Penulis menyadari karena waktu dan data yang ada kurang mendukung. Oleh karena itu catatan hukum yang dipaparkan semata-mata merupakan catatan yang berkaitan dengan hukum yang mendokumentasikan perjalanan hukum tahun 2005 di Propinsi Jambi.
Catatan ini merupakan titik masuk didalam menganalisis proses penegakan hukum masa reformasi.
Catatan hukum 2005 dapat dilihat dari proses refleksi Tahun 2002 diman peristiwa dibuka dengan peristiwa masyarakat yang mendatangi Pengadilan Negeri Muara Bungo yang membebaskan terdakwa dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum. DPRD Kemudian membentuk Pansus terhadap kasus ini yang kemudian dikenal sebagai Pansus Syawalgate.
Peristiwa ini sebenarnya sebuah peristiwa yang biasa di alam reformasi. Dimana masyarakat yang tidak puas dari keputusan Pengadilan Negeri kemudian mendatanginya.
Peristiwa ini kemudian berlanjut terhadap dua bulan kemudian ke Pengadilan Negeri Jambi dan sebulan kemudian ke Pengadilan Negeri Muara Bulian. 3 rangkaian peristiwa tersebut kemudian diakhiri dengan putusan bebasnya terhadap pelaku pemerkosaan di pengadilan Negeri Muara Bulian yang mengakhiri tahun 2002.
Dari catatan hukum tahun 2003, maka sesungguhnya kejahatan tahun 2003 hampir terjadi diberbagai tempat yang sesungguhnya dilakukan tidak mengenal status pelaku. Baik oleh oknum anggota DPRD, rector UNJA dalam Poco-Poco gate,
Catatan hukum yang tercecer terhadap kasus yang belum terungkap tahun 2003 dapat dilihat seperti kasus Kasus Rekayasa lakalantas yang menewaskan Effendi, Kasus money politics dalam pemilihan Bupati Merangin, Korupsi penggunaan uang negara diluar aturan dan ketentuan yang berlaku di DPRD Muara Jambi, Pembunuhan PNS Kehutanan Propinsi Jambi dan Dugaan kasus Korupsi dana tunjangan anggota Dewan sebesar Rp 500 juta DPRD Kab. Bungo.
Catatan hukum 2003 juga telah menyidangkan kasus yang melibatkan anggota Polri setelah diberlakukannya UU No. 2 Tahun 2002 yang meletakkan Polisi pada peradilan Umum. (sebelumnya Polisi diletakkan pada peradilan militer). Kasus yang telah disidangkan tersebut seperti 100 butir ekstasi yang melibatkan anggota Provost Polda Jambi, penggelapan juga terhadap oknum anggota Polda Jambi dan kasus TJWI gate.
Catatan ini sengaja disampaikan karena setelah diberlakukan UU tersebut maka Polisi ternyata mulai terbuka untuk memproses anggota pada peradilan umum.
Memasuki tahun 2004 disaat menjelang hajatan Nasional Pemilu 2004, konsentrasi Polisi sebagai ujung tombak memberantas kejahatan ditambah bebannya untuk memeriksa dan membongkar kasus-kasus yang berhubungan dengan pelaksanaan Pemilu.
Catatan hukum 2005 dimulai dari 2 buah peristiwa yang paling menarik perhatian masyarakat Indonesia. Pembunuhan berantai yang melibatkan Gribaldi dan kasus Pidana yang melibatkan Taslim Moe.
Dua peristiwa ini sengaja penulis sampaikan sebagai peristiwa yang paling menarik perhatian karena dua peristiwa yang paling sering diliput oleh media massa lokal Jambi.
Hampir praktis setiap minggu selalu ada berita yang berkaitan dengan dua peristiwa tersebut. Sebelumnya berita yang berkaitan dengan dua peristiwa ini pada awal-awalnya praktis hampir setiap hari.
Peristiwa pembunuhan yang melibatkan Gribadi merupakan pembunuhan paling sadis di Propinsi Jambi. 7 orang yang terbunuh hampir praktis menggidikkan bulu roma.
Semua korban dibunuh dengan alasan yang berkaitan dengan utang piutang ataupun yang berkaitan dengan persoalan uang. Kasus ini selain rumit didalam pembuktiannya, karena setiap peristiwa tersebut hampir praktis tidak ada saksi.
Selain itu juga kerumitan semakin bertambah karena adanya locus dictie (tempat terjadinya tindak pidana) yang berbeda-beda. Di Sekayu dan di Pekanbaru merupakan sebagian kecil daripada locus dictie didalam perkara yang melibatkan oknum kepolisian ini.
