28 Maret 2009

opini musri nauli : ARSITEKTUR KONFLIK SENGKETA PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Pemilu sudah hampir tiba. 44 Partai dan 12 ribu caleg akan bertarung memperebutkan 550 kursi di Senayan. Ditambah 5000 orang akan bertarung mendapatkan seratus kursi DPD. Belum lagi ribuan orang akan bertarung di DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten. Diibaratkan pertandingan, semua peserta lomba sudah menduduki tempat start dan menunggu aba-aba letusan pistol untuk melepaskan peserta dalam pertandingan marathon. 


Sebagai ritual 5 tahun sekali, issu Pemilu lebih banyak didominasi issu yang berkaitan dengan persoalan ekonomi, perbaikan fasilitas kesehatan dan pendidikan dan tentu saja persoalan yang langsung bersentuhan dengan kepentingan orang banyak. Tema yang ditawarkan pada musim kampanye dan promosi kandidate senator dan calon anggota parlemen seakan-akan dapat menjawab seluruh kepentingan masyarakat. Walaupun tema ditawarkan masih berkutat pada konsep dan belum bisa diukur dalam bentuk impelementasi, namun tema-tema kampanye masih abstrak dan cenderung populis. Istilah seperti beras murah, sembako terjamin, pendidikan dan kesehatan masih mendominasi terhadap persoalan pokok dan mengabaikan bagaimana bentuk impelemtasinya. Di tingkat nasional sendiri, issu seperti pemberantasan korupsi, meningkatkan kesejahteran dan berbagai issu ekonomi dunia mewarnai tema-tema kampanye. Dan kampanye yang bertujuan untuk memaparkan program secara riil dan membedakan antara satu partai dengan partai lain dan memperkenalkan kandidate anggota parlemen yang akan duduk di parlemen tidak tercapai. Kampanye cenderung digunakan sebagai ajang pameran pelanggaran lalu lintas dengan tidak memakai helm, menggunakan lengkingan suara motor yang meraung-raung di tengah jalan, memacetkan jalanana, berteriak di sepanjang jalan. Belum lagi berbagai pelanggaran pemilu seperti melibatkan anak-anak kecil, musik dangdutan dan berbagai atribut kesenian yang justru menghilangkan fungsi dari tujuan kampanye itu.

Sementara di media massa, para caleg lebih menonjolkan diri dengan bahasa yang klasik. Seperti ‘MOHON DOA RESTU”, ‘BERJUANG UNTUK RAKYAT”, dan berbagai slogan-slogan yang justru tidak memberikan informasi kepada masyarakat tentang program yang akan diperjuangkan oleh kandidate anggota parlemen. Sehingga media massapun jadi sesak dengan fhoto-fhoto caleg dan mengurangi hak pembaca untuk mendapatkan informasi lebih banyak lagi. Belum lagi hampir disetiap tempat di pasang photo para kandidate caleg. Nyaris tidak ada tempat yang tersisa. Sungguh menjengkelkan. Fungsi Pemilu sudah kehilangan makna dan tentu saja akan menimbulkan kegeraman masyarakat untuk menilai arti pemilu.KOMNAS Perempuan menyesali fungsi pemilu yang tidak tercapai. Pemilu hanya sebagai bentuk bagaimana rakyat memilih dan tidak diterangkan manfaat pemilu bagi rakyat (Kompas, 23 Maret 2009).

Terlepas dari berbagai manfaat pemilu bagi kepentingan masyarakat secara langsung, ada beberapa kritikan mendasar untuk melihat dari sudut yang berbeda. Pertama, sebagai pelajaran politik, pemilu merupakan pendidikan politik langsung yang dirasakan oleh rakyat dan pembelajaran bagi kandidate caleg untuk belajar merebut kekuasaan. Di saat Pemilu, masyarakat akan measakan bagaimana suara mereka akan dihargai (walaupun di saat pemilu saja). Pemilih akan merasa dihargai. Disapa, ditegur dan tentu saja memperhatikan kebutuhan masyarakat akan kehidupan sehari-hari. Interaksi antara kandidate dengan rakyat terbangun. Interaksi ini seharusnya terbangun terus menerus dan tidak hanya berhenti di saat pemilu saja. Kedua. Issu-isu yang langsung bersentuhan langsung diterima oleh kandidate. Ketiga, saat pemilu terbangunnya komunikasi politik yang bisa membuat posisi partai menjadi dinamika dalam pertarungan politik dalam pembangunan Indonesia modern.

