata lain, argumentasi yang disampaikan hakim yang mengadili perkara water boom mempunyai landasan argumentasi yang kuat.
Namun dua peristiwa ini sengaja dicatat penulis untuk melihat bagaimana peran yang harus dilakukan oleh Kejaksaan. Apabila kita melihat figur dari Jaksa Agung Soeprapto yang langsung menjadi Jaksa di muka persidangan terhadap kasus korupsi yang melibatkan tokoh penting di pemerintahan Soekarno, sejarah ini membuat kita memberikan apresiasi terhadap peran Jaksa Agung.
Dengan sejarah ini, kita berharap sesuai dengan tingkatannya, maka Kajati dapat bertindak langsung menjadi Jaksa penuntut umum terhadap pelaku di tingkatan Pemerintahan Propinsi.
Misalnya menjadi Jaksa penuntut umum dalam kasus Depag, dan mantan kadis dalam kasus water boom. Apakah ini hanyalah mimpi belaka.
Menurut penulis tidak. Karena sejarah sudah mencatatnya dan kita dapat berharap banyak dari pelajaran dan teladan dari jaksa Agung Soeprato.
Tahun 2006 ditutup dengna persoalan yang masih menjadi perhatian masyarakat. Yaitu persoalan Asap. Hampir praktis, setiap musim kemarau, Indonesia sibuk mempersiapkan juru bicara untuk menjelaskan kepada dunia terhadap masalah asap.
Namun menurut berbagai media massa, asap tahun ini merupakan rekor terburuk selama 10 tahun. Penerbangan di Malaysia terganggu. Pelabuhan di Singapura terancam ditutup. Hampir 40 % warga Singapore sudah ke dokter mengenai penyakit akibat asap.
Lantas apa yang sudah dilakukan oleh Indonesia. Yang pasti, para pemimpin nasional maupun lokal akan mengucapkan maaf terhadap akibat asap. Kemudian sibuk mengkalkulasi jumlah titik api, jumlah masker yang akan dibagikan, sibuk membuat himbauan agar masyarakat tidak keluar rumah, dan untuk menenangkan masyarakat, pejabat tersebut membuat pengumuman dan mengajak sholat Istiqosah.
Untuk memberikan lips servise, pejabat tersebut juga ikut memadamkan titik api dan kemudian dimuat diberbagai media nasional ataupun lokal pada halaman pertama.
Selain itu, yah, paling-paling, mengancam perusahaan pembakar lahan akan diseret dan diproses hukum.
Rasanya, media massa telah membuat berita tersebut berulang-ulang tanpa solusi pasti penyelesaian tersebut.
Lantas dimana posisi kita terhadap problema tersebut ? Sebagai bagian dari Negara Indonesia, teriakan kita seakan makin tenggelam. Begitu musim kemarau berlalu, isu asap menghilang. Berganti dengan musim hujan dan tentu saja persoalan banjir pula menghadang.
Sudah saatnya cara-cara konvensional didalam mengatasi persoalan ini harus ditinggalkan.
Cara-cara yang luar biasa sudah semestinya dilakukan untuk memberikan daya kejut kepada Pemerintah yang gagal memberikan hak yang paling hakiki dari Pengelolaan lingkungan hidup kepada rakyat, yaitu “Hak Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” sebagaimana diatur didalam Pasal 5 ayat (1) UU no. 23 Tahun 1997 Tentang PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.
Secara filosofi, negara telah gagal didalam memenuhi hak asasi manusia di bidang lingkungan hidup. Negara telah gagal memberikan apalagi melindungi hak rakyat untuk mendapatkan lingkungna yang sehat. Rakyat yang semestinya pemegang kedaulatan tertinggi dalam pengelolaan lingkungan hidup diabaikan.
Hak rakyat untuk mendapatkan lingkungan yang sehat seperti Jalan di Pagi Hari untuk olahraga, refresing (jalan-jalan) bersama keluarga dan handai tolan, bekerja pada siang hari ternyata “dipaksa” tidak bisa keluar rumah, memakai masker bahkan rakyat-pun dipaksa “dirumah” seperti di penjara sampai asap ini reda ataupun hilang.
Tidak ada upaya nyata yang dilakukan oleh Pemerintah.
Dari perspektif hukum, sudah saatnya Pemerintah mempercepat proses dan mengumumkan kepada publik perusahaan-perusahaan yang terlibat didalam pembakaran lahan dan menimbulkan asap yang berkepanjangan.
Cara-cara konvensional didalam memproses kasus dalam pembakaran lahan sudah semestinya ditinggalkan. Titik-titik api (hot spot) yang ditemukan berdasarkan data NOAA yang kemudian ternyata terletak areal perusahaan, maka perusahaan tersebut harus bertanggung jawab.
Tidak perlu dibuktikan apakah perusahaan tersebut melakukan pembakaran atau tidak. Perusahaan harus menjaga areal yang telah diberikan dan tentu bertanggungjawab terhadap peristiwa apapun yang terjadi. Sudah banyak ketentuan yang mengatur tentang kewajiban perusahaan menjaga lingkungan hidup dalam pengelolaan sumber daya alamnya.
Yang paling pokok tentu saja UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan apabila perusahaan yang melakukan pembakaran dapat merujuk kepada UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Dan terhadap perusahaan yang ternyata terbukti sengaja melakukan pembakaran, selain daripada tindak pidana dapat diperlakukan terhadap para pengurusnya, sudah semestinya, perusahaan juga bertanggungjawab dan perusahaan dapat diproses dimuka hukum.
Perusahaan dapat diminta untuk mengganti kerugian akibat yang timbul dari pembakaran tersebut.
Dan pekerjaan rumah yang tercecer ini, sudah semestinya kita pertanyaan ini kita kepada aparatur penegak hukum yang tidak mampu menjawab pertanyaan yang kita kemukakan tersebut.
Namun catatan hukum yang tercecer terhadap kasus yang belum terungkap dapat dilihat seperti kasus Kasus Rekayasa lakalantas yang menewaskan Effendi, Kasus money politics dalam pemilihan Bupati Merangin, Korupsi penggunaan uang negara diluar aturan dan ketentuan yang berlaku di DPRD Muara Jambi, Pembunuhan PNS Kehutanan Propinsi Jambi dan Dugaan kasus Korupsi dana tunjangan anggota Dewan sebesar Rp 500 juta DPRD Kab. Bungo.
Dari paparan yang telah penulis sampaikan tersebut, semoga kita berharap dapat menjawab pertanyaan yang senantiasa bergelayut di pemikiran kita.
APAKAH PERGANTIAN PUCUK PIMPINAN APARATUR PENEGAK HUKUM (Kapolda Jambi dan Kajati Jambi ) MEMBAWA HARAPAN ATAU HANYA UTOPHIA ?