Maka peristiwa ini menjadi catatan penting yang penulis paparkan bahwa peristiwa ini dapat dikwalifikasikan sebagai peristiwa yang paling menarik
Peristiwa kedua yang menarik perhatian masyarakat yaitu terhadap kasus Pidana yang “diduga” melibatkan Taslim Moe seorang pengusaha terkenal di Jambi.
Kasus ini menarik karena dana yang berhasil dihimpunnya sekitar Rp 150 milyar (dalam berbagai hasil audit, ternyata dana cash yang dihimpun /cash monye hanya 50 milyar).
Selain dana yang berhasil dihimpunya cukup besar (bandingkan dengan PAD Propinsi Jambi tahun 2002 sekitar 40 milyar), sebagian korbannya adalah orang-orang yang dikenal masyarakat. Ada anggota DPRD, birokrat, politisi, pengusaha dan berbagai lapisan masyarakat.
Praktis semua kalangan yang pernah bersentuhan dengan Taslim Moe menjadi korban. Baik dikalangan pengusaha (Taslim Moe pernah menjadi konsultan Manajemen), LSM (Taslim aktif berbagai pertemuan di LSM), tetangga ataupun sebagainya.
Bahkan “konon” disebut-sebut juga melibatkan berbagai pejabat negara di Propinsi Jambi. Begitu banyak lapisan masyarakat yang menjadi korban Taslim Moe, maka Taslim Moe pernah dijadikan target perburuan saat Taslim Moe melarian diri ke medan.
Peristiwa ini sengaja penulis beri catatan penting terhadap peristiwa 2004 dengan berbagai pertimbangan tersebut. Begitu penting peristiwa ini penulis paparkan selain dengan pertimbangan yang telah dipaparkan tersebut, terhadap dua peristiwa tersebut, Kapolda Jambi (waktu itu masih dijabat oleh Brigjen Soewadji), langsung memberikan keterangan Pers terhadap 2 buah peristiwa itu. Perkembangan terakhir bahwa kasus Taslim Moe sedang diproses di Pengadilan Negeri Jambi dengan tuduhan pasal 46 UU Perbankan.
Catatan Hukum 2005 juga ditandai dengan 2 buah peristiwa penting dalam proses penegakan hukum. Yang pertama adalah diterima praperadilan terhadap penyitaan dalam perkara kayu di Dinas Kehutanan.
Diterimanya pra peradilan terhadap penyitaan merupakan perkembangan yang menarik karena secara harfiah materi pra peradilan tidak termasuk terhadap penyitaan barang dalam obyek sengketa pidana. Walaupun tidak baru, materi pra peradilan yang membuka ruang untuk materi berkaitan dengan penyitaan, setidak-tidaknya di Jambi sendiri, hampir praktis pra peradilan tidak pernah diterima oleh Pengadilan.
Sebuah catatan penting yang layak didokumentasikan terhadap proses penegakan hukum dan kontrol aparatur hukum terhadap hak asasi manusia yang paling mendasar.
Begitu juga diterimanya eksepsi didalam perkara pidana di Pengadilan Negeri Sengeti. Eksepsi didalam perkara pidana “pencurian” kelapa sawit di Sungai Bahar dengna tuduhan pasal 362 KUHP.
Diterimanya eksepsi yang disampaikan oleh Iwan Sastra Budi cs ini karena perdebatan istilah “memiliki” dan “menguasai”. Jaksa didalam perkara tersebut menterjemahkan pasal 362 yaitu “bijkomend oogmerk”, “nader oogmerk”, ataupun “verber reikend oogmerk” sesuai dengan pendapat Lamintang dengan terjemahan “maksud untuk menguasai suatu benda yang diambil secara melawan hukum”. Dengan tafsiran inilah, ekspesi disampaikan, karena menurut terjemahan resmi, pasal 362 bukanlah unsur “menguasai” tapi “memiliki”.
Dua buah istilah yang berbeda yang juga berakibat hukum yang berbeda. Didalam putusannya, Hakim ternyata mengabulkan eksepsi yang disampaikan oleh Pengacara.
Bahwa menurut hakim, terjemahan resmi dari unsur pasal 362 KUHP, unsurnya adalah “memiliki”.
Selain daripada terjemahan resmi dari unsur pasal 362 KUHP tersebut, pendapat ini juga didukung oleh pakar pidana, seperti R. Soesilo, E.Y. Kanter, Prof. Satochid Kartanegara.