Dalam berbagai pengamatan subyektif penulis, issu sengketa pembangunan kelapa sawit tidak menjadi bagian penting dari tema kampanye yang ditawarkan kandidate anggota parlemen. Issu ini seakan tenggelam dan tidak menjadi persoalan yang yang menarik perhatian kandidate. Padahal terlepas media massa memuat berita-berita pembangunan kelapa sawit, issu pembangunan kelapa sawit telah menyita dan menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Baik konflik yang mengakibatkan vertikal seperti konflik antara pemilik tanah dengan perusahaan dan pemerintah daerah, juga menimbulkan konflik horizontal. Pemilik tanah satu dengan dengan pemilik tanah yang lain. Baik penduduk asli dengna penduduk pendatang. Ataupun sesama penduduk asli dan sesami penduduk pendatang. Bahkan menurut penulis, hampir praktis tidak ada daerah di jambi yang tidak lepas dari konflik. Dalam berbagai kesempatan, penulis selalu mengingatkan akan bahaya potensi yang akan meledak apabila konflik ini tidak dikelola dan diselesaikan.

Dari data-data yang berhasil penulis kumpulkan, issu sejuta hektar pembangunan kelapa sawit yang merupakan program ambisius dari Gubernur Jambi awal tahun 2000 telah memantik protes berbagai kalangan. Walhi Jambi yang paling keras menentang program ini kemudian diprotes dan dianggap menghambat pembangunan dan pekerjaan dari Gubernur Jambi yang baru terpilih. Issu ini kemudian ditentang dan mendapat dukungan internasional. Internasional kemudian menentang dan kemudian menjadi agenda internasional. Program ini kemudian berhasil digagalkan dan merupakan prestasi tersendiri bagi Walhi Jambi.

Namun, penghentian issu program sejuta hektar pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak serta merta pembangunan perkebunan kelapa sawit menjadi terhenti. Pemberian izin terhadap pembangunan kelapa sawit masih terus berlangsung dan menimbulkan konflik yang laten yang terus terjadi. Bahkan pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak menyelesaikan berbagai sengketa yang belum terselesaikan peninggalan pemerintahan orde baru.

Dalam kesempatan ini, penulis akan mencoba menguraikan arsitektur konflik pembangunan kekapa sawit. Penulis menggunakan istilah arsitektur sebagai ilusi atraktif untuk menggambarkan bangunan konflik pembangunan kelapa sawit. Ilusi atraktif itu juga digunakan untuk memudahkan kita melihat persoalan itu secara lebih luas walaupun dari sudut pandang sederhana.

Dalam deskriptif yang juga hendak dipaparkan, arsitektur yang dimaksudkan juga dilihat dari aktor yang berperan. Aktor yang terlibat konflik pembangunan kelapa sawit yaitu masyarakat pemilik tanah, perusahaan dan Pemerintah.

Penulis hanya memberikan data-data sejak tahun 1998. Uraikan yang disampaikan tentu saja masih jauh dari pertanggungjawaban ilmiah untuk menggugat kebenarannya. Dan data-data yang penulis himpun merupakan data-data yang terserak di berbagai kliping dan terbitan internal yang memberikan konsentrasi terhadap konflik pembangunan kelapa sawit.

Alasan penulisan data-data ini didasarkan kepada asumsi-asumsi. Asumsi pertama adalah masa reformasi. Masa reformasi dilihat komitmen pemerintah hasil reformasi untuk menyelesaikan persoalan masyarakat didalam menyelesaikan konflik terhadap pembangunan kelapa sawit. Asumsi kedua adalah media yang mulai tumbuh di Jambi. Setelah kelahiran pers jambi Independent, maka disusul penerbitan Jambi Ekspres, Posmetro dan Jambi Star. Dan tentu saja berbagai terbitan media mingguan seperti media jambi dan sebagainya. Asumsi ketiga, mulai maraknya konflik pembangunan kelapa sawit dan dan seringnya diberitakan aksi-aksi ataupun berita yang berkaitan dengna pembangunan kelapa sawit. Dari asumsi-asumsi itu, maka didapatkan data-data sebagai berikut.

Arsitektur pertama adalah pembakaran perusahaan oleh masyarakat. Pembakaran PT. DAS bulan November 1998 di Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung jabung (kemudian setelah daerah pemekaran bernama Tanjung jabung barat). Kemudian disusul pembakaran PT. Tebora januari 1999 di Muara Bungo. September 1999 pembakaran PT. KDA di Bangko dan Januari 2000 pembakaran PT. Jamika Raya di Muara Bungo. Bahkan pada April 2002 juga terjadi pembakaran PTPN VI di Bungo dan pembakaran PT. DIPP Desember 2006 di Sarolangun.

Dari data-data yang dipaparkan, maka didapatkan beberapa peristiwa yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kita. Yang pertama, bahwa hampir praktis tiap daerah telah terjadi pembakaran. Baik itu di Tanjung Jabung, Bungo, Bangko dan sarolangun. Artinya, hampir tiap daerah telah terjadinya pembakaran oleh masyarakat terhadap perusahaan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Kedua, rentang waktu yang hampir selalu terjadi setiap tahun. Artinya, konflik yang terjadi tidak diantisipasi di daerah lain. Yang ketiga cara-cara penyelesaian yang masih cenderung menggunakan cara-cara represif dan tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Artinya. Pemerintah setelah reformasi tidak berusaha menyelesaikan sengketa tanah dan cenderung membiarkan sehingga terjadi terus menerus antara daerah satu dengan daerah lain. Dengan demikian, daerah-daerah yang telah terjadi pembakaran perusahaan tidak diselesaikan dngan masyarakat sekitar pembangunan tersebut.

Arsitektur yang kedua adalah pengalihan issu. Penulis sengaja memberikan definisi ini, karena ada kecendrungan secara sistematis untuk mengalihkan issu dari semula persoalan tanah menjadi persoalan kriminal. Yang penulis maksudkan adalah persoalan tanah antara pemilik tanah dengan perusahaan menjadi persoalan kriminal dan cenderung menggunakan hukum untuk dijadikan sebagai alat untuk membungkam perjuangan masyarakat. Masyarakatpun tersita pemikiran dan energi untuk mengurusi persoalan yang berkaitan dengan hukum. Peristiwa pembakaran perusahaan perkebunan kelapa sawit kemudian mengakibatkan masyarakat tidak lagi mau memperjuangkan kepntingan semula. Selain karena sudah tersitanya kasus semula menjadi kasus hukum, teror dan ketakutan proses hukum akan terjadi lagi apabila mereka masih mau memperjuangkan kepentingannya membuat masyarakat. Cara-cara ini kemudian effektif dan berhasil untuk menggeser itu.

Arsitektur ketiga adalah kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya. Cara-cara menggunakan hukum kepada para pejuang dan masyarakat lebih sering digunakan sehingga konsentrasi masyarakat untuk memperjuangkan tanahnya kemudian berkonsentrasi kepada persoalan persidangan dan berbagai hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Dalam putusan terhadap terdakwa pembakaran PT. KDA, PT. Jamika Raya dan PT. DIPP, semua pelaku diterapkan pasal 170 KUHP. Namun dalam menjatuhkan putusannya, sudut pandang hakim berbeda. Apabila dalam didalam pembakaran PT. Jamika dan PT. KDA, pelaku haruslah dibuktikan kesalahannya. Apabila pelaku tidak melakukan perbuatan, maka pelaku haruslah dibebaskan. Sedangkan apabila pelaku melakukan perbuatan maka pelaku haruslah dijatuhi hukuman. Namun berbeda dengan terdakwa dalam pembakaran PT. DIPP. Pengadilan Negeri Bangko ternyata melihat dari sudut pandang yang berbeda. Walaupun pelaku tidak melakukan perbuatan sebagaimana diatur didalam pasal 170 KUHP, namun pelaku mempunyai niat untuk melakukan dan tidak selesai karena bukan kehendak pelaku. Dengan demikian maka pelaku dapat dikenakan perbuatan percobaan sebagaimana diatur didalam pasal 53 KUHP.

Selain itu juga, terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya bisa saja dikenakan berbagai ketentuan lain seperti tuduhan membawa senjata tajam, penggelapan dan berbagai skenario untuk menjerat masyarakat dan mengkriminalisasi pelaku.

Selain daripada arsitektur yang telah dijelaskan sebelumnya, arsitektur selanjutnya adalah pendudukan lahan dengan mengambil alih tanah yang kemudian tidak dibangun oleh perusahaan perkebunanan kelapa sawit. Cara-cara ini yang paling banyak dijumpai. Faktor yang mempengaruhi digunakan cara ini antara lain. Pertama, perundingan antara masyarakat pemilik tanah dengan pihak perusahaan berlangsung alot dan tidak tercapai kesepakatan. Masyarakatpun jenuh dan mengambil kembali tanahnya. Kedua. Pihak perusahaan menelantarkan perkebunan sawit. Baik karena memang ditelantarkan (pergantian manajement atau pergantian saham) juga karena perusahaan tidak terlibat lagi dalam pembangunan kelapa sawit. Baik karena sudah dicairkannya kredit perbankan ataupaun hanya mengejar komoditas kayu semata dalam tahap land clearing. Cara-cara ini yang masih trend dan digunakan pemilik tanah yang tanahnya dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Dari deskripsi sederhana yang telah penulis paparkan, penulis berkeyakinan, bahwa sengketa pembangunan perkebunan kelapa sawit masih terus terjadi dan terus berulang. Siapapun yang diberi amanat untuk menjalankan negara ini, baik sebagai kandidate anggota parlemen maupun sebagai kepala daerah sudah harus memprioritaskan untuk menyelesaikan sengketa ini. Maka menurut penulis, sudah saatnya agenda penyelesaikan sengketa pembangunan perkebunan kelapas sawit merupakan agenda yang diprioritaskan dalam program dan kampanye di pemilu 2009 dan Pilkada-pilkada lainnya.

Salam demokrasi

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 30-31 Maret 2008 Dapat juga dilihat di sawit watch online.

http://www.sawitwatch.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=81&Itemid=1