Artinya secara tegasnya dinyatakan bahwa unsur 362 KUHP, adalah unsur “memiliki” bukan “menguasai”.
Catatan penting ini sengaja penulis paparkan, karena menurut catatan penulis, didalam persidangan, hampir praktis, materi eksepsi yang disampaikan oleh Pengacara tidak pernah dikabulkan. Materi eksepsi pernah dikabulkan di pengadilan negeri Muara Bulian terhadap perkara pidana dalam kerusuhan Berembang.
Dimana pada saat itu Jaksa membuat satu berkas dimana tidak memisahkan antara pelaku anak dan pelaku orang dewasa. Pengadilan kemudian mengabulkan eksepsi, karena berdasarkan hukum acara pidana, Pasal 4 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997, tata acaranya yang berbeda dengan peradilan pidana biasa dan tindak pidana kejahatan diatur tersendiri dan tidak tepat diperlakukan di pengadilan umum Peradilan anak dilakukan terhadap pelaku yang berusia 8 tahun sampai dengan 18 tahun, hakimnya tunggal, Hakim dan jaksa tidak memakai toga, sidang tertutup untuk umum.
Dalam peradilan anak, tidak dimungkinkan penggabungan perkara antara pelaku anak-anak dengan pelaku orang dewasa. (Pasal 7 UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak)
Dengan demikian dua peristiwa baik peristiwa diterimanya materi pra peradilan dan peristiwa diterimanya eksepsi merupakan momentum bahwa proses hukum acara semakin baik.
Dan dua peristiwa ini juga merupakan catatan yang penulis paparkan untuk bahan dokumentasi proses penegakan hukum di Jambi.
Namun catatan hukum 2005 juga memberikan dokumentasi terhadap penerapan pasal 1 KUHP.
Secara ringkas, pasal ini menerangkan bahwa tiada seseorang dapat dihukum berdasarkan aturan yang ada. Roh yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht merupakan asas yang bersifat universal adalah asas non retroaktif adalah sesuatu yang bersifat mutlak.
Didalam putusan Mahkamah Konstitusi, UU No. 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU tidak dapat diperlakukan surut karena unsur-unsur dan jenis kejahatan yang terdapat dalam terorisme menurut UU dimaksud sebelumnya telah merupakan jenis kejahatan yang diancam dengan pidana berat
Dalam perkara dengan terdakwa Hefni Zen, hakim ternyata menggunakan dalil tersebut untuk menolak dakwaan Jaksa dengan menyatakan bahwa PP 24 yang menghapuskan keberlakuannya PP 110 terhadap Hefni Zen.
Dengan kata lain bahwa apabila Jaksa menggunakan PP 110 terhadap tuduhan korupsi kepada para terdakwa, maka tidak dapat dihukum karena PP 110 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Keberlakuan PP 24 dengan mengenyampingkan keberlakuan PP 110, maka terhadap perkara Hefni Zen cs tidak dapat diterapkan, karena didalam dakwaan jaksa masih menggunakan tuduhan dengan PP 110 tersebut, maka berdasarkan pasal 1 KUHP, terdakwa haruslah dibebaskan.
Penerapan pasal 1 KUHP merupakan catatan penting dimana menurut catatan dari penulis, hampir praktis penerapan pasal ini tidak pernah terjadi di Pengadilan di Jambi.
Namun semua peristiwa yang telah dipaparkan ternyata tidak diimbangi oleh Polda Jambi.
Praktis tahun 2005, Polda Jambi ternyata gagal membuktikan tuduhan terhadap berbagai pelaku tindak pidana.
Dalam catatan penulis, prestasi Brigjen Soewadji ternyata terletak pada titik nadir terendah.
Praktis, pada periode Brigjen Soewadji, 4 orang pelaku yang telah ditahan ternyata tidak diterima berkasnya oleh kejaksaan (P21). 1 orang dalam perkara “dermaga ponton” (walaupun kemudian P21), 1 orang dalam perkara narkoba dan Taslim Moe beserta istrinya. 4 orang ini merupakan rekor terendah dalam periode Kapolda Jambi yang didalam tingkat penyidikan berkasnya tidak diterima dan kemudian para pelaku haruslah “dilepas” demi hukum.
Semua catatan yang telah penulis paparkan merupakan bahan dokumentasi mentah yang harus diberi catatan penting terhadap proses penegakan hukum. Dan kita berharap tahun 2006, kita mempunyai catatan hukum yang lebih baik dan lebih banyak lagi.
Quo Vadis Jambi 2005
Baca : Catatan Hukum 2004